Informasi HIV/AIDS yang Keliru di Media dan Situs Online

Literasi75 Dilihat

Prolog

Sudah Terinfeksi HIV Disakiti Pula*

“Ah, ini bukan bayi, tapi penyakit!” Itulah kata-kata yang diucapkan oleh dokter di sebuah Puskesmas sambil meraba-raba perut Cici (bukan nama sebenarnya), ketika itu berumur 23 tahun, seorang wanita HIV-positif di sebuah desa di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

“Rasanya ingin mati saja,” kata Cici kepada Mutiara Rabu (28/5) di rumahnya sambil membayangkan peristiwa yang dialaminya ketika ia hamil depalan bulan, Juni 1996.1 Cici sendiri datang ke Puskesmas di kampungnya itu karena janin yang dikandungnya bergerak-gerak.

Rupanya sampai sekarang sejak ia pulang dari Riau (Oktober 1993) Cici tetap dirundung malang. Dalam suatu tes tanpa asas konfidensialitas (nama yang yang mengikuti tes tidak dirahasiakan dan tanpa prosedur konseling pra dan pasca tes) di kalangan wanita berisiko tinggi di wilayah Kepulauan Riau, Cici dan dua wanita lain yang juga asal Kabupaten Karawang dinyatakan positif mengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome, suatu sindrom penurunan kekebalan tubuh sehingga mudah diserang berbagai macam penyakit).

Diramaikan Media Massa

Berita hasil tes HIV Cici dan pemulangannya dari Riau ke kampung halamannya pun meramaikan halaman surat-surat kabar nasional dan televisi swasta nasional yang bersumber dari seroang dokter kepala sebuah Puskesmas di Kabupaten Karawang berdasarkan radiogram yang dikirimkan Dinas Kesehatan Riau.

Berita-berita itu dinilai Cici tidak objektif, karena menurut Cici, ia tidak pernah diwawancarai wartawan. Di samping itu ketika media cetak yang memuat berita tersebut beredar dan tatkala televisi menyiarkan beritanya, ia masih di Riau. Makanya, ketika Mutiara mewawancarainya (April 1994) ia pun mengeluh atas pemberitaan tentang dirinya (Mutiara, 709/Mei 1994). Berita itu membuat penduduk di sekitar rumahnya mencibir dan melihatnya sebagai sumber malapetaka.

Judul berita-berita itu sendiri amat menohok karena menyebutnya sebagai penderita AIDS. Padahal, saat itu Cici baru pada tahap seropositif, artinya baru terinfeksi HIV, belum sampai pada tahap AIDS sehingga tidak ada tanda-tanda khusus pada dirinya.

Tapi, karena pengetahuan masyarakat dan aparat pemda setempat yang amat dangkal tentang HIV/AIDS dan pemberitaan yang tidak objektif itu, penduduk pun tetap melihatnya sebagai sumber bencana sehingga penduduk memilih untuk tidak bersahabat dengannya. Soalnya, karena informasi tentang HIV/AIDS yang tidak objektif membuat banyak orang ketakutan.

Padahal, virus AIDS hanya bisa tertular melalui hubungan seksual (homoseksual dan heteroseksual) yang tidak aman, melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, dan melalui pemakaian alat-alat suntik bersama yang sudah terkontaminasi HIV, serta ibu yang positif HIV kepada bayi yang dikandungnya. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk mengucilkan Cici.

Dimusuhi

Cici sendiri bersedia pulang dari Riau, setelah dinyatakan positif HIV, karena ia ingin melihat anaknya yang ditinggalkannya sejak ia diajak seorang wanita dari Cikampek ke Riau dengan janji dipekerjakan di restoran dengan upah Rp 400.000 sebulan. Ketika itu (1992) Cici terpaksa mengikuti ajakan wanita itu karena ia mengaku amat bingung mencari nafkah utnuk anaknya, yang ketika itu berumur tiga tahun, setelah bercerai. Waktu itu ia dan anaknya tinggal bersama ibunya, yang juga janda, serta kakek dan neneknya yang berumur 60-an tahun.

Cici hanya bisa mengurut dada menghadapi perlakuan penduduk dan aparat pemerintah, mulai dari tingkat desa sampai provinsi. Bahkan ketika ia sampai di kampugnya petugas dari Dinas Kesehatan setempat memaksanya, dengan bantuan tenaga Muspika stempat, untuk memeriksakan darah di Puskesmas. Semula Cici menolak karena ia hanya mau diperiksa di “Citpo” (maksudnya RSCM-Red.), tapi karena ptugas yang mengambil darahnya ketika itu mengaku dari “Cipto” Cici pun bersedia diambil darahnya.

Namun, pengambilan darah itu jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) karena mengabaikan asas konfidensialitas. Seharusnya ada konseling prates dan yang mengetahuinya hanya dokter atau konselornya dan Cici sendiri. Tapi, yang terjadi justru orang sekampung mengetahui persoalan yang dihadapi Cici ketika digiring ke Puskesmas.

“Seharusnya ‘kan tidak boleh disebarluaskan,” kata Cici tentang kondisi kesehatannya. Memang, secara etis dan hukum catatan medis (medical record) seseorang tidak boleh disebarluaskan. Namun, perlakuan yang dialami Cici justru sangat tidak etis karena aparat pemerintah dan pihak Puskesmas setempat sudah menciptakan suatu kondisi yang memojokkan Cici. Kalau aparat dan Puskesmas lebih arif, tentulah Cici tidak akan menghadapi masalah sosial dalam pergaulannya sehari-hari karena hubungan sosial bukan merupakan media penularan HIV.

Dinikahi WN Singapura

Di Riau sendiri, seperti diakuinya, ia sudah menjalin cinta dengan seorang lelaki Cina, 50-an tahun, warga negara Singapura. Makanya, ketika ia dipulangkan, lelaki itu tetap memburunya. Pada tahun 1994-1995 Cici empat kali diboyong lelaki itu ke Singapura dengan pesawat terbang dari Bandara Soekarno-Hatta. Saat itulah, menurut pengakuan Cici, mereka menikah. “Kami menikah di KUA (Kantor Urusan Agama-Red.) di Jakarta,” katanya sambil menyuapi putrinya yang lahir persis pada acara pembukaan Olimpiade Atlnta 1996.

Setelah diperiksa di Puskesmas ketika ia hamil delapan bulan itu rupanya dokter itu masih penasaran karena di catatan mereka, tampaknya, nama Cici tercantum sebagai “kasus”.

Makanya, dokter itu pun membawa Cici ke rumahnya dan menginterogasinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter itu, seperti dikemukakan Cici, mengarah ke perilaku seksualnya. Cici sendiri mengaku jengkel menerima perlakuan-perlakuan itu karena kehamilannya itu bisa dipertanggung jawabkannya, “Bayi ini ada ayahnya,” kata Cici sambil mengelus-elus perutnya yang buncit ketika itu. Makanya, Cici amat kecewa dan marah ketika perutnya mual-mual dan ingin muntah setelah memakan obat dari Puskesmas tatkala ia hamil.

Pihak Puskesmas setempat akhirnya membawanya ke RSCM. Setelah diperiksa Cici dibawa ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta. Selama menunggu persalinan, Cici tinggal di sanggar YPI dan ditangani dokter-dokter yang memang pakar HIV/AIDS, seperti dr. Zubairi Djoerban, DSPD, dan dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Persalinan Cici sendiri ditangani dr. Siti Dhyanti Wishnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi di FK UI/RSCM.

Setelah tujuh hari dirawat di RSCM Cici pulang bersama bayinya yang sudah dinamai oleh dokter Siti. Pihak YPI sendiri terus menangni Cici dan putrinya yang sudah positif HIV. Sayang, sampai sekarang Cici tidak melihat HIV sebagai ancaman terhadap dirinya karena, “Saya tidak pernah sakit,” katanya. Begitu pula dengan putrinya yang kini hampir berumur satu tahun dan sudah mulai bisa berjalan. Berat badannya 9,8 kg dan, “Tidak pernah sakit,” ujar Cici dengan bangga. Setiap pagi anaknya menghabiskan semangkok bubur nasi dengan hati ayam.

Pergelutan

Kondisi ini lagi-lagi terbentuk karena format penulisan berita yang sering tidak komprehensif. Bagi banyak orang, sakit berarti ada keluhan, sedangkan HIV bahkan AIDS sebelum tahap full-blown (sudah menampakkan gejala-gejala khas penurunan kekebalan tubuh) hampir tidak menunjukkan gejala penyakit. AIDS sendiri bukanlah penyakit, tapi merupakan istilah yang disepakati untuk menyebutkan kondisi penurunan kekebalan tubuh karena diserang HIV, sehingga yang mematikan penderita AIDS adalah infeksi-infeksi oportunistik, terutama diare dan TBC.

Berkat uang yang diberikan suaminya yang datang setiap lima bulan menemui Cici dan putrinya, wanita itu pun bisa membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah permanen di dekat rumah ibunya. Sedangkan rumahnya yang semula dibangunnya yang didiami kakek dan neneknya, juga di desa yang sama, sudah dijualnya. “Ya, dari uang yang saya kumpul-kumpullah,” katanya dengan logat Riau tentang biaya pembangunan rumah barunya itu.

Kini, kehidupan sehari-hari Cici dilaluinya dengan pergelutan menghadapi virus di tubuhnya sambil membesarkan putrinya, yang juga positif terinfeksi HIV. M/Syaiful W. Harahap

* Naskah ini dimuat di Tabloid Mutiara No. 868, Tahun XXX, 10-16 Juni 1997 merupakan pemenang pertama lomba “Penulisan HIV/AIDS” yang diselenggarakan oleh PMP AIDS-LP3Y dan Ford Foundation priode 1997. Pemenang berhak atas hadiah meliput Kongres AIDS Internasional Asia dan Pasifik di Manila, Filipina, 22-27 Oktober 1997. Dewan juri terdiri atas Dr. Hudoyo Hupudio, MPH ( Ketua Yayasan Mitra Indonesia, Jakarta), Irwan Julianto, MPH (wartawan senior Harian KOMPAS), dan Ashadi Siregar (Direktur LP3Y “Yogya” dan Penanggung Jawab PMP AIDS).

1). Cici sudah meninggal tahun 2000, meninggalkan seorang putri yang HIV-negatif yang diasuh oleh ibu Cici atau nenek anaknya.

 

Bagian I: Epidemi HIV/AIDS di Indonesia

(1). Menelusuri Akar Kasus HIV/AIDS Pertama di Indonesia

Pemerintah menetapkan kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia yaitu HIV/AIDS yang terdeteksi pada turis gay Belanda di RS Sanglah Denpasar tahun 1987

Penetapan pemerintah tentang kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia yaitu yang terdeteksi pada seorang turis asal Belanda, seorang laki-laki gay, EGH, 44 tahun, yang meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, tahun 1987, justru mengukuhkan mitos (anggapan yang salah), yaitu: AIDS penyakit bule, AIDS dibawa dari luar negeri, dan AIDS penyakit homoseksual.

Dengan kasus yang diakui pemerintah itu Indonesia masuk dalam daftar WHO sebagai negara ke-13 di Asia yang melaporkan kasus AIDS. Indonesia menetapkan HIV/AIDS resmi sebagai penyakit menular yang dikuatkan dengan Instruksi Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Inst/II tanggal 11 Februari 1988.

Bule Gay

Mitos kian kental ketika pada November 1983, Menteri Kesehatan RI, waktu itu Dr Soewardjono Soerjaningrat, mengatakan pencegahan AIDS terbaik adalah tidak ikut-ikutan jadi homoseks …. dan mencegah turis-turis asing membawa masuk penyakit itu.

Pada tahun 1983 dr Zubairi Djoerban, staf Sub-Bagian Hematologi-Penyakit Dalam FK UI, meneliti kalangan homoseksual dan waria di Jakarta terkait leukemia. Hasil penelitian dr Zubairi ada tiga waria yang menunjukkan gejala mirip AIDS. Tapi, karena ketika itu defenisi AIDS masih kabur maka gejala itu, lemas-lemas seperti yang dikeluhkan ketiga waria itu, disebut sebagai AIDS related complex (ARC).

Sekarang jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS mendekati setengah juta, sedangkan estimasi pada tahun 2016 mencapai 640.000 dengan tambahan 48.000 kasus HIV baru setiap tahun. Laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 27 Agustus 2019, melaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia priode 1987 sampai 30 Juni 2019 sebanyak 466.859 yang terdiri atas 349.882 HIV dan 116.977 AIDS.

Penetapan pemerintah tentang kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia itu bermuatan politis dan moralistis. Mitos ini diperkuat lagi dengan pernyataan pejabat di awal-awal epidemi sehingga menjadi pegangan banyak orang sampai sekarang.

Celakanya, sampai sekarang cara-cara menanggapi dan mengomentari HIV/AIDS nyaris tidak berubah sejak awal epidemi. Bahkan, terkesan mundur karena memberikan komentar dan pernyataan yang tidak akurat karena hanya bertopang pada norma, moral dan agama, seperti mengaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, seks bebas, jajan, selingkuh, dll. yang tidak terkait langsung dengan penularan HIV/AIDS.

Tahun 1986 seorang perempuan berusia 25 tahun meninggal dunia di RSCM Jakarta. Tes darahnya memastikan bahwa dia terinfeksi HTLV-III, dan dengan gejala klinis yang menunjukkan AIDS. Kasus ini tidak dilaporkan oleh Depkes.

Kematian WNI

Pada tahun yang sama Direktur RS Islam Jakarta, dr H Sugiat, melaporkan kasus pasien yang mati di rumah sakit itu (7/1-1986) karena AIDS melalui surat kepada Menkes melalui Kanwil Depkes DKI Jakarta.Ditemukan virus HTLV III dalam darah pasien melalui tes darah metode ELISA. Contoh darah pasien tsb. dites dengan Western blot di RS Walter Reed, AS, hasilnya negatif. Belakangan kematian pasien itu disebut-sebut sebagai ARC.

Biar pun sudah ada kasus yang erat kaitannya dengan AIDS sebelum tahun 1987, tapi pemerintah, dalam hal ini Depkes RI, baru mau mengakui AIDS melalui kematian EGH, di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 1987, karena penyakit terkait AIDS. EGH tiba di Denpasar tanggal 26 Maret 1987.

Menelusuri Akar Kasus HIV/AIDS Pertama di Indonesia. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Setahun kemudian, 1988, di rumah sakit yang sama justru seorang WNI, pria asli Indonesia, 35 tahun, meninggal dunia juga karena penyakit terkait AIDS, 23 Juni 1988. Tes darah pria ini dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. Jika disimak matriks di atas WNI yang meninggal di Denpasar (1988) kemungkinan tertular HIV antara tahun 1973 dan 1983 dengan perhitungan rentang waktu mencapai masa AIDS antara 5 dan 15 tahun. Itu artinya pria WNI itu sudah tertular HIV/AIDS jauh sebelum EGH tiba di Bali.

Tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Surjaningrat, berkomentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.” Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, temasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah dan transplantasi organ tubuh.

Apakah orang yang tidak bertaqwa otomatis tertular HIV? Lalu, apa ukuran taqwa yang bisa mencegah penularan HIV, seperti melalui transfusi darah? Kemudian, apa alat ukur dan siapa yang bernak menakar ketaqwaan seseorang terkait dengan pencegahan HIV?

Tahun 1986 ada usulan dari kalangan dokter di RSCM Jakarta untuk melakukan suvailans tes HIV terhadap kalangan yang dianggap berisiko tinggi tertular HIV, al. pekerja seks dan homoseksual. Usul ini muncul karena di banyak negara kasus HV/AIDS mulai bermunculan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak ada kegiatan mendeteksi HIV/AIDS. Hal ini dikemukakan oleh dr Zubairi Djoerban, Kasub Hematologi, Bag. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSTM.

Masyarakat

Sebuah tim dari Hematologi FKUI/RSTM melakukan pemeriksaan HIV dengan ELISA terhadap 7.464 orang dari kalangan risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klinis AIDS pada kurun waktu April-September 1986. Hasilnya? Reaksi positif pada tes pertama 47, tes ulang tinggal 18 yang reaksi positif. Dari 18 ini hanya 8 yang mau melanjutkan pemeriksaan. Hasilnya, 4 terdeteksi imunitas selular dan 4 terdapat antigen HIV.

Di tahun 1985 dr. Zubairi mengatakan bila penyakit AIDS sampai menyerang masyarakat akan sulit dicegah. Begitu pula dengan Dr A. Haryanto Reksodiputro, ketika itu Kepala Bagian Penyakit Dalam FK UI, mengingatkan masyarakat perlu memperoleh penjelasan terntang AIDS tapi tidak menimbulkan kepanikan. Dr Haryanto mengingatkan bahwa akan ada konsekuensi yang besar jika AIDS sudah ada di Indonesia. Baiaya yang mahal akan dikeluarkan untuk skrining darah untuk transfusi. Biaya yang besar juga diperlukan untuk memeriksa antibody HIV pada orang-orang yang diduga tertular HIV.

Di tahun 1987 ada yang menilai bahwa media massa di Indonesia belum banyak membantu dalam upaya menyadarkan masyarakat mengenai masalah AIDS. Media massa dinilainya lebih banyak membuat sensasi dan hal itu justru telah membuat masyarakat gelisah.

Kalangan pejabat juga ada yang menuding media massa menyebar ’kabar bohong’ tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia. Terkait dengan hal ini Ketua Umum IDI Pusat, (waktu itu) dr Kartono Mohamad, mengatakan tidak ada pilihan lain selain mengumumkan kasus AIDS di Indonesia karena yang bisa mencegah penyebaran HIV/AIDS adalah masyarakat bukan pemerintah dan bukan pula dokter. Pernyataan dr Kartono ini jadi relevan dengan teman Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2019 yaitu: Communities make the difference (Masyarakat membuat perbedaan).

Pernyataan pakar dan pejabat juga menyuburkan mitos, seperti ini: …. Memberantasnya (HIV/AIDS-pen.) tidak sulit. Caranya, berantas saja perzinahan dan kemesuman. Prof Dr Boyke Dian Nugraha, SOG, dalam sebuah pernyataan (2009), mengatakan: AIDS itu adalah singkatan dari ‘Anunya Itu Dimasukkan Sembarangan’.

Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, penanggulangan dan pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis.

Sejarah akan mencatat seperti apa langkah pemerintah Indonesia dalam menanggulangi epidemi HIV/AIDS di negeri ini. (Sumber: Tagar.id, 4/12-2019). *

 

(2). Ini Mimpi: Indonesia Bebas AIDS Tahun 2030

Apakah penduduk yang mengidap HIV/AIDS sebelum tahun 2030 harus ‘dilenyapkan’ agar pada tahun 2030 semua penduduk tidak ada yang mengidap HIV/AIDS?

“Menkes Optimistis, Tahun 2030 Indonesia Bebas HIV/AIDS.” Ini judul berita di liputan6.com (5/8-2014).

Alasan Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, optimistis Indonesia bebas HIV/AIDS pada 2030 berdasarkan perkembangan yang baik atas upaya pemerintah dalam menekan kasus HIV/AIDS. Juga didasari upaya-upaya yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia, seperti tenaga konseling dan tes HIV yang banyak di sejumlah puskesmas yang tersebar di Indonesia.

Yang perlu diingat adalah bahwa bebas HIV/AIDS artinya tidak satupun penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS. Maka, pertanyaannya adalah:

(1) Bagaimana cara yang akan dilakukan untuk membuktikan semua penduduk Indonesia, diperkirakan tahun 2030 mendekati 300.000.000 jiwa, tidak ada yang mengidap HIV/AIDS?

Tentu saja sangat tidak mungkin melakukan tes HIV terhadap 300.000.000 penduduk Indoensia pada tahun 2030.

Katakanlah pada tahun 2030 semua penduduk menjalani tes HIV dan hasilnya negatif, dengan catatan penduduk yang mengidap HIV/AIDS pada tahun 2030, maaf, ‘dilenyapkan’, apakah kondisi tsb. akan terus bertahan setelah tahun 2030?

Tentu saja tidak karena tes HIV bukan vaksin HIV. Artinya, biar pun di tahun 2030 hasil tes menunjukkan negatif bisa saja ybs. tertular setelah tes HIV melalui perilaku-perilaku yang berisiko tertular HIV.

Insiden infeksi HIV baru pada rentang waktu 2014-2030 akan terus terjadi al. pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata di lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata yang beroperasi di luar lokasi pelacuran).

Soalnya, sama sekali tidak ada cara-cara yang konkret dijalankan pemerintah untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Itu artinya insiden infeksi HIV akan terus terjadi. Celakanya, tidak semua laki-laki yang tertular HIV terdeteksi sehingga mereka menularkan HIV ke orang lain tanpa mereka sadari karena mereka pun tidak menyadari bahwa mereka sudah tertular HIV.

Bagi laki-laki yang beristri akan menularkan ke istrinya. Kalau istrinya lebih dari satu, maka kian banyak perempuan yang tertular HIV. Selain ke istri laki-laki juga akan menularkan HIV ke PSK, selingkuhan, pacar bahkan ke sesama laki-laki dalam bentuk LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki).

(2) Bagaimana nasib penduduk yang mengidap HIV/AIDS sebelum tahun 2030 agar di tahun 2030 mereka tidak lagi sebagai penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS?

Dalam gambar bisa disimak insiden penularan yang terjadi sebelum tahun 2014 dan pada tahun 2014 pada mereka yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pada rentang waktu tahun 2014-2030.

Insiden infeksi yang terjadi pada rentang waktu tahun 2014-2030 tentulah akan menjadi kasus HIV/AIDS pada tahun 2030.

Apakah negara, dalam hal ini pemerintah RI, kemudian melakukan tes HIV massal dan contact tracing terhadap semua penduduk?

Maka, yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maaf, ‘dihabisi’, agar tidak tercatat atau terdaftar sebagai penduduk Indonesia.

Sedangkan penduduk yang tidak mengidap HIV/AIDS dikarantina agar tidak melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV.

Hanya ini cara yang bisa dilakukan agar pada tahun 2030 tidak ada lagi penduduk yang mengidap HIV/AIDS.

Itu artinya pemerintah harus merancang UU tentang: (1) Yang mewajibkan setiap orang menjalani tes HIV pada tahun 2030, (2) Yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pada tahun 2030 dibunuh, dan (3) Yang tidak mengidap HIV/AIDS pada tahun 2030 dikarantina.

Terlepas dari apakah UU itu melanggar hak asasi manusia (HAM) yang jelas hanya tiga langkah itu saja yang bisa membuat agar tidak ada penduduk Indonesia yang mengidap HIV/ADIS pada tahun 2030.

Padahal, fakta menunjukkan yang bisa dilakukan secara konkret dengan hasil yang bisa diukur dan sudah dibuktikan di beberapa negara, seperti Thailand, adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Program yang bisa dilakukan untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK adalah: ‘Program wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika melakukkan hubungan seksual dengan PSK.

Program itu hanya bisa efektif jika pelacuran dilokalisir sehingga bisa dijalankan intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Celakanya, di Indonesia pelacuran tidak dilokalisir sehingga praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang melibatkan PSK tidak langsung, seperti cewek kafe, cewek diskotek, cewek pub, ABG, mahasiswi, cewek gratifikasi seks, dll.

Di Surabaya, misalnya, belum lama ini terbongkar sindikat pelacuran kelas atas yang melibatkan cewek-cewek yang tinggal di apartemen mewah dan hanya mau ‘berlaga’ di hotel berbintang lima dengan tarif Rp 5 juta – Rp 10 juta.

Itu artinya intervensi tidak bisa dijalankan sehingga insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa akan terus terjadi.

Maka, adalah hal yang mustahil di tahun 2030 Indonesia bebas HIV/AIDS. (Sumber: Kompasiana, 6/8-2014).  *

 

(3). Mustahil Indonesia Bebas AIDS 2030 Tanpa Menutup Pintu Masuk HIV/AIDS

Adalah hal yang mustahil menyatakan Indonesia akan bebas HIV/AIDS pada tahun 2030 ketika pintu masuk HIV/AIDS tidak pernah ditutup

Menuju Indonesia Bebas AIDS 2030. Ini judul artikel di kemenkopmk.go.id, 7/3-2020. Jika disimak artikel itu sama sekali tidak ada cara-cara yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual tanpa kondom (disebut hubungan seksual yang tidak aman), di dalam dan di luar nikah, terutama pada laki-laki dan perempuan dewasa.

Laporan terakhir Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P), Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020 menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 September 2020 sebanyak 537.730 yang terdiri atas 409.857 HIV dan 127.873 AIDS.

Sedangkan estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia 640.000 (aidsdatahub.org). Itu artinya ada 102.270 warga yang mengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) tapi tidak terdeteksi.

Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik warga yang mengidap HIV/AIDS.

Padahal, pintu masuk HIV/AIDS yang paling potensial justru melalui hubungan seksual yang tidak aman yaitu laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melalukan hubungan seksual yang berisiko, jika dibandingkan dengan risiko penyebaran HIV/AIDS melalui jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba secara bersama-sama dengan bergantian jarum suntik.

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran atau mejeng di tempat-tempat umum, dan

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS (Lihat matriks).

Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,

(8). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan waria karena waria pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya. Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan waria mereka justru jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa waria ditempong atau di anal) dan waria jadi ‘laki-laki’ (dalam bahasa waria menempong atau menganal).

(9). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS, pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya.

Perilaku seksual berisiko itu semua ada di ranah pribadi (privat) yang tidak mungkin dijangkau atau diintervensi karena dilakukan di sembarang tempat dan sembarang waktu. Itu artinya dua perilaku berisiko ini jadi pintu masuk yang tidak bisa dikendalikan.

Yang bisa dijangkau adalah perilaku (2) tapi praktek PSK harus dilokalisir. Thailand menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil. Indikator keberhasilan Thailand adalah jumlah calon taruna yang terdeteksi positif HIV/AIDS turun.

Data di aidsdatahub.org menunjukkan dengan pariwisata yang didukung industri seks jumlah kasus HV/AIDS di Thailand 470.000 dengan 5.400 infeksi baru per tahun. Bandingkan dengan Indonesia dengan kasus 640.000 dan 46.000 kasus infeksi baru per tahun (Lihat matriks penanggulagan di hilir).

Matriks: Tes HIV adalah program penanggulangan HIV/AIDS di hilir. (Sumber: Dok. Syaiful W. Harahap)

Maka, yang perlu dilakukan pemerintah adalah penanggulangan di hulu bukan di hilir (tes HIV, pemberian obat antiretroviral/ARV, cegah stigma) yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Tanpa program yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS di hulu, maka insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran terjadi tanpa disadari yang merupakan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. (Kompasiana, 1/12-2020). *

(4). Fantastis Provinsi Papua Bisa Capai Nol Infeksi HIV Baru Pada Tahun 2023

KPA Provinsi Papua mengatakan bahwa pada tahun 2023 tidak ada lagi infeksi HIV baru di Bumi Cenderawasih, bukan main ….

“Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Papua mengharapkan seluruh anggotanya fokus mempersiapkan lokakarya penyusunan program 2023 tidak ada lagi infeksi baru (zero infeksi) di Bumi Cenderawasih” Ini lead di berita “KPA Papua target 2023 tak ada lagi infeksi baru” (papua.antaranews.com, 23/5-2022).

Wacana untuk tiga nol (three zero) yaitu Zero New Infection (tidak ada lagi infeksi HIV baru), Zero AIDS Related Deaths (tidak ada lagi kematian karena penyakit terkait HIV/AIDS) dan Zero Discrimination (tidak ada lagi diskriminasi terhadap Odha) yang dicanangkan Badan PBB khusus AIDS (UNAIDS) adalah di tahun 2030.

Maka, amatlah fantastis jika KPA Papua menargetkan Zero New Infection pada tahun 2023. Ini benar-benar bukan main yang justru jadi main-mainan atau mimpi.

Jangkan tahun 2023, untuk tahun 2030 pun adalah hal yang mustahil Zero New Infection HIV di Indonesia karena langkah-langkah pencegahan infeksi baru HIV dan penanggulangan HIV/AIDS tidak ada yang realistis.

Beberapa daerah sudah mencanangkan Zero New Infection HIV pada tahun 2030, tapi itu semua hanya angan-angan. Mimpi. Soalnya, tidak ada cara-cara yang konkret untuk mencegah infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), termasuk cewek-cewek prostitusi online.

Menurut Ketua Harian KPA Provinsi Papua, dr Anton Tony Motte, pihaknya tidak mempunyai data tentang jumlah kasus HIV/AIDS di Papua. Sejatinya dinas-dinas kesehatan melaporkan kasus HIV/AIDS melalui sistem yang dikembangkan oleh Kemenkes.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 30 September 2021 (siha.kemkes.go.id) menunjukkan dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2021 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Papua mencapai 64.577 yang terdiri atas 39.991 HIV dan 24,586 AIDS.

Namun, jumlah ini (64.577) tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah yang dilaporkan (64.577) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Itu artinya kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka, ada dua hal yang harus dilakukan untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru, yaitu:

(a) mendeteksi kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat, dan

(b) mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dan perempuan dewasa melalui hubungan seksual berisiko, yaitu:

Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi suami tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK), dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual dengan waria dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja waria tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Perempuan dewasa melakukan hubungan seksual gigolo dengan kondisi gigolo tidak pakai kondom, karena bisa saja gigolo tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.

Nah, apa KPA Papua mempunyai program yang konkret untuk mencegah infeksi HIV baru, yang juga merupakan pintu masuk HIV/AIDS, melalui perilaku-perilaku seksual berisiko di atas?

Tidak hanya di Papua di semua daerah di Indonesia tidak ada program yang konkret untuk menutup pintu masuk HIV/AIDS di atas.

Sekarang sudah ada sekitar 160-an peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, tapi semua hanya berisi pasal-pasal normatif yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan HIV/AIDS. Sayangnya, Perda-perda AIDS itu hanya mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.

Di Papua sendiri Perda AIDS sudah ada di: Provinsi Papua, Kabupaten: Nabire, Merauke, Jayapura, Puncak Jaya, Biak Numfor, Mimika, serta Kota: Jayapura.

Sama seperti di daerah lain Perda-perda AIDS itu tidak bisa ‘bekerja’ karena tidak mengatur langkah-langkah konkret untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS. (Sumber: Kompasiana, 25/6-2022). *

 

(5). Mengapa Sebaiknya Kemenkes Tidak Lagi Menggunakan “Seks Bebas” terkait Penularan HIV/AIDS

‘Seks bebas’ yang merupakan jargon moral dengan makna yang tidak jelas selalu dipakai dalam KIE tentang HIV/AIDS

Tampilan situs https://hivaids-pimsindonesia.or.id/download sangat mencolok dengan warna merah. Tapi, begitu mata melihat ke pojok kanan atas ada tulisan: PENCEGAHAN PENULARAN HIV Dengan ABCDE.

Ilustrasi: Situs https://hivaids-pimsindonesia.or.id/download (Dok Syaiful W. Harahap/Repro)

A = ABSTINENCE disebutkan Hindari Seks Bebas

Ini benar-benar di luar akal sehat karena situs resmi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) justru mengumbar mitos (anggapan yang salah).

Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’ karena istilah ini muncul di awal tahun 1970-an yang dikaitkan dengan gaya hidup kaum hippies.

Mereka ini hidup bebas, termasuk seks yang disebut ‘free sex’ yang kemudian secara harfiah diterjemahkan jadi ‘seks bebas.’

Padahal, di kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada entri ‘free sex’. Yang ada adalah ‘free love’ yaitu hubungan seksual tanpa ikatan nikah (The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 1963).

Jika yang dimaksud situs ini ‘seks bebas’ adalah hubungan seksual di luar nikah, seperti seks pranikah, zina, di luar nikah, melacur, homoseksual dan perselingkuhan, maka itu menyesatkan jika dikaitkan dengan penularan HIV/AIDS.

Soalnya, risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (sek bebas, seks pranikah, di luar nikah, zina, melacur, homoseksual dan perselingkuhan, dll.), melainkan karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (Lihat matrik).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Jika hubungn seksual dikaitkan dengan penularan HIV/AIDS, maka yang tepat dan objektif bukan ‘seks bebas’ melainkan seks yang tidak aman, yaitu hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti, dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya, atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan seperti pekerja seks komersial (PSK) dan gigolo.

Celakanya, ‘seks bebas’ ini dijadikan ‘senjata moral’ untuk menutup perilaku seksual kalangan dewasa, terutama laki-laki beristri, yang justru banyak melakukan zina dengan PSK serta perselingkuhan. Ketika masih ada lokalisasi pelacuran laki-laki dewasa paling banyak dijumpai jika dibandingkan dengan remaja.

Jargon moral ‘seks bebas’ hanya dikaitkan dengan remaja dan laki-laki dewasa yang belum menikah, sementara zina dan perselingkuhan yang dilakukan laki-laki beristri tidak disebut ‘seks bebas.’ Maka, pemakaian jargon ‘seks bebas’ menyesatkan.

Secara objektif perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV, yaitu:

Pertama, laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi suami tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Keduia, laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Ketiga, laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK), dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Keempat, laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual dengan waria dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja waria tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

Kelima, perempuan dewasa melakukan hubungan seksual gigolo dengan kondisi gigolo tidak pakai kondom, karena bisa saja gigolo tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.

Jika jargon-jargon moral yang mengandung mitos tetap dijadikan materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS, maka masyarakat tidak akan pernah memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian kasus baru HIV/AIDS terus terjadi yang pada gilirannya jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. (Sumber: Kompasiana, 17/5-2022). *

(6) Kaitkan Lesbian Langsung dengan Penyebaran HIV/AIDS Adalah Hoaks

Pada lesbian tidak ada seks penetrasi sehingga tidak ada risiko penularan HIV/AIDS, pengaitan lesbian dengan penyebaran HIV/AIDS adalah hoaks

 Akhir-akhir ini instansi, institusi dan aktivis terkait dengan HIV/AIDS dengan lantang tanpa beban moral selalu mengaitkan lesbian dalam terminologi LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) secara langsung dengan penyebaran HIV/AIDS. Ini hoaks yang bisa dijerat dengan UU ITE.

Pengaitan langsung lesbian dalam terminologi LGBT dengan (epidemi) HIV/AIDS merupakan informasi yang menyesatkan (misleading) yang disebut hoaks (informasi bohong).

Perilaku Seksual

Lihat saja judul berita ini: LGBT Gaya Hidup yang Potensial Menyebarkan Penyakit HIV/AIDS (tribunnews.com, 23/1-2018).

Di lead disebutkan: Rosmelia, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) mengatakan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) merupakan gaya hidup yang potensial menyebarkan infeksi penyakit HIV/AIDS.

Judul dan lead berita ini benar-benar menyesatkan dan hoaks, karena:

Pertama, penyebutan ‘penyakit HIV/AIDS’ salah karena HIV adalah virus dan AIDS adalah kondisi pada diri seseorang yang sudah tertular HIV/AIDS secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Orang-orang yang tertular HIV tidak semerta sakit, sedangkan di masa AIDS pun tidak otomatis ada penyakit apalagi pengidap HIV/AIDS meminum obat antiretroviral (ARV) sesuai resep dokter.

Kedua, potensi menyebarkan HIV/AIDS bukan karena gaya hidup LGBT sebagai orientasi seksual, tapi karena perilaku seksual orang per orang yang mengidap HIV/AIDS. Yang potensial menyebarkan HIV/AIDS adalah mereka, dengan orientasi seksual heteroseksual dan homoseksual, pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.

Ketiga, pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku akan menghentikan penyebaran HIV/AIDS mulai dari dirinya. Dalam konseling sebelum tes HIV setiap orang yang akan menjalani tes HIV akan membuat pernyataan bahwa jika terdeteksi positif akan menghentkan penyebaran HIV/AIDS mulai dari dirinya.

Keempat, fakta menunjukkan sesuai dengan laporan resmi faktor risiko terbesar adalah heteroseksual (orientasi seksual yang secara seksual tertarik dengan lawan jenis), al. bisa dilihat dari jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka ini tertular HIV dari suaminya yang kemungkinan besar adalah heteroseksual.

Stigma dan Diskriminasi

Kelima, yang jauh lebih potensial menyebarkan HIV/AIDS adalah biseksual yaitu secara seksual tertarik kepada lawan jenis dan sejenis. Kalau laki-laki mereka beristri, tapi juga punya pasangan sejenis. Biseksual merupakan jembatan penyebaran IMS [infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai ‘penyakit kelamin’, yaitu kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus  kanker serviks, dll.] dan HIV/AIDS dari komunitas-komunitas homoseksual ke masyarakat, terutama kepada istri.

Keenam, gay dalam LGBT tidak mempunyai perempuan sebagai pasangan tetap sehingga mereka tidak potensial menyebarkan HIV/AIDS ke publik di luar komunitasnya. Yang dikhawatirkan adalah laki-laki biseksual mempunyai pasangan gay sehingga ada risiko tertular HIV bagi laki-laki biseksual yang seterusnya akan disebarkan ke istrinya.

Ketujuh, kalau pun ada lesbian sebagai biseksual yang tertular dari suaminya pola seks pada lesbian bukan faktor risiko tinggi penularan HIV/AIDS karena tidak ada seks penetrasi.

Tujuh fakta di atas menunjukkan judul dan lead berita ngawur dan termasuk klasifikasi hoaks. Selain menyesatkan judul dan lead berita mendorong stigma dan diskriminasi terhadap LGBT sehingga bisa mendorong persekusi.

Judul berita ini juga tidak akurat: Hari AIDS Sedunia 2018, LGBT Penularan Tertinggi HIV AIDS di Riau, Kalahkan Penggunaan Jarum Suntik (pekanbaru.tribunnews.com, 30/11-2018).

Dalam berita tidak ada data jumlah lesbian pengidap HIV/AIDS. Yang ada ini: “Sekarang beralih ke kalangan LGBT lebih banyak kasus yang ditemukan. Peningkatannya di Riau sendiri dari sebelumnya kasus HIV dan Aids pada LGBT dari awalnya 0,1 sekarang 0,7 persen,” jelas Sri Suryaningsih, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Riau.

Selain itu ada rumatan metadon (narkoba sintetis cair) dan penggantian jarum suntik yang steril sehingga risiko penularan HIV melalui penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama dan bergantian turun drastis. Jadi, tidak bisa dibandingkan dengan penularan dengan faktor risiko lain.

Seks Penetrasi

Ada lagi judul berita: LGBT Pemicu AIDS (sumeks.co.id, 1/12-2018). Lagi dalam berita tidak ada fakta tentang jumlah kasus HIV/AIDS pada lesbian.

Dengan menyebut lesbian pada LGBT sebagai ‘gaya hidup yang potensial menyebarkan penyakit HIV/AIDS’ merupakan hoaks karena pada lesbian tidak ada seks penetrasi sehingga risiko penularan HIV rendah nyaris tidak ada.

Salah satu cara penularan HIV/AIDS adalah melalui hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dari pengidap HIV/AIDS ke orang lain, di dalam dan di luar nikah, jika laki-laki tidak memakai kondom.

Maka, bukan gaya hidup LGBT (sifat hubungan seksual), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual), yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual (kondisi hubungan seksual). Simak gambar di bawah ini.

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Nah, terkait dengan berbagai kalangan selalu dengan ringan mulut mengaitkan HIV/AIDS secara langsung dengan lesbian, sudah saatnya berkaca diri. Mengaitkan lesbian pada LGBT secara langsung dengan penyebaran HIV/AIDS adalah informasi atau kabar bohong, yang lebih dikenal sebagai hoaks, karena tidak ada kasus HIV/AIDS pada lesbian dan seks pada lesbian pun bukan faktor risiko penularan HIV/AIDS karena tidak ada seks penetrasi.

Pernyataan yang mengaitkan lesbian pada LGBT secara langsung dengan penyebaran HIV/AIDS menyesatkan dan membuat onar di masyarakat yang akhirnya menohok kalangan lesbian. Ini perbuatan melawan hukum yaitu pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana berupa 6 tahun penjara dan denda Rp 1 M serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM). (Sumber: Kompasiana, 13/12-2018). *

(7). Gratifikasi Seks Akan Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia

Mendorong KPK mengatur sanksi pidana berat bagi pemberi dan penerima gratifikasi seks di kalangan penyelenggara negara dan CEO korporasi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar pertemuan dengan ratusan pemimpin perusahaan swasta di Medan, Sumatera Utara (24/6-2013). Materi yang dibahas pada pertemuan tsb. adalah seputar pencegahan dan pemberantasan gratifikasi seks dan suap melalui fasilitas hiburan (TRIBUNnews.com 23/6-2013).

Terlepas dari apakah gratifikasi seks dan suap fasilitas hiburan berupa cewek yang diberikan pihak swasta ke penyelenggara negara merupakan korupsi atau tidak, tapi dari aspek epidemi HIV/AIDS gratifikasi seks merupakan salah satu faktor pendorong penyebaran HIV/AIDS di kalangan pejabat atau penyelenggara negara.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sampai Desember 2012 mencapai 143.889 yang terdiri atas 98.390 HIV dan 45.499 AIDS dengan 8.235 kematian. Sedangkan sampai 30 September 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS nasional mencapai 579.188 yang terdiri atas 445.641 HIV dan 133.547 AIDS.

Yang perlu diingat adalah angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi yang dikenal sebagai fenomena gunung es.

Jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar fenomena gunung es).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Ada anggapan bahwa cewek atau perempuan yang berisiko menularkan HIV/AIDS hanyalah cewek atau perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran dan di tempat-tempat hiburan malam, termasuk ‘panti pijat plus-plus.’

Anggapan itu merupakan mitos (anggapan yang salah) karena risiko tertular HIV/AIDS pada cewek atau perempuan bukan karena dia seorang PSK atau perempuan pekerja di tempat hiburan malam dan panti pijat, tapi karena perilakunya yaitu sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.

Sekarang dikenal sebagai cewek prostitusi online karena lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial sejak lokalisasi pelacuran ditutup sejak reformasi bergulir. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel dengan eksekusi pada sembarang waktu dan di sembarang tempat.

Seorang perempuan, dalam hal ini cewek yang menjadi gratifikasi seks, berisiko tertular HIV karena dia sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom (lihat matriks).

Matriks: Penyebaran HIV/AIS melalui cewek gratifikasi. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Seperti yang ada dalam matriks, seorang cewek gratifikasi seks pernah melakukan hubungan seksual dengan banyak laki-laki. Di antara laki-laki tsb. ada juga yang menjadi pelanggan PSK. Ada pula yang punya pasangan waria. Ada lagi yang juga punya pasangan laki-laki lain, disebut LSL yaitu lelaki yang suka seks lelaki.

Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dengan cewek gratifikasi seks mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan pada cewek gratifikasi seks.

Ketika seorang penyelenggara negara menerima cewek gratifikasi ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu:

(1) Laki-laki penyelenggara negara tersebut justru pengidap HIV/AIDS, maka dia menularkan HIV/AIDS kepada cewek gratifikasi seks.

(2) Laki-laki penyelenggara negara yang menerima cewek gratifikasi seks yang sudah mengidap HIV/AIDS berisiko tertular HIV.

Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki penyelenggara negara yang menularkan HIV kepada cewek gratifikasi seks dan laki-laki penyelenggara negara yang tertularHIV dari cewek gratifikasi seks bisa saja sebagai suami.

Maka, mereka pun akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Jika istri mereka tertular HIV, anak yang dikandung istri pun berisiko pula tertular HIV (vertikal).

Bisa saja terjadi cewek gratifikasi seks justru merupakan ‘langganan’ dari pelaku usaha swasta sehingga petinggi di pihak swasta itu pun bisa mengalami hal yang sama dengan penyelenggara negara.

Di beberapa daerah kasus HIV/AIDS mulai terdeteksi pada PNS dan aparat serta pengusaha. Ini merupakan konksekuensi logis karena, (a) ada kemungkinan mereka menerima cewek gratifikasi, atau (b) mereka mempunyai uang karena mendapat penghasilan yang tetap sehingga bisa membeli seks secara rutin.

Maka, upaya KPK untuk mengatur sanksi pidana bagi pemberi dan penerima gratifikasi seks merupakan salah satu langkah yang berarti dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, terutama pada kalangan penyelenggara negara dan CEO korporasi. (Sumber: AIDS Watch Indonesia, 23/6-2013). *

 

(8), Seks Bebas Bukan Penyebab HIV/AIDS

Seks bebas adalah istilah yang rancu, tapi kalau diartikan sebagai zina maka sama sekali bukan penyebab penularan HIV/AIDS

“Seks Bebas Jadi Faktor Utama Penularan HIV/AIDS” Ini judul berita di mediaindonesia.com (1/12-2020). Judul berita ini benar-benar tidak mencerdaskan karena pernyataan dalam judul berita ini justru menyesatkan (misleading).

Apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’?

Dalam berita tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’. Jika ‘seks bebas’ yang dimaksud dalam berita ini adalah zina (sifat hubungan seksual), maka pernyataan di judul berita ini benar-benar menyesatkan karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual, dalam hal ini ‘seks bebas’.

Lagi pula kalau benar ‘seks bebas’ penyebab tertular HIV/AIDS, maka semua orang yang pernah melakukan ‘seks bebas’ sudah tertular HIV/AIDS. Faktanya: Tidak! Karena penularan HIV/AIDS terjadi bukan karena ‘seks bebas.’

Risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah, jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Dalam berita disebutkan: SEKS bebas masih merupakan faktor utama risiko penularan HIV/AIDS. Tapi, lagi-lagi tidak ada penjelasan tentang apa itu ‘seks bebas’.

Yang ada pernyataan ini: Beberapa pasien yang pernah dia [Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam-pen.] tangani merupakan anak muda yang mendapat HIV/AIDS karena setiap minggu mencari hiburan dengan pergi ke tempat-tempat yang menyediakan wanita untuk dikencani. Selanjutnya ada seorang bapak yang sudah beristri didapat karena setiap dinas ke luar kota menyempatkan untuk pijat dan mendapatkan pelayanan plus-plus.

Di mana unsur ‘seks bebas’-nya? Jika menyimak pernyataan di atas, maka yang dimaksud ‘seks bebas’ itu adalah zina.

Pertanyaannya: Apakah zina otomatis menularkan HIV/AIDS?

Kalau benar penularan HIV/AIDS karena zina (baca: seks bebas) tentulah sudah banyak warga Indonesia dan dunia yang tertular HIV/AIDS karena setiap orang yang pernah zina otomatis tertular HIV/AIDS.

Tapi, faktanya jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai tanggal 30 Juni 2021 sebanyak 560.903 (Ditjen P2P, Kemenkes RI, 30 September 2021), dan dunia 37,7 juta sampai akhir tahun 2021. Sementara jumlah penduduk Indonesia 275 juta dan dunia 7,8 miliar.

Padahal, jumlah warga Indonesia dan dunia yang melakukan ‘seks bebas’ banyak. Studi menunjukkan sampai akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) (bali.antaranews.com, 9/4-2013). Praktek pelacuran di banyak negara juga menunjukkan tingkat ‘seks bebas’ yang tinggi.

Maka, amatlah gegabah redaksi media online ini membuat judul berita “Seks Bebas Jadi Faktor Utama Penularan HIV/AIDS” karena penularana HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual, tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual.

Ada pula pernyataan: Selain itu semakin banyak orang yang tidak menyadari kalau dia terpapar virus yang menyerang kekebalan tubuh ini.

Hal itu terjadi karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS tidak akurat karena dibumbui dengan norma, moral dan agama. Selain itu penyebutan ciri-ciri orang yang tertular HIV/AIDS pun tidak akurat karena tidak menyebutkan prakondisi yang menyebabkan tertular HIV/AIDS.

Akibatnya, banyak orang dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS tidak menyadari sudah tertular HIV/AIDS karena ciri-ciri yang diumbar media massa dan media online tidak ada pada dirinya.

Padahal, tanpa ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang terkait dengan HIV/AIDS bisa saja seseorang mengidap HIV/AIDS jika pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Misalnya, pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, sengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan seks, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan gigolo.

Sudah saatnya media massa dan media online lebih arif dan bijaksana dalam menulis berita dan artikel tentang ciri-ciri HIV/AIDS karena bisa menyesatkan.

Disebutkan pula: Dengan semakin banyak kasus HIV di tengah masyarakat mestinya kemampuan dokter untuk mendeteksi kasus ini meningkat.

Dengan mengetahui riwayat perilaku seksual pun sudah merupakan langkah untuk diagnosis. Jika pasien yang berobat mempunyai riwayat perilaku seksual dan kegiatan lain yang berisiko tertular HIV/AIDS, maka bisa dianjurkan agar pasien itu menjalani tes HIV secara sukarela.

Sebaliknya, biar pun ada gejala-gejala terkait dengan infeksi HIV/AIDS, tapi pasien tersebut tidak mempunyai riwayat perilaku seksual dan kegiatan lain yang berisiko tertular HIV, maka gejala-gejala itu sama sekali tidak terkait dengan infeksi HIV/AIDS. (Sumber: Kompasiana, 6/5-2022). *

(9). Guru Agama Ini Kebingungan karena Anak Keduanya Lahir dengan HIV/AIDS

Seorang guru agama di Sumut bingung tujuh keliling karena anak keduanya lahir dengan HIV/AIDS, tidak ada riwayat perilaku seksual berisiko

Mungkin Anda juga akan bingung tujuh keliling seperti guru agama di sebuah kota di Sumatera Utara (Sumut) ini karena dia yakin betul perilaku seksualnya tidak berisiko tertular HIV/AIDS. Tapi, mengapa anak keduanya lahir dengan AIDS?

Seorang teman aktivis AIDS di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), mengontak saya melalui telepon awal tahun 2000-an, “Bang, ini ada kasus guru agama terdeteksi HIV sekeluarga, kecuali anak pertama,” kata teman itu.

Jika hanya dengan data itu tentulah tidak akan bisa diketahui persoalan yang terjadi pada keluarga guru agama itu. Bermula ketika anak kedua lahir. Karena terkait dengan kondisi kesehatan bayi, dokter menganjurkan agar anak menjalani tes HIV. Hasilnya positif. Selanjutnya si ibu pun dites dan hasilnya juga positif. Begitu juga suami hasil tesnya pun positif.

Gambar 1. Kondisi keluarga guru agama ketika anak pertama lahir tanpa HIV/AIDS. (Sumber: Syaiful W. Harahap)

Padahal, sebelum anak kedua lahir tidak ada persoalan terkait dengan HIV/AIDS (Gambar 1). Tidak ada keluhan kesehatan yang terkait dengan HIV/AIDS pada suami, istri dan anak pertama. Bahkan, ketika anak kedua, ibu dan suami menjalani tes HIV, anak pertama pun ikut juga tes HIV. Hasil tes HIV pada anak pertama negatif (Gambar 2).

Gambar 2. Kondisi keluarga guru agama ketika anak kedua lahir dengan HIV/AIDS. (Sumber: Syaiful W. Harahap)

Riwayat perilaku seksual suami dan istri sama sekali tidak terkait dengan perilaku yang berisiko tertular HIV. Jika dengan data atau fakta ini saja tentulah persoalan kelihatan ruwet dan rumit.

“Dari mana AIDS masuk ke keluarga itu?”

Pertanyaan itu jugalah yang jadi perhatian aktivis tadi. Melalui konseling yang komprehensif akhirnya guru agama itu buka rahasia bahwa dia punya istri lain.

Ini pintu masuk untuk menelusuri asal HIV/AIDS pada istri pertama dan anak kedua dari istri pertama.

Gambar 3. Kondisi keluarga guru agama ketika anak pertama kedua lahir dari istri pertama dan anak pertama dari istri kedua lahir dengan HIV/AIDS. (Sumber: Syaiful W. Harahap)

Infomrasi berharga pun diperoleh aktivis AIDS tadi. Anak pertama guru agama dengan istri kedua yang lahir hampir bersamaan dengan anak kedua dari istri pertama ternyata HIV-positif (Gambar 3). Hasil tes HIV istri kedua juga positif.

Teka-teki tentang asal-usul AIDS pada guru agama, istri pertama dan anak kedua dari istri pertama terkuak sudah. Guru agama itu tertular HIV dari istri kedua yang selanjutnya menularkan HIV ke istri pertamanya dan berakhir pada anak kedua mereka.

Ternyata istri kedua guru agama itu adalah seorang perempuan yang sudah pernah menikah yang kemudian bercerai dan menikah dengan guru agama tadi. Maka, istri kedua guru agama ini tertular dari mantan suaminya.

Bertolak dari kasus ini menikah dengan laki-laki atau perempuan yang bercerai perlu waspada karena bisa saja perilaku seksual pasangan mereka sebelumnya merupakan perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS.

Tentulah tidak mudah menelusuri perilaku seksual calon pasangan yang akan dinikahi, dan tidak pula elok bertanya ke calon pasangan tentang perilaku seksual mantan pasangannya.

Maka, langkah yang paling arif adalah bersama-sama menjalani tes HIV dengan catatan harus memperhatikan masa jendala yaitu hasil tes akurat jika dilakukan minimal tiga bulan sejak hubungan seksual terkahir. (Sumber: Kompasiana, 18/4-2018). *

 

(10). Menyoal Sosialisasi dan Edukasi Cegah HIV/AIDS di Kabupaten Lebak

Sosialisasi dan edukasi HIV/AIDS sudah dijalankan pemerintah sejak awal epidemi HIV/AIDS, tapi hasilnya nol besar

“Pemkab setempat (Kabupaten Lebak, Provinsi Banten-pen.) mengoptimalkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk pencegahan penyebaran penyakit menular (HIV/AIDS, pen.) tersebut.” Ini ada dalam berita “Dinkes Kabupaten Lebak temukan kasus baru HIV/AIDS 12 orang” (banten.antaranews.com, 8/7-2022).

Terkait dengan sosialisasi dan edukasi tentang HIV/AIDS biar pun sudah dilakukan pemerintah sejak awal epdiemi yaitu di akhir tahun 1980-an, tapi karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama, maka yang samai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Sedangkan fakta medis tentang HIV/AIDS, seperti cara-cara penularan dan pencegahan tidak dipahamai banyak orang secara benar.

Misalnya, penularan HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan istilah yang ngawur bin ngaco yaitu ‘seks bebas.’

Sampai detik ini tidak jelas apa yang dimaksud secara konkret tentang ‘seks bebas.’ Isitlah ini adalah terjemahan dari istilah yang tidak dikenal di bahasa induknya, Inggris, yaitu ‘free sex.’

Dalam kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada laman ‘free sex’ yang ada justru ‘free love’ yaitu sexual relations without marriage (hubungan seksual tanpa nikah) (The Advance Learner’s Dictionary of Current English, Second Edition, A.S Hornby, E.V. Gatenby, H. Wakefiel, London, Oxford University Press, Nineteenth Impression, 1973, hlm 327).

Kalau kemudian di Indonesia orang-orang yang membalut lidah dengan moral menyebut ‘seks bebas’ sebagai zina, maka kalau dikaitkan dengan penularan HIV/AIDS itu jelas ngawur.

Soalnya, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks pranikah, selingkuh, melacur, homoseksual, dan lain-lain), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom). Ini fakta medis.

Lagi pula, kalau benar zina penyebab penularan HIV/AIDS, maka semua orang yang pernah atau sering melakukan zina berarti sudah jadi pengidap HIV/AIDS atau disebut Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Maka, pernyataan ini pun tidak akurat: Penyebaran penyakit itu, ucapnya (Kepala Bidang Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Dinkes Kabupaten Lebak, Firman Rahmatullah, antara lain karena perilaku seks bebas, penggunaan jarum suntik atau transfusi darah dari penderita dan ibu positif yang sedang menyusui bayinya.

Bukan karena ‘seks bebas’ tapi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yang tidak aman yaitu dilakukan dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis.

Sedangkan seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,

Jika Pemkab Lebak ingin menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV/AIDS baru, maka harus ada langkah konkret yaitu intervensi terhadap perilaku di atas.

Tapi, hal itu mustahil karena tiga perilaku di atas ada di ranah privat (private sphere) sehingga tidak bisa dijangkau. Apalagi sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial dengan prostitusi online yang membuat transaksi seksual melalui ponsel, sedangkan eksekusinya terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Di beberapa negara yang berhasil menekan insiden infeksi HIV/AIDS baru, seperti Thailand, menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’ terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Tapi, program itu hanya bisa dijalankan jika praktek PSK dilokalisir, sedangkan di Indonesia sejak reformasi lokasilasi pelacuran ditutup yang membuat praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat.

Disebutkan pula: Ia (Firman Rahmatullah-pen.) mengaku masih rendah kesadaran mereka setempat berisiko tertular penyakit itu untuk memeriksakan kesehatannya.

Bukan memeriksakan kesehatan, tapi menjalani tes HIV. Persoalannya, materi KIE hiv/AIDS tidak menyebut dengan jelas perilaku-perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS karena dibumbui dengan moral dan agama. Padahal, 3 perilaku seksual di atas merupakan pintu masuk HIV/AIDS ke Lebak.

Lebih lanjut Firman Rahmatullah mengatakan: “Kami minta warga dapat memeriksakan kesehatannya, terutama bagi masyarakat dengan gaya hidup berisiko (tertular HIVAIDS, red.).”

Menyebut ‘gaya hidup berisiko’ tidak jelas karena risiko apa, gaya hidup macam apa, dan seterusnya.

Tapi, kalau disebutkan dengan jelas 3 perilaku di atas itu tegas. Maka, yang perlu disosialisasikan media massa dan media online adalah: “Setiap orang yang pernah atau sering melakukan salah satu atau lebih dari 3 perilaku seksual berisiko di atas, maka dianjurkan agar segera menjalani tes HIV secara sukarela.”

Persoalannya adalah: Apakah ada keberanian kita untuk menyampaikan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS secara faktual tanpa dibumbui dengan moral dan agama?

Kalau jawabannya: Tidak! Maka, insiden infeksi HIV/AIDS baru akan terus terjadi. Warga yang tertular HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS tanpa mereka sadari sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara sebagai ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 11/7-2022). *

(11). Menunggu Inovasi dan Gagasan Penanggulangan HIV/AIDS di Sulawesi Selatan

Cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS sudah diketahui sejak awal pandemi, tapi tidak dijalakan secara utuh karena dibenturkan dengan moral dan agama

“Tim Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Sulawesi Selatan terus berupaya menghadirkan inovasi dan gagasan-gagasan dalam penanggulangan HIV AIDS.” Ini lead di berita “KPAP terus berinovasi tekan HIV AIDS di Sulawesi Selatan” (makassar.antaranews.com, 23/3-2022)

Dalam Laporan Perkembangan HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan III Tahun 2021 yang dikeluarkan SIHA Kemkes pada priode Juli – September 2022 tanggal 7/2-2022 menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIVa/AIDS di Sulawesi Selatan (Sulsel) sampai 30 September 2022 sebanyak 16.267 yang terdiri atas 12.348 HIV dan 3.919 AIDS.

Jumlah kasus kumulatif itu menempatkan Sulsel pada peringkat ke-8 secara nasional dalam jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS.

Di lead disebutkan ‘KPAP Sulawesi Selatan terus berupaya menghadirkan inovasi dan gagasan-gagasan dalam penanggulangan HIV/AIDS.’ Sejak HIV/AIDS diidentitifikasi secara medis cara-cara penularan dan pencegahan tidak pernah berubah sampai sekarang.

Maka, yang perlu dilakukan adalah membuat program yang konkret untuk pencegahan melalui hubungan seksual dan nonseksual.

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

Dalam berita disebutkan: Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Sulsel, Husni Thamrin, mengatakan KPAP Sulsel diharapkan mampu berperang dalam menekan kejadian HIV/Aids di Sulsel dengan melalukan pemberdayaan masyarakat. “Termasuk mengedukasi masyarakat untuk menghindari perilaku berisiko, memutus penularan dan ketekunan minum obat bagi penderita.”

Kalau hanya sebatas edukasi hal itu sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu ketika HIV/AIDS dilaporkan di Indonesia (1987) dan hasilnya nol besar.

Bagaimana caranya edukasi bisa menghalangi warga untuk melakukan perilaku-perilaku berisiko di atas. Perilaku berisiko di atas semua terjadi di ranah privat.

Sejak reformasi lokalisasi pelacuran ditutup, maka sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan melalui media sosial, sedangkan eksekusinya dilakukan di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Sekretaris KPAP Sulsel, Muharram Sahude,  mengatakan, “Koordinasi ini sebagai bentuk sinergitas bersama guna melakukan terobosan serta inovasi dalam upaya penanggulangan AIDS khususnya di Sulsel.”

Apa bentuk terobosan dan inovasi yang bisa mencegah warga melakukan perilaku-perilaku berisiko di atas?

Tidak ada!

Soalnya, tiga kegiatan berisiko di atas terjadi di ranah privat sehingga tidak bisa dilakukan intervensi. Selain itu setelah lokalisasi pelacuran ditutup sejak reformasi, lokalisasi pelacuran pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan di media sosial yang melibatkan perempuan atau cewek prostitusi online.

Yang bisa diintervensi hanya perilaku nomor 3, tapi itu pun praktek pelacuran harus dilokalisir. Thailand sudah membuktikan keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil.

Kalau hanya melalui sosialisasi dan edukasi sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu ketika HIV/AIDS terdeteksi di Indonesia (1987). Sedangkan melalui regulasi, dalam hal ini peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS juga tidak akan berhasil karena pasal-pasal di Perda AIDS tidak menukik ke akar persoalan.

Di Sulsel sendiri sudah ada enam Perda AIDS, yaitu: Kab Bulukumba (2008), Kab Luwu Timur (2009), Provinsi Sulsel (2010), Kab Wajo (2012), Kab Maros (2016), Kab Gowa (2017).

Selain pasal-pasal dalam Perda yang tidak konkret, Perda-perda AIDS di Indonesia pun hanya copy-paste dan mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS Thailand.

Karena intervensi terhadap perilaku-perilaku seksual berisiko tidak bisa dilakukan, maka yang bisa dijalankan Pemprov Sulsel dan pemerintah kabupaten dan kota di Sulsel adalah mencari kasus HIV/AIDS di masyarakat.

Soalnya, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Untuk itu perlu regulasi (Perda) yang tidak melawan hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).

Tanpa langkah-langkah yang konkret, insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Sulsel yang seterusnya terjadi penularan horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penularan ini bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 23/7-2022) *

 

(12). Adakah Pasal yang Konkret untuk Mencegah Infeksi HIV Baru di Perda AIDS Sumatera Utara?

Perda-perda AIDS di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS Thailand, maka adakah langkah konkret penceghan HIV di Perda AIDS Sumut

“Baskami berpendapat banyak Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) malu untuk melaporkan dirinya.” Ini pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut), Baskami Ginting, dalam berita “Tertinggi ke 5, Puluhan Ribu Warga Sumut Mengidap HIV/AIDS” (detiksumut, 15/4-2022).

Pernyataan Baskami itu terkait dengan dugaannya bahwa jumlah sebenarnya penderita HIV/AIDS jauh lebih tinggi dari angka yang ada saat ini. Dilaporkan sampai Desember 2021, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Sumut sebanyak 13.150.

Angka ini berbeda dengan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 30 September 2021, yaitu jumlah kasus HIV/AIDS di Sumut sampai 30 Juni 2021 sebanyak 27.044 yang terdiri atas 22.518 HIV dan 4.526 AIDS.

Memang, jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (13.150) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar Gung Es).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Tapi, kasus yang tidak terdeteksi bukan karena (mereka) “malu untuk melaporkan dirinya.” Pernyataan Baskami ini salah kaprah karena semua orang yang menjalani tes HIV otomatis akan terdaftar di fasilitas kesehatan (Faskes) tempat mereka mejalani tes HIV.

Dalam berita disebutkan Pemprov Sumut dan DPRD Sumut menyetujui peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Menurut Baskami, dibutuhkan regulasi mendukung pengobatan dan pencegahan penularan HIV/AIDS yang tertuang dalam Perda.

Pengobatan adalah langkah di hilir. Artinya yang ditangani adalah warga yang sudah tertular HIV/AIDS. Jika yang dilakukan Pemprov Sumut hanya pengobatan itu sama saja dengan membiarkan warga Sumut tertular HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung.

PSK dikenal dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, namun karena sejak reformasi tidak lagi ada lokalisasi pelacuran PSK langsung pun beralih jadi PSK tidak langsung,

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, dan cewek prostitusi online.

Lokalisasi pelacuran pun sekarang sudah pindah ke media sosial dengan transaksi melalui ponsel. Sedangkan eksekusi seks yang terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat sehingga tidak bisa lagi dijangkau untuk sosialiasi seks aman (laki-laki selalu memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual).

Sedangkan pencegahan sudah bisa dipastikan di dalam Perda itu hanya pasal-pasal normatif yang merupakan “copy-paste” dari Perda-perda AIDS yang sudah ada. Di Indonesia sudah ada sekitar 150 Perda AIDS, sementara di Sumut sendiri  Sedangkan di Sumut sudah ada 3 perda yaitu: Kabupaten Serdang Bedagai (2006), Kota Tanjung Balai (2009), dan Kota Medan (2012).

Apakah Pemprov Sumut dan DPRD Sumut belajar dari tiga perda itu? Yang perlu diingat adalah program penanggulangan HIV/AIDS dan Perda AIDS di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS Thailand.

Dalam berita disebutkan: Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi meyakini Perda HIV/AIDS akan mempermudah pemerintah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Sumut.

Sayang, Perda AIDS Sumut belum bisa diakses sehingga tidak bisa diketahui pasal-pasal penanggulangn. Tapi, sebagai gambaran Perda AIDS Sumut akan berguna jika bisa menutup 11 pintu masuk HIV/AIDS ini:

(1). Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

(2). Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(3). Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(4). elalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.), karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(5). Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

(6). Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsug atau PSK tida langsung, karena bisa saja salah satu dari PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

(7). Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria karena ada waria yang sering ganti-ganti pasangan sehingga bisa jadi waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan waria mereka justru jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa waria ditempong atau di anal) dan waria jadi ‘laki-laki’ (dalam bahasa waria menempong atau menganal).

(8). Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan waria heteroseksual (waria tidak memakai kondom). Dalam prakteknya waria ada yang heteroseksual sehingga menyalurkan dorongan seksual dengan perempuan. Bisa saja waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

(9). Melalui laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari laki-laki atau perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

(10). Melalui laki-laki dewasa homoseksual yaitu gay (secara seksual tertarik pada sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

(11). Melalui laki-laki dan perempuan dewasa yang menyalahgunakan Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian memakai jarum suntik karena bisa saja salah satu atau beberapa dari mereka mengidap HIV/AIDS sehingga darah yang masuk ke jarum suntik mengandung HIV/AIDS yang selanjutnya menular ke penyalahguna berikutnya.

Dari 11 pintu masuk HIV/AIDS hanya poin 11 yang bisa diintervensi, sedangkan pintu masuk yang lain bersifat privasi. Sedangkan poin 6 juga tidak bisa lagi diintervensi karena praktek PSK tidak lagi dilokalisir.

Jika Perda AIDS Sumut yang sudah disahkan itu tidak mempunyai program yang konkret untuk menutup 11 pintu masuk HIV/AIDS di atas, maka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat Sumut, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, terjadi tanpa disadari jadi ‘bom waktu’ yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 3/5-2022). *

 

Bagian II: Penanggulangan AIDS di Daerah

 

(13). Apa Langkah Nyata Pemkab Klaten Menanggulangi HIV/AIDS

Tanpa ada langkah yang nyata dilakukan oleh Pemkab Klaten untuk menanggulangi HIV/AIDS akan meningkatkan jumlah warga Klaten yang tertular HIV/AIDS

“Angka Kasus HIV/AIDS Meningkat, Ini Langkah Nyata Pemkab Klaten” Ini judul berita di solopos.com, 14/6-2022.

Sampai Juni 2022 dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (Jateng) sebanyak 1.171.

Namun, perlu diingat bahwa dalam epidemi HIV/AIDS jumlah kasus yang dilaporkan atau terdeteksi, dalam hal ini 1.171, hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat Klaten khususnya.

Soalnya, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Maka, amatlah masuk akal kalau kasus demi kasus terus terdeteksi di Klaten karena warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS tanpa mereka sadari, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang tertular HIV/AIDS. Secara statistik tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS baru muncul antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.

Tapi, jika seseorang tertular HIV/AIDS dan terdeteksi melalui tes di fasilitas kesehatan pemerintah, maka orang tersebut akan diberikan obat antiretroviral (ARV) yang harus diminum seumur hidup sehingga tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS tidak muncul. Infeksi HIV pun tidak mengganggu kesehatan orang tersebut.

Selain warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi, insiden infeksi HIV baru pun terus terjadi melalui perilaku seksual berisiko warga dewasa, yaitu:

Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan

Peremuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Dari tiga perilaku seksual berisiko di atas tidak selalu karena hubungan seksual di luar nikah, seperti zina dan melacur. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, seks pranikah, selingkuh, atau ‘seks bebas’), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual. Ini fakta medis (Lihat matriks).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Tapi, dalam berita yang dikedepankan justru mitos (anggapan yang salah), yaitu “perilaku seks bebas dengan berganti-ganti pasangan adalah resiko paling rentan penularan.”

‘Seks bebas’ sendiri adalah istilah yang rancu bin ngawur karena tidak jelas artinya. Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina, maka semua orang yang pernah berzina berarti sudah tertular HIV/AIDS.

Ternyata tidak juga! Banyak orang yang berzina tidak tertular HIV/AIDS karena kondisi saat terjadi zina keduanya HIV-negatif, atau laki-laki memakai kondom.

Berganti-ganti pasangan dalam ikatan pernikahan yang sah pun ada risiko penularan HIV/AIDS karena bisa saja salah satu dari pasangan itu mengidap HIV/AIDS.

Wakil Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Klaten, KH Purnomo Murtadlo, dalam berita mengatakan: “Perilaku seks bebas dan sebagainya itu adalah perbuatan fasak (melanggar agama), terutama zina. …. “

Penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubungan seksual seperti dijelaskan di atas, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual.

Maka, bagi warga yang gemar melalukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan PSK lakukanlah dengan aman yaitu memakai kondom.

Pernyataan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Klaten, Ronny Roekmito: “Dan perilaku hidup seks sehat adalah cara terbaik mengatasi HIV/AIDS” tidak akurat karena bukan seks sehat tapi seks aman yaitu tidak melakukan hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS tanpa kondom dan memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan PSK.

Disebutkan pula: Penyalahgunaan narkoba khususnya penggunaan jarum suntik juga sangat berisiko menularkan penyakit ini. Ini juga tidak akurat karena penyalahgunaan harus dilakukan secara bersama-sama dengan memakai jarum suntik dan tabung secara bergantian. Kalau menyuntikkan narkoba sendirian, sampai kiamat pun tidak ada risiko penularan HIV dan penyalahgunaan narkoba tersebut.

Ada lagi pernyataan: Tak kalah berbahaya adalah perilaku seks menyimpang seperti lesbian dan homoseksual.

Ini pernyataan yang tidak akurat. Lesbian adalah bentuk homoseksualitas yaitu secara seksual tertarik kepada sejenis dalam hal ini perempuan. Sedangkan pada laki-laki disebut gay.

Lagi-lagi yang menyebabkan terjadi penularan pada gay melalui seks anal (penetrasi) karena salah salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan yang menganal tidak memakai kondom.

Perlu diingat seks pada lesbian tidak terjadi seks penetrasi sehingga tidak ada risiko penularan HIV/AIDS pada seks lesbian.

Dalam berita tidak ada penjelasan yang rinci tentang langkah konkret Pemkab Klaten untuk menangulangi HIV/AIDS. Yang perlu dilakukan oleh Pemkab Klaten adalah intervensi terhadap warga yang melakukan perilaku seksual berisiko.

Jika tidak ada langkah yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Klaten. Warga yang tertular HIV/AIDS dan tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpan kondom di dalam dan di luar nikah. (Sumber: Kompasiana, 9/7-2022). *

 

(14). Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Papua Dilakukan di Hilir

Kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan, dalam hal ini tes HIV, terjadi di hilir sedangkan yang diperlukan program di hulu

Ketua Harian Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Anton Mote, mengatakan: …. di tengah peningkatan kasus HIV-AIDS di Papua, kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan semakin hari semakin baik.

Pernyataan itu ada dalam berita “Kasus HIV dan AIDS Meningkat hingga Ratusan Orang di Papua” (kbr.id, 1/8-2022).

Disebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua sampai dengan Desember 2021 sebanyak 46.967. Selanjutnya sampai Juli 2022 jumlah kasus naik jadi 47.962. Artinya bertambah 995 kasus HIV/AIDS baru.

Sementara itu laporan di siha.kemkes.go.id (7/2-2022) tentang Perkembangan HIV/AIDS dan  Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) menunjukkan dari tahun 1987 sampai 30 September 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Papua mencapai 64.736 yang terdiri atas 40.150 HIV dan 24.586 AIDS. Jumlah ini menempatkan Papua di peringkat ke-3 nasional dalam jumlah kasus HIV/AIDS.

Papua sendiri sudah sesumbar akan nol infeksi HIV baru pada tahun 2023 tapi tanpa program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang realistis. Ini ‘mimpi di siang bolong.’

Terkait dengan pernyataan Ketua Harian KPA Papua, Anton Mote, yaitu: “kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan semakin hari semakin baik” ada beberapa hal yang luput dari perhatian, yaitu:

(a). Perlu diperhatikan yang berisiko tertular HIV/AIDS bukan masyarakat, tapi seseorang atau warga yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yakni:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

Tntang PSK ada dua tipe:

  • PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
  • PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek prostitusi online.

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seksoral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

Sebaiknya KPA Papua melancarkan sosialisasi dengan KIE yang akurat jangan dibumbui denga norma dan moral agar fakta medis tentang HIV/AIDS langsung sampai ke masyarakat.

(b). Jika yang dimaksud Anton “melakukan pemeriksaan” adalah tes HIV, maka dalam format penanggulangan HIV/AIDS tes HIV ada di hilir. Warga yang kemudian terdeteksi HIV-positif artinya sudah melakukan perilaku seksual berisiko (Lihat matriks penanggulangan di hulu dan hilir).

Matriks: Tes HIV adalah program penanggulangan HIV/AIDS di hilir. (Sumber: Dok. Syaiful W. Harahap)

Yang diperlukan untuk menanggulangi, dalam hal hanya bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama pada lak-laki dewasa, adalah melakukan intervensi ke perilaku berisiko yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual berisiko pada hubungan seksual dengan PSK langsung pada perilaku seksual berisiko nomor (2).

Persoalan besar yang dihadapi Papua dan Indonesia adalah intervensi tidak bisa dilakukan karena sejak reformasi tempat-tempat pelacuran, dikenal sebagai lokalisasi pelacuran, sudah ditutup. Itu artinya praktek PSK langsung sudah pindah ke media sosial melalui transaksi dengan ponsel. Eksekusi terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat (lihat matriks penjangakuan).

Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Sedangkan praktek PSK tidak langsung juga terjadi di dunia maya sehingga mustahil dilakukan intervensi.

Sementara itu perilaku seksual nomor (1), (3) dan (4) terjadi di ranah privat yang mustahil untuk diintervensi.

Karena tidak ada intervensi yang bisa dilakukan oleh Pemprov Papua dan pemerintah kabupaten dan kota di Papua, maka insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi.

Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dan tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran terjadi karena warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi tidak menyadari kelau mereka tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat antiretroviral/ARV sesuai resep dokter).

Beberapa peraturan daerah (Perda) AIDS yang diterbitkan pemeirntah provinsi, kabupaten dan kota di Papua juga hanya ‘macan kertas’ karena tidak menukik ke akar persoalan terkait dengan penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang realistis.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru dan penyebaran HIV terus terjadi di Papua sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Kompasiana, 1/8-2022). *

 

(15). Cegah HIV/AIDS di Klaten Latih Pemijat dengan Memijat yang Tepat

Praktek pijat-memijat bukan faktor risiko penularan HIV/AIDS, tapi penualaran bisa terjadi jika pemijat bisa dibayar untuk melakukan hubungan seksual

“Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Klaten (Jawa Tengah-pen.) melakukan kampanye pencegahan HIV/AIDS bagi kalangan pelaku pijat. Mereka diajarkan keterampilan terapi teknik pemijatan tepat.” Ini lead pada berita “Cegah Penularan HIV/AIDS, 57 Pelaku Pijat di Klaten Dilatih Teknik Terapi” (yogya.inews.id, 25/7-2022).

Informasi pada judul dan lead berita ini bikin bingung: Bagaimana pijat bisa jadi media penularan HIV/AIDS?

Dalam berita pun tidak ada penjelasan tentang mengapa dan bagaimana pijat bisa jadi media penularan HIV/AIDS. Sebagai virus, HIV dalam jumlah yang bisa ditularkan ada di cairan darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI).

Pada praktek pijat-memijat tidak bersentuhan dengan darah, air mani dan ASI.

Lalu, bagaimana seorang pimijat bisa mencegah penularan HIV/AIDS dari praktek pijat-memijat?

Dalam berita disebut: Komunitas pelaku pijat Klaten menjadi salah satu kunci untuk penanggulangan.

Persoalannya adalah: bagaimana dan apa yang dilakujkan pemijat untuk mencegah penularan HIV/AIDS?

Lagi-lagi tidak ada penjelasan.

Karena tidak ada penjelasan tentang penularan HIV/AIDS melalui praktek pijat berita ini menyebarkan informasi yang membingungkan.

Disebutkan pula: Harapannya pesan pencegahan HIV/AIDS bisa tersampaikan, minimal mengetahui cara pencegahannya.

Tapi, dalam berita tidak ada disebutkan apa yang harus dilakukan pemijat agar tidak tertular HIV/AIDS melalui pijat.

Berita ini mengesankan bisa terjadi penularan melalui praktek pijat-memijat. Tentu saja ini tidak benar karena pijat-memijat tidak bersentuhan dengan darah, air mani, cairan vagina dan ASI.

Di bagian lain disebutkan: Dari beberapa titik panti pijat di jalan utama Yogya-Solo, dilakukan tes oleh relawan dan hasilnya ada 2 kasus positif.

Celakanya, tidak disebutkan faktor risiko atau bagaimana HIV/AIDS menular ke dua pemijat tersebut. Lagi-lagi informasi yang tidak komprehensif ini bisa menyesatkan yang bisa berdampak buruk terhadap pemijat dan orang-orang yang akan dipijat.

Begitu juga dengan informasi jumlah kasus HIV/AIDS di Klaten sama sekali tidak dilengkapi dengan faktor risiko atau cara penularan.

Insiden penularan HIV/AIDS di panti pijat bisa terjadi jika pemijat bisa dibayar untuk melakukan hubungan seksual dan tidak ada ketentuan laki-laki wajib memakai kondom.

Nah, kalau KPA Klaten mau memanfaatkan pemijat sebagai agen untuk mencegah penularan HIV/AIDS, maka pelatihan bukan tentang cara memijat yang benar. Pemijat dilatih terkait dengan cara-cara yang konkret mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. (Sumber: Kompasiana, 26/7-2022). *

 

(16). Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Pekalongan Ada di Hilir

Yang diperlukan adalah penanggangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui perilaku seksual berisiko

Selama kurun bulan Januari – Mei 2022, temuan kasus baru HIV/Aids di Kabupaten Pekalongan (Jawa Tengah-pen.) ada 29 kasus. Faktor pemicu penyakit ini di Kota Santri masih didominasi akibat seks bebas dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Ini lead pada berita “5 Bulan, Ada 29 Kasus HIV/Aids” (radarpekalongan.co.id, 19/7-2022).

Ada beberapa hal yang tidak akurat di lead berita ini, yaitu:

(a). Disebut “ …. penyakit ini (maksudnya HIV/AIDS-pen.). HIV bukan penyakit, tap virus. AIDS juga bukan penyakit tapi kondisi pada orang-orang yang tertular HIV yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular. Ini terjadi jika pengidap HIV tidak meminum obat antiretroviral (ARV) sesuai dengan resep dokter.

(b). Disebutkan pemicu HIV/AIDS di Kab Pekalongan adalah ‘seks bebas.’ Istilah atau terminologi ini ngawur bin ngaco karena terjemahan bebas dari ‘free sex’ yang justru tidak ada dalam kamus-kamus bahasa Inggris.

Lagi pula kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina atau pelacuran, maka pernyataan tersebut lebih ngawur lagi karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks bebas, melacur, selingkuh, homoseksual dan lain-lain), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom. Ini fakta medis (Lihat matriks).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Kalau seperti yang disebutkan di lead berita bahwa pemicu HIV/AIDS adalah ‘seks bebas,’ maka semua orang yang pernah melakukan zina dengan pacar, selingkuhan atau pekerja seks komersial (PSK) sudah mengidap HIV/AIDS.

Faktanya tidak. Misalnya, yang terpaksa menikah karena hamil duluan nyatanya mereka tidak mengidap HIV/AIDS walaupun sudah terbukti melakukan zina. Begitu juga dengan laki-laki ‘hidung belang’ tidak semua mengidap HIV/AIDS.

Maka, pernyataan tersebut (pemicunya seks bebas) merupakan hal yang, dalam jurnalistik disebut misleading (menyesatkan) sehingga tidak termasuk karya jurnalistik.

(c). Disebutkan pemicu HIV/AIDS di Kab Pekalongan adalah LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Ini juga misleading karena:

  • LGBT adalah orientasi seksual sehingga yang bukan LGBT pun jadi pemicu yaitu heteroseksual. Tapi, mengapa hanya LGBT yang disasar.
  • Non-LGBT yaitu suami-suami terbukti banyak yang menularkan HIV/AIDS ke istrinya yang bermuara pada anak yang dilahirkan istrinya mengidap HIV/AIDS. Dalam berita tidak ada penjelasan jumlah ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS.
  • Lesbian adalah orientasi homoseksual pada perempuan. Tidak ada seks penetrasi pada seks lesbian sehingga tidak ada risiko penularan HIV/AIDS pada seks lesbian. Belum ada laporan kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko seks lesbian.

Dalam berita disebutkan: “ …. agar kasus penyebaran bisa ditekan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Pekalongan lebih banyak turun ke lapangan untuk melakukan tes HIV atau VCT (Voluntary Counseling and Testing) terhadap populasi risiko. Seperti komunitas PL (pendamping lagu) dan LSL (laki-laki suka laki-laki).”

Yang menularkan HIV/AIDS ke PL adalah laki-laki heteroseksual yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar atau selingkuhan.

Jika ada PL yang bisa dibayar melakukan hubungan seksual tedeteksi HIV-postif, maaf, dihukum matipun PL itu tidak menyelesaikan masalah karena PL itu sudah menularkan HIV/AIDS ke laki-laki lain.

Laki-laki lain yang tertular HIV/AIDS dari PL yang bisa di-booking bisa saja seorang suami sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS ke istrinya jika dia tertular HIV/AIDS dari PL.

Maka, yang perlu dilakukan oleh Pemkab Pekalongan adalah melakukan intervensi di hulu untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual berisiko atau perilaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan sek oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

Tentu saja Pemkab Pekalongan tidak bisa melakukan intervensi terhadap tiga perilaku berisiko di atas karena hal tersebut ada di ranah privat. Apalagi setelah reformasi lokalisasi pelacuran ditutup sehingga pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan di media sosial dan eksekusinya terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.

Soal LSL, yang lebih dikenal sebagai gay, infeksi HIV/AIDS pada LSL ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri. Penyebaran HIV/AIDS terjadi di komunitas LSL, sedangkan seorang laki-laki heteroseksual jika tertular HIV/AIDS akan menularkan ke istrinya. Bahkan, ada laki-laki yang istrinya lebih dari satu sehingga kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS.

Disebutkan juga: Dinkes mencoba lebih menggiatkan di tes HIV. Agar bisa menemukan kasus lebih dini, dengan cara langsung mendatangi ke faktor risiko.

Perlu dipahami langkah tersebut ada di hilir. Yang jalani tes HIV sudah melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko di atas.

Matriks: Tes HIV adalah program penanggulangan HIV/AIDS di hilir. (Sumber: Dok. Syaiful W. Harahap)

Padahal, yang diperlukan adalah langkah pencegahan infeksi HIV baru di hulu yaitu pada tiga perilaku seksual di atas.

Tanpa intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom pada perilaku seksual berisiko, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Laki-laki atau perempuan yang tertular HIV dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebarah HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV/AIDS terjadi tanpa disadari karena tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS. Itu artinya penyebaran bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Kompasiana, 25/7-2022). *

 

(17). Penanggulangan AIDS di Kota Cirebon Ada di Hilir

Tes HIV terhadap populasi berisiko langkah di hilir karena mereka telah tertular HIV, yang diperlukan langkah di hulu menurunkan insiden infeksi HIV baru

“Tidak hanya dewasa, virus HIV kini juga sudah menjalar ke remaja bahkan anak-anak.” Ini ada dalam berita “Pengidap HIV AIDS Melonjak Selama Pandemi, Sebagian Besar Akibat Hubungan Sesama Jenis” (pikiran-rakyat.com, 9/7-2022).

Kalau saja wartawan dan sumber berita ini jeli dengan membawa fakta di atas ke ranah realitas sosial, maka dari jumlah anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS akan dapat gambaran terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Kota Cirebon, Jawa Barat.

Jika ada 1 anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka ada 2 dewasa pengidap HIV/AIDS, yaitu ayah dan ibu anak tersebut.

Dari banyak kasus terungkap suami yang menularkan HIV/AIDS ke istrinya, selanjutnya istri yang tertular HIV/AIDS menularkan HIV/AIDS secara vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Maka, diperlukan regulasi yang komprehensif, misalnya melalui peraturan daerah (Perda) yaitu mewajibkan suami perempuan hamil menjalani tes HIV. Tapi, yang terjadi di banyak daerah justru sebaliknya. Perempuan hamil atau ibu rumah tangga yang diwajibkan tes HIV.

Langkah itu keliru dan bisa menyesatkan karena dari banyak kasus ketika istrinya terdeteksi HIV/AIDS suami menolak tes HIV. Bahkan, di Kabupaten Lebak, Banten, suami justru kabur meninggalkan istri di rumah sakit dan anak-anaknya.

Suami-suami yang menolak tes HIV ketika istrinya terdeteksi HIV-positif akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Tentu akan lain halnya kalau suami yang diwajibkan tes HIV ketika istrinya hamil. Jika suami positif, istri baru jalani tes HIV. Jika istri positif, maka akan ditangani secara medis untuk menurunkan risiko penularan HIV/AIDS ke bayi yang dikandungnya.

Sedangkan suami-suami yang menjalani tes HIV akan dikonseling agar tidak menularkan HIV ke perempuan lain jika positif, dan akan diberikan cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS.

Agar tidak disebut sebagai perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), maka suami yang diwajibkan tes HIV jika istrinya hamil adalah mereka yang memakai fasilitas kesehatan pemerintah atau yang berobat dengan BPJS Kesehatan.

Sedangkan kasus HIV/AIDS pada remaja terjadi karena mereka tidak memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS kabur dan menghasilkan mitos (anggapan yang salah).

Pada masa remaja dorongan seksual sangat tinggi dan hanya bisa disalurkan melalui hubungan seksual. Nah, mereka ada pada kondisi yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang realistis.

Disebutkan dalam berita: Dengan pelibatan banyak pihak, Sri Maryati (Sekretaris KPA Kota Cirebon-pen.) optimistis pencegahan penularan HIV bisa dilakukan dengan cepat.

Yang penting dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah program yang konkret di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui perilaku-perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS.

Biarpun banyak pihak yang terlibat kalau tidak ada program yang konkret tentu saja hasilnya nol besar.

Paling tidak ada tujuh pintu masuk HIV/AIDS ke Kota Cirebon yang harus diintervensi, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,

Tanpa ada intervensi yaitu program pemakaian kondom kepada laki-laki pada perilaku berisiko di atas, maka insiden infeksi HIV baru di Kota Cirebon akan terus terjadi.

Warga yang tertular HIV/AIDS dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan sampai tahun 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kota Cirebon sebanyak 1.800.Dari jumlah ini 300 di antaranya ada pada masa AIDS (tertular antara 5-15 tahun sebelumnya dan mereka tidak meminum obat antiretroviral/ARV).

Yang perlu diingat jumlah kasus yang terdeteksi (1.800) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus yang terdeteksi (1.800) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Maka, Pemkot Cirebon harus mencari warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi melalui langkah-langkah yang konkret tanpa melawan hukum dan melanggar HAM.

Di judul disebutkan: Sebagian Besar Akibat Hubungan Sesama Jenis. Tapi, dalam berita tidak ada penjelasan.

Berita-berita yang mengumbar kasus HIV/AIDS diaitkan dengan ‘sesama jenis’ hanya untuk sensasi yang bombastis tanpa makna. Dalam epidemi HIV/AIDS kasus HIV/AIDS pada gay ada di terminal terakhir karena mereka tidak punya istri.

Yang jadi masalah besar adalah kasus HIV/AIDS pada laki-laki heteroseskual karena mereka punya istri, selingkuhan dan seks dengan pekerja seks komersial (PSK). Bahkan, ada laki-laki yang istrinya lebih dari satu sehingga kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS jika seorang laki-laki heteroseksual tertular HIV/AIDS.

Disebutkan pula: “ …. pihaknya juga terus memantau dan melakukan pemeriksaan HIV terhadap populasi berisiko seperti pekerja seks, waria, ibu hamil, warga binaan, dan populasi kunci lainnya.”

Langkah di atas ada di hilir, yaitu setelah mereka tertular HIV/AIDS. Yang diperlukan adalah langkah di hulu yaitu intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom jika melalukan hubungan seksual berisiko.

Maka, tanpa langkah konkret di hulu penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Cirebon sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 12/7-2022). *

 

(18). Bisakah Kota Tangerang Bebas AIDS Tahun 2030?

Belakangan ini muncul pernyataan dari pemerintah pusat dan daerah yang mengumbar ‘bebas AIDS 2030’ tapi semuanya tanpa langkah yang konkret

“Taty (Direktur RSUD Kota Tangerang, Banten — pen.) Taty Damayanti mengungkapkan, sebagian besar pasien terpapar HIV karena pola seks bebas dan penggunaan jarum suntik secara bersama-sama.” Pernyataan ini ada dalam berita “Angka Penderita HIV/AIDS di Kota Tangerang Terus Meningkat” (beritasatu.com, 2/12-2021).

Menyebut pasien tertular HIV karena ‘pola seks bebas’ tidak objektif karena:

Pertama, tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’. Kalau ‘seks bebas’ dimaksud adalah zina atau hubungan seksual di luar nikah, maka sudah banyak warga Kota Tangerang khususnya dan Indonesia umumnya yang mengidap HIV/AIDS karena banyak warga yang melakukan zina, seperti seks di luar nikah dan perselingkuhan.

Tapi, kenyataannya jumlah pengidap HIV/AIDS tidak sebanyak warga yang pernah atau sering melakukan seks bebas. Seperti di Kota Tangerang, sejak tahun Poli HIV RSUD Kota Tangerang hanya merawat lebih dari 500 pasien HIV/AIDS baik pasien rawat inap maupun rawat jalan. Padahal, warga Kota Tangerang yang pernah atau sering melakukan seks bebas bisa lebih dari 500 orang.

Kedua, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena karena sifat hubungan seksual (seks bebas, zina, selingkuh, melacur, seks pranikah, dan lain-lain), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom (lihat matriks).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Ketiga, yang lebih tepat adalah seks yang tidak aman, baik pada seks bebas atau seks sah dan halal, yaitu hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS atau seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi suami atau laki-laki tidak memakai kondom.

Keempat, laporan Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali melakukan hubungan seksual yang tidak aman ada 1 kali risiko tertular HIV/AIDS.

Persoalannya adalah tidak bisa diketahui atau dipastikan pada hubungan seksual yang keberapa terjadi penularan HIV/AIDS, bisa yang pertama, kedua, kelima, keempat puluh, kesimbilan puluh atau yang keseratus. Maka, setiap hubungan seksual yang tidak aman ada risiko penularan HIV/AIDS.

Disebutkan oleh Taty ‘mayoritas berada di usia produktif khususnya pria’. Ini adalah realitas sosial karena pada usia produktiflah dorongan seksual tinggi. Celakanya, materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah), sedangkan fakta medis tentang HIV/AIDS tidak sampai ke masyarakat.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan zina, seks bebas, pelacuran, homoseksual dan waria. Padahal, penularan HIV/AIDS bukan karena sifat hubunga seksual, tapi karena kondisi hubungan seksual seperti diuraikan di atas.

Fakta medis terkait penularan HIV/AIDS adalah penularan HIV/AIDS terjadi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual. Tapi, ini tidak ada dalam materi KIE tentang HIV/AIDS.

Di bagian lain disebut: Namun, ada pula ibu rumah tangga yang terpapar virus HIV/AIDS lantaran ditularkan suaminya.

Pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah suami ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menjalani tes HIV secara sukarela?

Kalau jawabannya: TIDAK, maka itu artinya Pemkot Tangerang membiarkan suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS khususnya di Kota Tengerang dan di luar Kota Tangerang, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan pula: Pemerintah Kota Tangerang, kata Taty, terus berupaya mengupayakan bebas HIV/AIDS pada tahun 2030 ….

Caranya? Disebutkan “…. dengan penyuluhan, terapi, pengobatan dan pertahankan kondisi kesehatan pasien ….”

Cara yang diterapkan Pemkot Tangerang di atas adalah langkah di hilir yaitu terhadap warga yang sudah tertular HIV/AIDS. Sementara itu insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, terus terjadi di hulu antara lain melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) (lihat matriks)

Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Disebutkan pula: Wali Kota Tangerang, Arief R Wismansyah menyatakan Dinas Kesehatan Kota Tangerang sejak awal tahun 2021 lalu terus menggencarkan skrining tes HIV untuk masyarakat umum.

Pernyataan wali kota itu tidak akurat karena tidak semua orang atau warga Kota Tangerang, disebut masyarakat umum, untuk menjalani tes HIV karena tidak semua warga Kota Tangerang pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Maka, yang dianjurkan tes HIV adalah warga yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Disebutkan pula: “Cara lain yang diambil Pemerintah Kota Tangerang untuk menangani hal ini secara serius melalui berbagai upaya. Salah satunya mulai dari edukasi kepada masyarakat, penyuluhan dan penyadaran antistigma. ….”

Penyuluhan, edukasi, dan sosialisasi tentang HIV/AIDS sudah dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu yaitu sejak awal epidemi HIV/AIDS di tahun 1980-an. Tapi, karena materi KIE tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama maka informasi yang akurat, terutama cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, tidak pernah sampai secara utuh ke masyarakat.

Akibatnya, tetap saja ada warga yang melakukan perilaku seksual dan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Warga, terutama laki-laki dewasa yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV/AIDS ini bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’ di Kota Tangerang. (Sumber: Kompasiana, 16/5-2022). *

 

(19). Kasus Baru HIV/AIDS di Kabupaten Probolinggo Merupakan Fenomena Gunung Es

Ada 59 Penderita HIV/AIDS Baru di Kab Probolinggo selama Januari-Mei. Ini judul berita di radarbromo.jawapos.com, 7/7-2022.

Dalam berita tidak ada penjelasan bagaimana 59 kasus baru HIV/AIDS di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur (Jatim), tersebut terdeteksi.

Bisa jadi 59 kasus itu terdeteksi secara pasif yaitu terdeteksi ketika mereka berobat ke fasilitas layanan kesehatan, seperti Puskesmas dan rumah sakit (RS) daerah.

Disebutkan dari tahun 2000 hingga Mei 2022 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Probolinggo mencapai  2.277, sebanyak 1.584 di antaranya meminum obat antiretroviral (ARV) dan 693 meninggal dunia.

Dalam epidemi HIV/AIDS kasus yang terdeteksi (2.277) tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus yang terdeteksi (2.277) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Itu artinya Pemkab Probolinggo harus aktif mencari kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat melalui cara-cara yang tidak melawan hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).

Jika warga pengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi, maka mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dalam berita ada disebutkan: …. 18 orang meninggal dunia karena AIDS. Ini tidak akurat. Kematian pengidap HIV/AIDS bukan karena AIDS karena AIDS bukan penyakit tapi kondisi pengidap HIV/AIDS yang ditandai dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah sehingga mudah kena penyakit.

Penyakit yang diderita pengidap HIV/AIDS di masa AIDS disebut infeksi oportunistik, seperti TB, diare dan lain-lain. Nah, yang menyebabkan kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) adalah penyakit infeksi oportunistik bukan karena AIDS.

Yang perlu diperhatikan salah satu pintu masuk HIV/AIDS yang potensial di Probolinggo adalah perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,

Maka, Pemkab Probolinggo harus menjalankan program yang bisa menjangaku perilaku seksual berisiko di atas untuk menurunkan insiden, sekali lagi hanya bisa menurunkan, infeksi HIV baru. Penjangkauan adalah untuk memaksa laki-laki memakai kondom pada tiga perilaku seksual berisiko di atas.

Tapi, penjangakauan praktis mustahil karena tiga perilaku berisiko di atas ada di ranah privasi dan transkasi seks dilakukan melalui media sosial (medsos), sedangkan eksekusi transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Beberapa negara, seperti Thailand, berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ yaitu penjangkauan ke lokalisasi pelacuran dan rumah bordil untuk memaksa laki-laki memakai kondom setiap hubungan seksual dengan PSK. Tapi, langkah ini tidak bisa dilakukan di Indonesia karena praktek pelacuran tidak dilokalisir.

Sebaiknya, di Jawa Timur khususnya dan di Indonesia umumnya lokalisasi pelacuran ditutup tapi kasus HIV/AIDS terus meroket. Itu artinya penutupan lokalisasi pelacuran tidak menghentikan praktek pelacuran.

Kota Probolinggo sendiri sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Nomor 9 Tahun 2005 yang disahkan tanggal 7 April 2005 ditandatangani oleh Wali Kota H.M. Buchori.

Tapi, perda ini tidak menukik ke akar persoalan sehingga tidak memberikan langkah-langkah yang konkret untuk mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS di Kota Probolinggo.

Untuk itulah Pemkab Probolinggo harus mencari cara yang efektif untuk menjangkau perilaku seksual berisiko tersebut. Jika tidak ada penjangakuan, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.

Warga yang baru tertular HIV dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal, tertutama melalui hubungan seksul tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Penyebaran HIV/AIDS ini bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’ di Probolinggo. (Kompasiana, 15/7-2022). *

 

(20). Daerah Rawan HIV/AIDS di Kapuas Hulu

Dalam epidemi HIV/AIDS tidak dikenal daerah rawan, yang ada adalah perilaku seksual dan nonseksual yang rawan atau berisiko tertular HIV/AIDS

“Dinas Kesehatan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mencatat sejak tahun 2016 hingga Mei tahun 2022 sebanyak 35 orang warga Kapuas Hulu tertular penyakit HIV-AIDS, Kecamatan Putussibau Selatan dan Kalis menjadi daerah rawan.” Ini lead pada berita “35 warga Kapuas Hulu tertular HIV-AIDS Putussibau Selatan-Kalis rawan” (kalbar.antaranews.com, 16/6-2022).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada lead berita tersebut, yaitu:

Pertama, disebutkan ‘tertular penyakit HIV-AIDS.’ Ini tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyakit, sedangkan yang menular adalah virus (HIV). AIDS sendiri adalah kondisi seseorang yang tertular HIV/AIDS yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun jika tidak meminum obat antiretroviral (ARV).

Kedua, disebutkan ‘Kecamatan Putussibau Selatan dan Kalis menjadi daerah rawan.’ Ini juga tidak akurat karena tidak ada daerah rawan terkait dengan epidemi HIV/AIDS. Yang rawan adalah perilaku seksual dan perilaku nonseksual warga yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,

Tujuh perilaku seksual berisiko di atas jadi pintu masuk HIV/AIDS ke Kapuas Hulu.

Ketiga, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi atau dilaporkan, dalam hal ini 35, tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat.

Kasus yang dilaporkan (35) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Disebutkan dalam berita ‘ ….  berdasarkan Rapid tes atau deteksi dini ada 11 orang ibu hamil juga tertular.’

Itu artinya ada 11 laki-laki yang mengidap HIV/AIDS yaitu suami ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tersebut.

Maka, pertanyaan untuk Dinkes Kapuas Hulu: Apakah 11 suami tersebut menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya 11 suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Kapuas Hulu. Penyebaran HIV/AIDS terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dinkes Kapuas Hulu seharusnya membalik paradigma dalam tes HIV terhadap ibu hamil. Yang dites pertama bukan ibu hamil, tapi suami dari ibu-ibu yang hamil.

Cara ini jadi penting agar suami-suami ibu hamil tidak jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena ketika mereka menjalani tes HIV mereka akan menerima konseling dengan kondisi hasil tes negatif atau positif.

Disebutkan pula: ‘ …. terutama diwajibkan untuk ibu hamil untuk mencegah penularan dari ibu ke anak.’

Penularan vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa dicegah, terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Tapi, tanpa disadari oleh Dinkes Kapuas Hulu mereka sudah membiarkan suami-suami ibu hamil itu menyebarkan HIV/AIDS karena suami-suami itu hamil itu tidak menjalani tes HIV. Akibatnya, mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Ada lagi pernyataan: ‘ …. dia mengimbau kepada masyarakat Kapuas Hulu untuk menghindari pergaulan bebas (seks bebas) sebagai upaya untuk menghindari penularan HIV-AIDS.’

Ini merupakan informasi tentang (penularan) HIV/AIDS yang menyesatkan. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, homoseksual, seks bebas), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom. Ini fakta medis (Lihat matriks).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Ini juga ada dalam berita: “Kami terus berupaya memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak tertular penyakit mematikan tersebut,” kata David (Sub Koordinator Penyakit Menular dan Tidak Menular Dinas Kesehatan Kapuas Hulu David Marwandi).’

Pernyataan ini juga tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyakit dan tidak pula penyakit yang mematikan.

Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS karena infeksi oportunistik, seperti TB, diare, pneumonia, dan lain lain.

Maka, dianjurkan agar sumber berita HIV/AIDS, seperti dinas kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), menyebutkan penyakit penyebab kematian Odha agar berita akurat.

Penyuluhan dan sosialisasi HIV/AIDS di Indonesia sudah dilakukan sejak awal epidemi HIV/AIDS yaitu akhir tahun 1980-an, atapi hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIR) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang.

Sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah), seperti cara-cara penularan HIV/AIDS yang dikait-kaitkan dengan ‘seks bebas.’

Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (bisa) terjadi dalam dan di luar nikah jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Tanpa program yang konkret untuk menjangkau tiga perilaku seksual berisiko di atas, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Kapuas Hulu. Warga, terutama laki-laki dewasa, yang tertular HIV/AIDS dan tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. (Sumber: Kompasiana, 15/7-2022). *

 

(21). Warga Kota Tidore Kepulauan yang Kembali dari Luar Daerah Wajib Periksa ke RS

Aturan yang tidak masuk akal di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, yang mewajibkan warga yang baru pulang dari luar daerah memeriksakan diri ke RS

“Karena itu Ia [Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes), Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Abd Majid Do Taher-pen.] menghimbau agar masyarakat yang merasa dirinya baru kembali dari luar daerah wajib memeriksakan diri ke rumah sakit.”

Pernyataan di atas ada dalam berita “Pengidap HIV di Tidore Mencapai 77 Orang, Rata-rata di Usia 18 Tahun ke Atas” (ternate.tribunnews.com, 13/7-2022).

Imbauan tersebut, terkait dengan HIV/AIDS, sangat tidak masuk akal karena:

Pertama, tidak semua orang, dalam hal ini warga dewasa Kota Tidore Kepulauan, otomatis melakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko tertular HIV/AIDS di luar Kota Tidore Kepulauan.

Maka, imbauan tersebut sangat gegabah karena sudah menyamaratakan perilaku seksual berisiko semua warga.

Perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,

Kedua, perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS yang dilakuka oleh warga Kota Tidore Kepulauan bisa saja terjadi di dalam Kota Tidore Kepulauan.

Maka, imbauan bukan kepada semua warga Kota Tidore Kepulauan yang baru pulang dari luar daerah, tapi kepada warga Kota Tidore Kepulauan dewasa yang pernah atau sering melakukan salah satu atau lebih perilaku seksual berisiko di atas baik di Kota Tidore Kepulauan atau di luar Kota Tidore Kepulauan.

Disebutkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kota Tidore Kepulauan dari tahun 2005 sampai tahun 2022 sebanyak 77.

Yang perlu diingat jumlah yang terdeteksi, dalam hal ini 77, tidak menggambarkan jumlah kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus yang dilaporkan atau terdeteksi (77) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Maka, Pemkot Tidore Kepulauan harus membuat program yang konkret untuk mendeteksi atau mencari warga yang mengidap HIV/AIDS selain yang sudah terdata. Soalnya, warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Warga pengidap HIV/AIDS tidak menyadari mereka sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV, ini jika tidak minu obat antiretroviral/ARV sesuai resep dokter).

Disebutkan pula: Rata rata pengidap HIV AIDS Kota Tidore Kepulauan lanjut dia adalah usia produktif mulai dari 18 tahun ke atas.

Hal di atas logis dan realistis karena dorongan seksual yang tinggi terjadi setelah usia 18 tahun sampai umur 49 tahun.

Akan jadi maaslah kalau kasus HIV/AIDS di Kota Tidore Kepulauan terdeteksi pada balita dan remaja atau pada lansia. Ini baru persoalan besar.

Disebutkan pula oleh Majid: “Untuk atasi  ini (penyebaran HIV/AIDS-pen),  Dinkes akan mengkroscek, dimana lokasi Transmisi Lokal agar ada pencegahan lebih lanjut.”

Ini juga tidak masuk akal karena penularan HIV/AIDS bukan di lokasi, tapi melalui kontak privat di rumah atau tempat-tempat lain yang juga bersifat privat, seperti hotel.

Yang perlu dilakukan oleh Pemkot Tidore Kepulauan adalah melakukan penjangkauan terhadap pintu masuk HIV/AIDS ke Kota Tidore Kepulauan yaitu 3 perilaku seksual berisiko di atas. Penjangkuan yaitu memaksa laki-laki memakai kondom untuk memutus insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa.

Selama Pemkot Tidore Kepulauan tidak mempunyai program yang konkret untuk menutup 3 pintu masuk HIV/AIDS di atas, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Warga, terutama laki-laki dewasa, yang tertular HIV dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat tanpa mereka sadari, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. (Kompasiana, 16/7-2022). *

 

(22). 4 PSK di Kotakan Situbondo Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS

PSK pengidap HIV/AIDS di Kotakan Situbondo tertular dari laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tersebut

“Empat PSK di Kotakan Positif HIV/AIDS, Total Penderita 375 Orang” Ini judul berita di radarbanyuwangi.jawapos.com, 15/7-2022.

Judul berita ini tidak mememberikan gambaran kepada pembaca di mana gerangan letak Kotakan itu. Dalam berita baru jelas Kotakan adalah sebuah desa di Kecamatan Situbondo, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur (Jatim).

Penyebutan PSK (pekerja seks komersial) di judul hanya ‘bumbu’ agar bombastis karena selama ini PSK jadi objek yang selalu disalahkan terkait dengan HIV/AIDS.

Padahal, ada fakta yang luput dari perhatian wartawan dan sebagian orang di masyarakat yaitu:

(a). Yang menularkan HIV/AIDS ke PSK adalah laki-laki dewasa bisa penduduk Situbondo atau dari luar Situbondo. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki pengidap HIV/AIDS yang menularkan HIV/AIDS ke PSK bisa sebagai lajang, duda atau suami. Itu artinya ada risiko penularan ke pacar, selingkuhan atau istri atau PSK lain.

(b). Bisa juga PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu tertular di luar Situbondo.

(c). PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu menularkan HIV/AIDS kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom.

Ketika 4 PSK itu terdeteksi mengidap HIV/AIDS minimal mereka sudah tertular HIV/AIDS tiga bulan sebelum tes HIV.

studi menjukkan seorang PSK melayani 3 – 5 laki-laki setiap malam. Maka, jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu: 4 PSK x 3 (bulan) x 25 hari (per bulan) x (3-5) laki-laki = 900 – 1.500 laki-laki.

Celakanya, dalam berita tidak ada penjelasan tentang risiko tertular HIV/AIDS bagi laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubngan seksual tanpa kondom di Kotakan.

Diannjuan agar laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di Kotakan segera jalani tes HIV sukarela karena mereka ada pada situasi berisiko tinggi tertular HIV/AIDS dari PSK. Kondisnya kian runyam karena tidak ada ciri-ciri atau tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik PSK yang mengidap HIV/AIDS.

Dalam berita disebutkan: Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Situbondo, Dwi Herman Susilo mengatakan, ratusan orang yang dinyatakan positif HIV/AIDS masih terus menjalani perawatan.

Pernyataan ini tidak akurat karena pengidap HIV/AIDS tidak otomatis menjalani perawatan, kecuali yang positif HIV dan sudah menunjukkan gejala terkait HIV/AIDS.

Pernyataan tersebut memberikan gambaran yang salah tentang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yaitu harus menjalani perawatan. Padahal, Odha tidak otomatis harus dirawat. Kalaupun mereka meminum obat antiretroviral (ARV) juga tidak harus dirawat di fasilitas kesehatan atau tempat lain yang disedikan.

Disebutkan oleh Dwi, petugas rutin melakukan skrining secara berkala untuk mendeteksi adanya kasus baru warga yang terjangkit HIV/AIDS. Tujuannya untuk meminimalisir kasus penyebarannya yang semakin meluas.

Ini langkah di hilir yaitu penanganan terhadap warga yang sudah tertular HIV/AIDS. Padahal, yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Ada tujuh pintu masuk HIV/AIDS ke Situbondo, yaitu perilaku seksual berisiko:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,

Maka, yang perlu dilakukan oleh Pemkab Situbondo adalah melakukan penjangkauan terhadap tujuh perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS di atas yaitu untuk memaksa laki-laki memakai kondom.

Celakanya, perilaku seksual berisiko di atas terjadi di ranah privat yang tidak bisa dijangkau. Apalagi sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial (medsos) transaksi seks dilakukan melalui ponsel sedangkan eksuksinya terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat.

Tanpa program penjangkauan terhadap tiga perilaku seksual berisiko tersebut, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Warga yang tertular HIV/AIDS dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakt (Situbondo) terutama melalui hubungan seksua tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. (Sumber: Kompasiana, 17/7-2022). *

 

(23). Kasus HIV/AIDS Pada Kelompok Milenial di Gorontalo Realistis

Libido di usia 15 – 49 tahun harus disalurkan melalui hubungan seksual, celakanya mereka tidak mendapat informasi yang akurat tentang cara mencegah penularan HIV/AIDS

“Jumlah pengidap penyakit HIV/AIDS terus bertambah di Provinsi Gorontalo, di mana kelompok milenial yang berusia mulai 15 sampai 49 tahun mendominasi kasus tersebut. Tercatat ada 754 orang penderita HIV/AIDS pada 2001 sampai 2022 per Maret ini.” Ini lead berita “Miris, Kelompok Milenial Dominasi Kasus HIV/AIDS di Gorontalo” (kronologi.id, 17/7-2022).

Kasus HIV/AIDS pada usia 15 – 49 tahun adalah realistis. Maka, mengapa harus miris?

Kalau kasus HIV/AIDS terbanyak pada usia di bawah 15 tahun dan pada Lansia (lanjut usia) baru jadi persoalan besar karena tidak realistis.

Pertama, terjadi pada anak-anak. Kalau HIV/AIDS pada anak-anak itu tidak tertular dari ibu yang mengandung mereka, maka melalui perilaku seksual atau nonseksual berisiko. Ini jelas masalah besar.

Kedua, kalau kasus HIV/AIDS terbanyak pada Lansia juga jadi masalah besar karena kakek-kakak dan nenek-nenek ternyata melakukan perilaku seksual atau nonseksual berisiko. Ini jelas masalah besar.

Maka, kasus HIV/AIDS pada kalangan milenial adalah hal yang lumrah dan masuk akal sehat karena pada usia 15 – 49 tahun libido tinggi sehingga harus disalurkan melalui hubungan seksual. Dorongan atau hasrat seksual tidak bisa disubsitusi dan hanya bisa disalurkan melalui hubungan seksual atau ‘swalayan’ yaitu onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan.

Maka, kalau disebut milenial mendominasi kasus HIV/AIDS di Gorontalo itu hal yang realistis.

Yang jadi persoalan besar adalah: Mengapa mereka (bisa) tertular HIV/AIDS?

Nah, kalau saja wartawan yang menulis berita ini mencari data tentang faktor risiko (cara penularan) HIV/AIDS kepada milenial itu tentulah berita akan komprehensif.

Jika faktor risiko penularan HIV/AIDS terhadap kalangan milenial itu melalui hubungan seksual, maka itu artinya mereka tidak memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.

Hal itu terjadi karena sejak awal epidemi HIV/AIDS di akhir tahun 1980-an materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS kabur sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan hubungan seksual di luar nikah, pelacuran, perselingkuhan, dan homoseksual. Seperti yang disebut dalam berita ini: mencegah penularan HIV/AIDS dengan rumus ABCD, yakni:

– A (abstinace) adalah tidak berhubungan seks di luar nikah.

Ini jelas ngawur karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis (Lihat matriks).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Maka, materi KIE tentang HIV/AIDS harus berpijak pada fakta medis bukan mitos.

Disebutkan pula: – C (condom), yaitu penggunaan kondom saat berhubungan seksual.

Pada hubungan seksual yang seperti apa seorang laki-laki harus memakai kondom agar terhindar dari penularan HIV/AIDS?

Tidak ada penjelasan.

Kondom dipakai oleh laki-laki jika melakukan perilaku seksual berisiko, perempuan juga bisa meminta laki-laki memakai kondom jika melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasagan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,

Celakanya, tidak ada mekanisme untuk memastikan laki-laki memakai kondom pada tiga perilaku seksual berisiko di atas. Maka, perlu ada intervensi seperti yang dilakukan Thailand yaitu menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat pelacuran dan rumah bordil.

Tapi, perlu diperhatikan program ‘wajib kondom 100 persen’ hanya bisa dijalankan jika praktek PSK dilokalisir. Itu artinya program ‘wajib kondom 100 persen’ tidak bisa dijalankan di Gorontalo khususnya dan di Indonesia umumnya.

Maka, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa akan terus terjadi di Gorontalo. Laki-laki yang tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 19/7-2022). *

 

(24). HIV/AIDS Mengintai Warga Sumatera Barat yang Perilaku Seksualnya Berisiko

Kasus HIV/AIDS di Sumbar dilaporkan 6.669, tapi ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat

“Salah satu penyakit mematikan, human immunodeficiency virus (HIV)/acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), terus mengintai masyarakat Sumbar.” Ini lead pada berita “4 Ribu Lebih ODHA Berseliwer di Sumbar! Awas HIV/AIDS Mengintai!!” (padek.jawapos.com, 15/7-2022).

Pernyataan pada lead dan judul berita di atas tidak akurat, karena:

Pertama, HIV, AIDS dan HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah virus, sedangkan AIDS adalah kondisi atau masa yang muncul secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat antiretroviral (ARV) sesuai resep dokter.

Kedua, HIV, AIDS dan HIV/AIDS bukan penyakit mematikan. Tidak ada kasus kematian karena HIV, AIDS dan HIV/AIDS.

Ketia, kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS karena penyakit yang masuk di masa AIDS, seperti TB, diare dan lain-lain.

Judul dan lead berita ini mengarah ke sensasi yang bombastis tapi omong kosong karena tidak akurat.

Pernyataan ‘4 Ribu Lebih ODHA Berseliwer di Sumbar!’ juga tidak akurat karena jumlah kasus yang dilaporkan atau terdeteksi tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Selain itu warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV di fasilitas kesehatan (Faskes) yang ditunjuk pemerintah tidak akan menularkan HIV/AIDS ke orang lain. Hal ini terjadi karena ada konseling sebelum dan sesudah tes HIV.

Salah satu persyaratan tes HIV adalah kesediaan untuk memutus rantai penyebaran HIV/AIDS mulai dari diri sendiri jika hasil tes HIV reaktif (positif). Maka, warga yang terdeteksi HIVAIDS di Faskes pemerintah akan mengikuti anjuran dokter, misalnya meminum obat antiretroviral (ARV) dan tidak menularkan HIV/AIDS ke orang lain dengan cara-cara yang disampaikan melalui konseling sesudah tes HIV.

Yang jadi persoalan besar di Sumbar dan Indonesia adalah warga yang tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan.

Pernyataan:’ …. terus mengintai masyarakat Sumbar’ tidak akurat karena HIV/AIDS bukan makhluk yang bisa keluar dari tubuh pengidap HIV/AIDS lalu masuk ke tubuh orang lain.

Yang mengintai itu adalah penularan HIV/AIDS karena perilaku seksual berisiko. Warga Sumbar yang berisiko tertular HIV/AIDS antara lain yang perilaku seksualnya berisikko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Lki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

Nah, apakah Pemprov Sumatera Barat (Sumbar) bisa melakukan intervensi terhadap tiga perilaku berisiko di atas?

Kalau tidak bisa, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Warga yang tertular HIV/AIDS melalui tiga perilaku di atas akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dalam berita disebut: Pasalnya, dari estimasi yang ada, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang terjaring baru setengahnya.

Jika dikaitkan dengan fenomena gunung es jumlah yang terdeteksi tidak bisa dipastikan setengah atau berapa.

Pemakaian kata ‘terjaraing’ tidak etis karena hal itu layak untuk binatang, sedangkan Odha adalah manusia. Yang etis adalah terdeteksi.

Laporan di situs siha.kemkes.go.id jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Sumbar 6.669 yang terdiri atas 4.261 HIV dan 2.408 AIDS.

Namun, perlu diingat angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat, karena erat kaitannya denga fenomena gunung es. (Sumber: Kompasiana, 20/7-2022). *

 

(25). Di Bolaang Mongondow Utara Sulut Kasus HIV/AIDS Terbanyak pada Ibu Rumah Tangga

Yang semestinya tes HIV duluan di Bolaang Mongondow Utara (Bolmu) bukan ibu hamil, tapi suami-suami ibu hamil sehingga para suami itu akan memutus rantai penyebaran HIV/AIDS

“ …. angka kasus penderita HIV/AIDS didominasi ibu rumah tangga dengan jumlah 34 persen.” Ini ada dalam berita “Kabupaten Bolmut Diintai HIV/AIDS, Baru Dua Bulan Sudah 12 Kasus” (beritamanado.com, 14/2-2022).

Kondisi di atas terjadi di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Sulawesi Utara (Sulut). Sayang sekali dalam berita data tentang kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga tidak dibawa ke realitas sosial.

Ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS merupakan realitas sosial terkait dengan perilaku seksual berisiko suami mereka. Namun, dalam berita tidak ada pembicaraan terkait dengan suami ibu-ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS tersebut.

Padahal, kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga merupakan gambaran nyata perilaku seksual berisiko, tertutama laki-laki dewasa, sebagian warga Bolmut.

Biar pun secara de jure tidak ada ada (lokalisasi) pelacuran di Bolmut, tapi secara de facto tidak bisa dipungkiri prektek pelacuran tetap ada di Bolmut. Sejak reformasi tempat-tempat pelacuran ditutup membuat lokalisasi pelacuran pindah ke media sosial.

Transaksi seks dilakukan melalui media sosial sedangkan eksekusinya dilakukan di sembarang waktu san sembarang tempat.

Program ‘wajib kondom 100 persen’

Kondisi ini tidak bisa dijangkau oleh Pemkab Bolmut sehingga perilaku seksual berisiko sebagian warga, terutama laki-laki dewasa yang sebagian beristri, melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) dan cewek prostitusi online.

Beberapa negara, seperti Thailand, berhasil menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK melalui program ‘wajib kondom 100 persen.’ Program ini menyasar laki-laki agar selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat-tempat pelacuran dan rumah bordil.

Namun, progam ‘wajib kondom 100 persen’ hanya bisa efektif jika praktek pelacuran dilokalisir. Maka, secara empiris program ini tidak bisa dijalankan di Blumut khususnya dan di Indonesia umumnya.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi di Bolmut yang selanjutnya mereka akan menularkan HIV/AIDS kepada orang lain. Yang beristri akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya, bahkan ada yang beristri lebih dari satu, ke selingkuhan dan ke PSK. Yang tidak beristri menularkan HIV/AIDS ke pacar atau PSK.

Dalam berita disebutkan: “Kami terus berupaya melakukan pengecekan terhadap ibu hamil di Bolmut, dan ada beberapa di antaranya tidak ingin di lakukan pemeriksaan.” Ini keterangan dari Kepala Dinas Kesehatan Bolmut. dr Jusnan Mokoginta.

Ini yang perlu diperhatikan karena selalu saja perempuan jadi objek, padahal mereka adalah korban yaitu tertular dari suami.

Dinas Kesehatan Bolmut ubah paradigma

Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Dinas Kesehatan Bolmut adalah: Apakah suami-suami ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tersebut menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya TIDAK, maka penyebaran HIV/AIDS di Bolmut akan terus terjadi terutama yang dilakukan oleh suami-suami ibu hamil yang terdeteksi HIV/AIDS tersebut,  terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka Dinas Kesehatan Bolmut perlu membalik paradigma berpikir yaitu yang jadi objek tes HIV bukan ibu hamil, tapi suami ibu hamil. Hal ini bisa diperkuat dengan payung hukum melalui peraturan daerah (Perda) yang bisa memaksa suami ibu hamil tes HIV.

Tapi, rancangan Perda harus benar-benar menukik ke akar persoalan tidak sekedar pasal-pasal yang normatif seperti pada ratusan Perda AIDS di Indonesia, termasuk Perda AIDS Provinsi Sulawesi Utara.

Agar tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM), maka suami ibu hamil yang wajib tes HIV jika mereka berobat ke fasiitas kesehatan (Faskes) pemerintah, seperti Puskesmas dan rumah sakit umum daerah (RSUD).

Jika suami-suami ibu hamil jalani tes HIV, maka mereka akan menerima konseling sebelum dan sesudah tes. Jika hasil tes HIV suami positif barulah istri menjalani tes HIV.

Suami-saumi yang terdeteksi HIV-positif akan menerima konseling sehingga mereka tidak akan menularkan HIV/AIDS ke orang lain.

Disebutkan pula dalam berita bahwa tahun lalu sempat dikejar-kejar oleh masyarakat dengan sajam karena tidak mau untuk dicek data soal HIV/AIDS.

Untuk mengatasi hal ini perlu ada Perda agar ada payung hukum sehingga aparat keamanan, terutama polisi, bisa mendampingi petugas Dinas Kesehatan dalam melakukan tes HIV kepada suami ibu-ibu hamil.

Tanpa langkah yang konkret dalam penanggulangan HIV/AIDS, maka kasus HIV/AIDS di Bolmut akan terus bertambah yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Kompasiana, 21/7-2022). *

 

Bagian III: Penyebaran HIV/AIDS

 

(26). Penyumbang Kasus HIV/AIDS Bukan LGBT tapi Heteroseksual

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual

“Ngeri! Tak Disangka DPR Sebut Data Penyumbang Kasus HIV dari Penyimpangan Seksual Terus Meningkat: Penularan AIDS karena Tindakan LGBT” Ini judul berita di poskota.co.id, 16/5-2022.

Yang ngeri bukan soal LGBT dan peningkatan penularan HIV/AIDS, justru judul berita ini yang benar-benar mengerikan karena tidak akurat.

Pertama, laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 30 September 2021, menunjukkan dari 132.955 kasus AIDS dari tahun 1987 sd 30 Juni 2021 faktor risiko heteroseksual 70,0% sedangkan homoseksual 8,4%. Ini bukti pernyataan legislator itu tidak akurat.

Kedua, penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena penyimpangan seksual (sifat hubungan seksual), tapi karena kondisi ketika terjadi hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual di dalam atau di luar nikah, yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau yang menganal tidak memakai kondom. Ini fakta medis (Lihat matriks).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Ketiga, disebutkan ‘Penularan AIDS karena Tindakan LGBT’. Ini keliru karena AIDS bukan virus atau penyakit sehingga tidak menular. AIDS adalah kondisi seseorang yang tertular HIV yang tidak minum obat antiretroviral (ARV) sehingga mencapai masa AIDS dengan kondisi sistem kekebalan tubuh yang rendah.

Keempat, dalam pernyataan ‘Penularan AIDS karena Tindakan LGBT’ L adalah lesbian. Penyebutan lesbian sebagai penyebab penularan HIV/AIDS meningkat jelas hoaks karena tidak ada seks penetrasi pada lesbian sehingga tidak ada risiko penularan HIV.

Anggota Komisi IX DPR, Kurniasih Mufidayati, yang juga Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga, mengatakan: “Kewaspadaan keluarga Indonesia terhadap perilaku LGBT karena memiliki faktor risiko penularan yang tinggi dalam penyebaran HIV/AIDS. Lindungi anak-anak kita agar jauh dari tindakan penyimpangan seksual yang berpotensi memiliki faktor risiko tinggi penularan HIV.”

Perilaku L (lesbian) tidak memiliki faktor risiko penularan yang tinggi dalam penyebaran HIV/AIDS karena tidak ada seks penetrasi.

Sedangka T (transgender) yang jadi pelanggan mereka justru kalangan heteroseksual yaitu laki-laki beristri. Sebuah studi di Kota Surabaya, Jatim, awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki beristri justru jadi ‘perempuan’ (dianal) ketika melakukan hubungan seksual dengan waria.

Sedangkan waria berperan sebagai laki-laki (yang menganal). Itulah sebabnya banyak ibu rumah tangga terdeteksi mengidap IMS dan HIV/AIDS karena suami mereka melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Dalam laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 30 September 2021, menunjukkan dari 132.955 kasus AIDS dari tahun 1987 sd 30 Juni 2021 jumlah kasus AIDS pada ibu rumah tangga menempati urutan ketiga yaitu sebanyak 19.053.

Dalam kehidupan rumah tangga melalui pernikahan yang sah menurut agama dan hukum tidak sedikit yang melakukan perilaku LGBT yaitu seks oral, seks anal dan posisi “69”. Banyak di antara istri yang ternyata justru dipaksa suami melakukan seks oral, seks anal dan posisi “69”.

Kurniasih mengatakan, tindakan LGBT tidak diterima oleh masyarakat Indonesia …. Jangankan tindakan seksual LGBT, sejatinya perilaku non-LGBT, terutama suami, yaitu zina, selingkuh dan melacur juga tidak diterima masyarakat Indonesia, tapi hal ini sengaja ditenggelamkan dengan isu LGBT.

Yang perlu diingat: LGBT adalah orientasi seksual yang tidak melawan hukum. Yang melawan hukum adalah hubungan seksual LGBT, termasuk non-LGBT yang melakukan hubungan seksual model LGBT. (Lihat matriks orientasi seksual).

Matriks: Orientasi Seksual. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

“Kita mendorong agar Revisi UU KUHP bisa segera disahkan sehingga keluarga Indonesia terlindungi dari berbagai faktor risiko kerusakan akibat tindakan penyimpangan seksual,” ujar Kurniasih.

Pertanyaan yang sangat mendasar: bagaimana dengan suami-suami yang berzina, melacur dan selingkuh serta yang memaksa istri melakukan perilaku seksual LGBT? (Sumber: Kompasiana, 17/5-2022). *

 

(27). Menyesatkan Sebut Kasus HIV/AIDS di Aceh Terjadi Pasca Tsunami

Setelah tsunami di Aceh (2004) kasus HIV/AIDS mulai terdeteksi, muncul pernyataan  menyesatkan yang mengaitkannya dengan keterbukaan daerah

Keberadaan kasus HIV/AIDS di Aceh terus menjadi perbincangan yang mengarah ke ‘debat kusir’ dan mencari ‘kambing hitam.’ Hal ini terjadi karena ada pernyataan bahwa kasus-kasus HIV/AIDS di Aceh terjadi setelah tsunami (Desember 2004) yaitu Aceh jadi daerah  terbuka.

Ini ada dua berita yang mengaitkan HIV/AIDS di Aceh pasca tsunami, yaitu: Pasca Tsunami, Aceh Rawan HIV/AIDS (jpnn.com, 24/3-2010) dan  Penderita AIDS di Aceh Meroket Setelah Tsunami (news.detik.com, 3/12-2006).

Ini mengesankan HIV/AIDS di Aceh dibawa orang luar (negeri). Pemahaman ini menyesatkan. Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadi pemicu penyebaran HIV/AIDS di Aceh.

Fakta terkait kasus HIV/ADS di Aceh sebagai realitas sosial akan membuka mata untuk merenungkan perilaku agar menjadi bagian dari pemutusan mata rantai penyebaran HIV/AIDS.

Sampai September 2010 sudah dilaporkan 48 kasus HIV/AIDS di Aceh dengan delapan kematian. Sedangkan data terakhir yang dikeluarkan oleh Ditjen P2P, Kememkes (2/2-2021) dan siha.kemkes.go.id (18/3-2022) menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Aceh sampai 31 Desember 2022 mencapai 1.063 yang terdiri atas 663 HIV dan 1.726 AIDS.

Angka kasus HIV/AIDS di Aceh yang kecil inilah yang membuat orang Aceh ‘terlena,’  sehingga terperangkap dalam ‘keamanan’ semu. Padahal, angka itu tidak menunjukkan kasus yang sebenarnya di masyarakat.

Yang perlu diingat adalah epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es.  Jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Apakah fenomena gunung es epidemi HIV ini berlaku di Aceh?

Fenomena ini akan menggambarkan epidemi HIV/AIDS di Aceh jika ada penduduk Aceh yang perilaku sekbualnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS di Aceh, di luar Aceh atau di luar negeri.

Perilaku seksual dan nonseksual berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1). Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(2). Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(3). Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(4). Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.), karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;

(5). Melalui perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

(6). Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsug atau PSK tida langsung, karena bisa saja salah satu dari PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

(7). Melalui laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria karena ada waria yang sering ganti-ganti pasangan sehingga bisa jadi waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.

Matriks: HIV/AIDS di Aceh sebelum dan sesudah tsunami. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Sebelum Tsunami

Jika ada penduduk Aceh yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS maka fenomena es terkait dengan epidmi HIV ada di (masyarakat) Aceh.

Celakanya, selama ini materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS di Aceh tidak disampaikan secara akurat. Akibatnya, banyak yang tidak memahami HIV/AIDS. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian masyarakat menuding pendatang sebagai biang keladi penyebaran HIV karena sebelum tsumani hanya 1 kasus yang dilaporkan.

Tapi, tunggu dulu. Mengapa kasus HIV dan AIDS sebelum tsunami hanya terdeteksi 1 kasus? Sebaliknya, mengapa setelah tsunami banyak kasus HIV dan AIDS yang tedeteksi?

Pertama, kasus HIV/AIDS hanya bisa terdeteksi melalui tes darah di laboratorium dengan reagent khusus. Upaya untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat selama ini dilakukan melalui survailans tes HIV kepada kalangan tertentu, seperti pekerja seks komersial (PSK), pekerja panti pijat, dan waria.

Sebelum tsunami survailans tes HIV di Aceh hanya dilakukan satu kali di satu kabupaten saja karena suasana yang tidak memungkinkan karena ketika itu sedang terjadi konflik bersenjata.

Setelah Tsunami

Kedua, setelah tsunami mulai banyak kegiatan untuk melakukan survailans tes HIV karena suasana sudah aman sehingga mulai ditemukan kasus HIV/AIDS.

Klinik-klinik tes, dikenal sebagai klinik VCT (voluntary counseling and testing yaitu tes HIV secara sukarela dengan konseling atau bimbingan sebelum dan sesudah tes secara gratis) mulai dijalankan di beberapa rumah sakit. Selain itu ada pula pusat rehabilitasi narkoba yang juga menyaratkan tes HIV bagi penyalahguna narkoba yang akan direhabilitasi.

Ketiga, warga Aceh yang tertular HIV sebelum tsunami mulai menunjukkan gejala-gejala yang terkait dengan AIDS. Ini terjadi karena secara statistik masa AIDS terjadi antara 5 dan 15 tahun setelah tertular HIV. Orang-orang yang tertular sebelum tsunami mulai ada yang sakit sehingga mereka harus berobat ke rumah sakit.

Penyakit yang mereka derita, seperti diare, sariawan, jamur, TBC, pneumonia (radang paru-paru), dll. sulit disembuhkan sehingga dokter menganjurkan agar pasien menjalani tes HIV. Dari sinilah kasus-kasus AIDS banyak terdeteksi di Aceh.

Maka, anggapan yang menyebutkan HIV/AIDS di Aceh dibawa orang asing setelah tsunami terjadi karena pemahaman terhadap /AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Selain itu banyak kalangan dan media yang menyampaikan informasi HIV/AIDS yang menyesatkan.

Dari matrik di atas dapat dilihat kasus HIV/AIDS yang terdeteksi setelah tsunami justru penularannya terjadi jauh sebelum tsunami. Matriks berikut juga memperjelas kondisi HIV/AIDS.

Matriks: Tertular HIV, masa jendela, dan masa AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Selama ini ada mitos (anggapan yang salah) tentang penularan HIV yaitu mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks sebelum nikah, ‘jajan’, selingkuh, waria, dan homoseksual.

Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau seseorang melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan orang yang sudah mengidap HIV. Fakta itulah yang tidak dipahami oleh masyarakat secara luas sehingga banyak orang yang tertular HIV karena ketidaktahuan.

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Lebih dari 90 persen orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka.

Dalam kaitan inilah untuk menekan infeksi baru di kalangan dewasa dan remaja Pemprov. Aceh melalui jajarannya menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Jika masyarakat sudah memahami HIV/AIDS dengan benar maka diharapkan penduduk yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV mau menjalan tes HIV secara sukarela. Fasilitas tes gratis dengan konseling sudah disedikan di beberapa rumah sakit melalui klinik VCT.

Semakin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputuskan.

Mereka pun bisa ditangani secara medis melalui pemberian obat antiretroviral (ARV) agar mereka tetap produktif. Pada gilirannya, kasus-kasus infeksi baru pun akan bisa ditekan. (Sumber: Kompasiana, 31/12-2010). *

 

(28). Di Kabupaten Probolinggo Banyak Suami yang Tularkan HIV/AIDS ke Istrinya

Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga bukan ironis karena suami merekalah yang ironis yaitu melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS

“Ironisnya, dikatakan Dewi (Dinkes Kabupaten Probolinggo dr Dewi Vironica-pen.), dari 82 ODHIV baru yang ditemukan, ada 12 ODHIV yang merupakan ibu hamil. Kondisi ini menjadi perhatian serius pihaknya.” Ini ada dalam berita “Ibu Rumah Tangga Tertinggi Tertular HIV/AIDS, Mayoritas di Usia Produktif” (harianbhirawa.co.id, 26/7-2022).

Ada beberapa hal terkait dengan judul dan pernyataan dalam berita seperti yang dikutip di atas, yaitu:

(a). Tidak ada informasi tentang tempat di judul berita ini. Itu terjadi di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur (Jatim).

(b). Terminologi ODHIV justru menambah kebingungan masyarakat karena karena dunia hanya mengenal istilah PLWHA (People Living with HIV/AIDS).

Tim dari Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah sanggar yang khusus mengangani Odha di Jakarta Selatan, menjumpai mendiang Prof Dr Anton M Moeliono, pakar bahasa di Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa, dulu Depdikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) sekarang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemenristek) untuk meminta padanan PLWHA dalam bahasa Indonesia.

Dengan berbagai pertimbanan Prof Anton usulkan Odha yaitu Orang dengan HIV/AIDS. Tidak ditulis dengan kapital karena bukan akronim tapi kata yang mengacu ke Orang dengan HIV/AIDS (Syaiful W. Harahap dalam Pers Meliput AIDS, Pustaka SInar Harapan-Ford Foundation, Jakarta, 2000, catanan kaki hlm 17).

Penyebutan Odha, menurut Prof Anton, lebih manusiawi daripada pengidap HIV/AIDS atau penderita HIV/AIDS.

Dengan Odha saja muncul stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda), apalagi ditambah dengan ODHIV, masyarakat akan tambah bingung dan menimbulkan penafsiran yang berbeda.

Saya sebagai wartawan dan aktivis HIV/AIDS sering ditanya oleh banyak kalangan: “Bang atau Pak, ngapain ngurusin mereka (maksudnya Odha) itu semua pezina!”

Sebenarnya saya capek juga menanggapi berita-berita HIV/AIDS di media massa (koran, majalah, radio dan TV) sekarang tambah lagi dengan media online dan media sosial. Soalnya, pemerintah pun sering memberikan informasi yang dibalut dengan moral dan agama sehingga mengaburkan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).

(c). Disebutkan oleh Dewi bahwa 12 ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV-positif sebagai ironis. Yang ironis itu justru suami ibu-ibu yang hamil itu karena sudah punya istri mereka masih melakukan hubungan seksual berisiko dengan perempuan lain, bisa di dalam dan di luar nikah.

Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Dewi: Apakah suami 12 ibu hamil itu menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya Pemkab Probolinggo membiarkan 12 mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masayarakat.

Sebaiknya Pemkab Probolinggo membalik paradigm berpikir: yang dites HIV duluan bukan ibu hamil, tapi suami perempuan hamil. Jika suami HIV-positif barulah istrinya yang hamil jalani tes HIV.

(d). Kasus HIV/AIDS para ibu hamil yang merupakan masa produktif tidak ironis karena itu masa subur mereka.

Akan ironis jika kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan nenek-nenek. Ini baru jadi persoalan besar.

Disebutkan dalam berita: …. dari tahun 2010 sampai akhir bulan Juni 2022 total penderita HIV/AIDS (istilah yang tepat adalah jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS) di Kabupaten Probolinggo ada 2.277 dengan 693 kematian. Tapi, tidak ada penjelasan berapa kasus HIV dan berapa pula kasus AIDS.

Namun, perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan (2.277) tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Maka, yang perlu dilakukan oleh Pemkab Probolinggo adalah mencari warga yang tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Ini perlu dilakukan dengan payung hukum, seperti peraturan daerah (Perda). Tapi, perlu diingat caranya tidak melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Selain itu untuk mengendalikan penyebaran HIV/AIDS di Kab Probolinggo perlu program yang konkret untuk melakukan intervensi ke pelaku tiga perilaku seksual berisiko ini, yaitu:

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

Tentu saja hal yang tidak mudah karena semua terjadi di ranah privat. Apalagi sekarang setelah reformasi semua lokalisasi pelacuran ditutup sehingga pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel sedangkan eksekusinya terjadi di sembarang waktu dan di sembarang tempat.

Pemkot Probolinggo sudah menerbitkan Perda Penanggulangan HIV/AIDS tapi tidak jalan karena tidak menukik ke akar persoalan yaitu intervensi ke perilaku seksual berisiko.

Maka, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui perilaku seksual berisiko akan terus terjadi.

Laki-laki yang tertular HIV selanjutnya akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS jika tidak terdeteksi, tertuama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. (Kompasiana, 27/7-2022). *

 

(29). Siapa yang Harus Menangani Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Gorontalo Utara?

Pemerintah, dalam hal ini dinas terkait, tidak bisa menghentikan penularan HIV/AIDS karena perilaku seksual berisiko warga ada di ranah privat

“Srikandi DPRD Kabupaten Gorontalo Utara, Ariaty Polapa, meminta agar dinas terkait menyeriusi penanganan kasus HIV/AIDS yang ada di daerah.” Ini lead pada berita “Tanggapi Kasus HIV/AIDS di Gorontalo Utara, Ariyati Polapa Minta Pemerintah Bertindak Serius” (newsnesia.id, 25/7-2022).

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Gorontalo Utara dari tahun 2010 sampai Maret 2022 dilaporkan 64 (hargo.co.id, 22/7-2022).

Yang perlu diingat adalah pemerintah tidak bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena risiko penularan, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, terjadi di ranah privasi (pribadi).

Yang bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, adalah masyarakat.

Coba simak tujuh perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS ini, apakah pemerintah, baik pusat, kabupaten dan kota:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

Apakah Pemkab Gorontalo Utara bisa melakukan intervensi terhadap pelaku perilaku berisiko di atas?

Jelas tidak bisa!

Maka, yang bisa menghentikan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS Nomo 1 hanya warga karena pemerintah tidak bisa melakukan intervensi. Kawin-cerai adalah ranah privat yang diakui hukum baik agama maupun negara.

Sedangkan hubungan seksual di luar nikah, seperti perselingkuhan atau perzinaan, juga di ranah privat dengan transaksi melalui ponsel yang terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat.

Sementara itu perilaku berisiko nomor 2 juga sekarang terjadi di ranah privat karena lokalisasi pelacuran sudah ditutup sejak reformasi. Lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel dengan eksekusi di sembarang waktu dan sembarang tempat yang tidak bisa diintervensi.

Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa dengan indikator jumlah kasus HIV/AIDS pada calon taruna militer yang terus turun. Thailand menjalanka program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordil.

Namun, program tersebut jelas tidak bisa dijalankan di Indonesia karena praktek PSK tidak dilokalisir. Maka, insiden infeksi HIV baru melalui perilaku berisiko nomor 2 ini akan terus tejai di Gorontalo Utara khususnya dan di Indonesia umumnya.

Begitu juga dengan perilaku berisiko lain juga terjadi di ranah privat dengan memakai ponsel untuk transkasi.

Itu artinya pemintaan srikandi DPRD Kabupaten Gorontalo Utara, Ariaty Polapa, ini salah alamat karena kuncinya ada di masyarakat.

Dalam berita Ariaty mengatakan: …. kasus ini (maksudnya HIV/AIDS-pen.) cukup memprihatinkan karena dari potret yang ada, dari tahun ke tahun tidak akan ada pengurangan jumlah penderita, tetapi hanya akan ada peningkatan.

Ya, itu sudah pasti karena pemerintah tidak bisa melakukan intervensi terhadap tiga perilaku seksual berisiko di atas sehingga insiden infeksi HIV bar uterus terjadi. Warga, terutama laki-laki dewasa yang tertular HIV melalui perilaku seksual berisiko yang tidak terdeteksi akan jadi mata ratani penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Sebagai anggota DPRD, Ariaty bisa menggagas peraturan daerah (Perda) untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitanya dengan fenomena gunung es yaitu jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Soalnya, kalau warga yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari. Hal ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang tertular HIV/AIDS sebelum masa AIDS (secara statistik masa AIDS terjai antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat antiretroviral/ARV sesuai resep dokter).

Langkah lain yang bisa dilakukan untuk menanggulangi HIV/AIDS adalah mewajibkan suami dari perempuan hamil untuk menjalani tes HIV. Ingat bukan perempuan hamil yang diwajibkan tes HIV, tapi suami dari perempuan atau istri yang hamil yang diwajibkan tes HIV. Hal ini untuk mencegah agar suami tidak menolak untuk tes HIV jika istrinya terdeteksi HIV-positif. Payung hukumnya bisa dengan Perda.

Namun, perlu diingat Perda untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat dan Perda tes HIV bagi suami perempuan hamil tidak boleh melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Ariaty juga mengatakan: “Dari pendidikan juga sedini mungkin sudah harus ada format-format edukasi yang mengarah pada pencegahan dari pada HIV/AIDS itu sendiri.”

Sosialiasi dan edukasi tentang HIV/AIDS sudah dilakukan sejak 35 tahun lalu di awal epidemi, tapi hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Tanpa lankah-langkah yang konkret, penyebaran HIV/AIDS di Gorontalo Utara akan terus tejadi ibarat ‘bom waktu’ yang kelak bermara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 28/7-2022).*

 

(30).  Kasus HIV/AIDS di Kota Kendari pada Usia Produktif Realistis Bukan Ironis

Kasus HIV/AIDS pada usia produktif merupakan realitas sosial yang realistis karena pada usia itu dorongan seksual tinggi

“Dari hasil pendataan, kasus ini (HIV/AIDS di Kota Kendari, Sultra-pen.) didominasi akibat perilaku seks yang menyimpang.” Ini ada di dalam berita “Kurang Dua Bulan, 22 Kasus HIV Aids Bertambah” (kendaripos.fajar.co.id, 27/6-2022).

Disebutkan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), sampai pertengahan Juni 2022 sebanyak 104.

Terkait dengan pernyataan di atas yang menyebut kasus HIV/AIDS ‘didominasi akibat perilaku seks yang menyimpang’ merupakan informasi yang keliru.

Dalam kaitan itu tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘perilaku seks menyimpang.’ Kalau ‘perilaku seks menyimpang’ diartikan sebagai zina dengan pekerja seks komersial atau non-PSK, maka pernyataan tersebut misleading (menyesatkan).

Soalnya, penulaan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual). Risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Ini fakta medis. (Lihat matriks).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Istilah yang dikenal terkait dengan faktor risiko hubungan seksual pada penularan HIV/AIDS adalah hubungan seksual yang tidak aman yang merupakan perilaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

Sedangkan tentang jumlah kasus yang dilaporkan (104) tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi (104) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Di bagian lain berita disebut: Ironisnya, Mereka yang terpapar masih diusia produktif antara 25 s.d 49 tahun.

Pernyataan tersebut kontradiktif karena kasus HIV/AIDS terbanyak pada produktif antara 25 – 49 tahun justru realistis. Soalnya, pada usia ini dorongan seksual sangat tinggi. Sebagian besar dari mereka bekerja sehingga bisa membeli seks. Yang perlu diketahui dorongan seksual tidak bisa digantikan dengan kegiatan lain selain dengan aktivitas seksual.

Yang ironis kalau kasus HIV/AIDS terbanyak terdeteksi pada kakek-kakek dan nenek-nenek (lanjut usia/Lansia) dan pada bayi.

Persoalannya adalah: Bagaimana dan mengapa warga di usia produktif banyak yang tertular HIV/AIDS?

Kondisi itu terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama yang menghilangkan fakta medis tentang HIV/AIDS. Sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Contohnya pengaitan ‘perilaku seks menyimpang’ dengan penularan HIV/AIDS dalam berita ini. Penularan HIV/AIDS bukan karena ‘perilaku seks menyimpang’ tapi karena dilakukan dengan yang mengidap HIV/AIDS di dalam atau di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis.

Karena tidak memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, maka kalangan warga di usia produktif berisiko tinggi tertular HIV/AIDS melalui perilaku seksual berisiko.

Disebutkan oleh Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kota Kendari, Elffi: Sebagai upaya mengantisipasi penyebaran, Dinkes rutin melakukan skrining terutama bagi pekerja yang rentan terpapar. Apalagi seseorang yang terkena gejala HIV Aids. “Kami mengapresiasi inisiatif Pekerja Seks Komersil (PSK) yang rutin melakukan pemeriksaan kesehatan.”

Langkah tersebut ada di hilir. Ketika seorang PSK terdeteksi HIV-positif itu artinya dia sudah tertular HIV/AIDS dari laki-laki, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, serta sudah menularkan HIV/AIDS ke orang lain. (Lihat matriks).

Matriks: Tes HIV adalah program penanggulangan HIV/AIDS di hilir. (Sumber: Dok. Syaiful W. Harahap)

Seseorang terdeteksi HIV-positif melalui tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku minimal sudah titular tiga bulan. Itu artinya PSK itu selama tiga bulan sudah melayani banyak laki-laki tanpa kondom.

Yang perlu dilakukan oleh Dinkes Kota Kendari adalah melakukan intervensi terhadap tiga perilaku berisiko di atas yaitu memaksa laki-laki memakai kondom untuk menurunkan atau mengurangi jumlah kasus baru.

Selama tidak ada intevensi, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi, terutama pada laki-laki dewasa, melalui perilaku seksual berisiko di atas.

Laki-laki yang tertular dan tidak terdereksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat sebagai ‘bon waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 29/7-2022). *

 

(31). Apa yang Harus Dilakukan Dinkes Bangkalan Madura untuk Membendung HIV/AIDS?

Tanpa langkah yang konkret penyebaran HIV/AIDS di Bangkalan, Madura, Jatim, akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’

“Sebaran human immunodeficiency virus (HIV) acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) di Bangkalan (Madura, Jawa Timur-pen.) tinggi. Buktinya, terdapat 114 orang terjangkiti penyakit mematikan itu. Ironisnya, lima penderita masih anak-anak atau di bawah 18 tahun.” Ini lead pada berita “radarmadura.jawapos.com” (29/7-2022).

Ada beberapa hal yang patut dikritisi di lead berita ini, yaitu:

(a). Pernyataan ‘terjangkiti penyakit mematikan itu’ tidak akurat dan bisa dikategorikan sebagai misleading (menyesatkan) karena HIV adalah virus dan AIDS adalah masa. HIV/AIDS bukan penyakit sehingga tidak mematikan.

(b). Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS (secara statistik antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat antiretroviral/ARV sesuai resep dokter). Pada masa AIDS sistem kekebalan tubuh Odha rendah sehingga mudah kena panyakit, seperti diare, TB dan lain-lain yang disebut infeksi oportunistik (IO). Infeksi inilah yang menyebabkan kematian pada Odha.

(c). Yang ironis bukan HIV/AIDS pada anak-anak, tapi perlaku seksual ayah mereka yang berisio tertular HIV/AIDS sehingga menularkan HIV/AIDS ke ibu mereka yang selanjutnya tertular kepada mereka ketika bayi sewaktu persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI) ibunya.

Kasus HIV/AIDS pada anak-anak menunjukan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya terjadi karena tidak ada program yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu hamil.

Sejatinya Dinkes Bangkalan meminta agar Pemkab dan DPRD Bangkalan menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami dari ibu-ibu yang hamil menjalani tes HIV. Jika suami HIV-positif barulah istrinya menjalani tes HIV.

Jangan dibalik karena suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi HIV-positif menolak menjalani tes HIV sehingga mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Di agian lain Kabid Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Bangkalan, Rizkiyah Nuni Wahyuni, mengatakan: Untuk menekan kasus HIV/AIDS lembaganya melakukan upaya sosialisasi serta pemeriksaan terhadap kelompok-kelompok yang rentan terkena HIV/AIDS. Misalnya, kelompok wanita pria (waria). Langkah itu sebagai upaya untuk menekan tingginya kasus HIV/AIDS.

Soal sosialisasi sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu di awal epidemi HIV/AIDS terdeteksi di Indonesia, tapi hasilnya nol besar. Hal ini terjadi karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tetang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama sehingga fakta medis hilang. Yang ditangkap masyarakat dari KIE itu hanya mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengait-ngaitkan ‘seks bebas,’ zina, selingkuh, melacur dan homoseksual sebagai penyebab HIV/AIDS. Ini ngawur karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu atau keduanya mengidao HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis. (Lihat matriks).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Ketika ada waria yang terdeteksi HIV-positif persoalan bukan pada waria itu, tapi laki-laki heteroseksual, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, yang menularkan HIV/AIDS kepada waria tersebut dan laki-laki heteroseksual lain yang melakukan seks anal atau seks oral dengan waria tadi karena berada pada posisi berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Dalam berita disebutkan pula: Anggota Komisi D DPRD Bangkalan Sonhaji meminta dinkes serius membendung penyebaran HIV/AIDS. Langkah yang harus dilakukan yaitu dengan mendeteksi dini orang-orang yang berpotensi terkena penyakit itu. Salah satunya pekerja seks komersial yang diciduk oleh satpol PP.

Pertanyaan untuk Sonhaji, bagaimana caranya Dinkes Bangkalan membendung penyebaran HIV/AIDS melalui perilaku seksual bersiko ini?

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya degan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

Semua perilaku berisiko ini terjadi di ranah privat sehingga mustahil melakukan intervensi berupa penjangkauan. Apalagi sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial sejak ditutup ketika reformasi bergulir. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekusinya dilakukan di sembarang waktu dan sembarang tempat.

Lagi pula kalaupun Satpol PP menemukan PSK yang mengidap HIV/AIDS, persoalan bukan pada PSK tapi warga Bangkalan, terutama laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Pertama, yang menularkan HIV/AIDS ke PSK. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki tersebut bisa sebagai seorang suami sehingga ada pula risiko penularan ke istrinya. Bahkan, ada laki-laki yang beristri lebih dari satu sehingga jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS kian banyak.

Kedua, seorang PSK yang ditangkap Satpol PP terdeteksi HIV-positif itu artinya PSK tersebut sudah tertular HIV minimal tiga bulan sebelumnya. Maka, dalam kurun waktu tiga bulan sudah ada 225 laki-laki (1 PSK x 3 bulan x 25 hari/bulan x 3 laki-laki/malam) yang berisiko tertular HIV/AIDS karena melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom.

Matriks. Risiko ibu rumah tangga tertular HIV/AIDS dibanding PSK. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Bayangkan kalau PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Bangkalan lebih dari satu. Itu artinya kian banyak laki-laki dewasa warga Bangkalan yang jadi pelanggan PSK berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Maka, yang diperlukan di Bangkalan adalah menjangkau laki-laki pada empat perilaku berisiko di atas agar mereka selalu memakai kondom. Tapi, program ini insiden infeksi HIV baru di Bangkalan akan terus terjadi.

Laki-laki yang tertular HIV dan tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari karena warga yang tertular HIV/AIDS tidak mengalami tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS.

Penyebaran HIV/AIDS tersebut bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 30/7-2022). *

(32). Bagaimana Antisipasi Penyebaran HIV/AIDS di Jawa Tengah?

Sosialisasi dan edukasi terkait risiko HIV/AIDS sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu, tapi hasilnya nol besar karena materi KIE hanya mitos

“Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jawa Tengah beserta jajarannya di daerah diminta semakin aktif dalam mengedukasi risiko HIV/AIDS kepada masyarakat. Pasalnya, kasus HIV/AIDS telah ditemukan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah.” Ini lead pada berita “KPA se-Jateng Diminta Kian Aktif Edukasi Masyarakat Soal HIV/AIDS” (republika.co.id, 29/7-2022)

Terkait dengan sosialisasi dan edukasi tentang HIV/AIDS sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu yaitu di awal-awal epidemi HIV/AIDS.  Tapi, hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama sehingga menghilangkan fakta medis tentang HIV/AIDS. Yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan seks pranikah, zina, ‘seks bebas,’ selingkuh, pelacuran dan homoseksual.

Padalah, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks pranikah, seks di luar nikah, zina, ‘seks bebas,’ selingkuh, pelacuran dan homoseksual), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis. (Lihat matriks risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksul).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Nah, kalau kemudian Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, meminta KPA untuk semakin aktif dalam mengedukasi risiko HIV/AIDS kepada masyarakat, apa materi KIE yang akan disampaikan?

Kalau hanya sebatas mitos itu sama saja dengan menggantang asap atau menggarami laut karen informasi yang disampaikan tidak akurat.

Ada empat perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika seseorang melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko berikut, maka orang tersebut berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Tujuh perlaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

Pertanyaan untuk Wagub Jateng: Apa langkah Pemprov Jateng melalui KPA Jateng dan jajarannya untuk menghentikan empat perilaku seksual berisiko di atas?

Pemprov Jateng sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) No 5 Tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 24 April 2009 yang ditandatangani oleh Gubernur Jateng, Bibit Waluyo.

Tapi, Perda ini juga ‘mandul’ sama seperti seratusan Perda sejenis di Tanah Air karena pasal-pasal pencegahan tidak menukik ke akar masalah yaitu perilaku seksual berisiko. Perd AIDS Jateng malah mengabaikan risiko penularan HIV/AIDS melalui aktivitas seks di tempat-tempat pelacuran.

Di Jateng sendiri sudah ada beberapa kabapaten dan kota yang menerbitkan Perda penanggulangan HIV/AIDS, tapi semua perda di Indonesia hanya ‘copy-paste.’ Selain itu penanggulangan HIV/AIDS dan Perda AIDS di Indonesia juga mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.

Disebutkan pula: Dalam mengoptimalkan dan memudahkan upaya pencegahan, KPA harus bisa menggandeng elemen masyarakat yang lain. Tokoh agama, tokoh masyarakat, dan unsur lainnya juga harus diajak diskusi bagaimana meningkatkan pencegahan melalui sosialisasi serta edukasi yang efektif.

Yang diperlukan adalah program yang konkret yaitu menjangkau pelaku perilaku seksual berisiko di atas, khususnya laki-laki, agar mereka selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual yang berisiko.

Persoalannya adalah perilaku seksual berisiko tersebut semua terjadi di ranah privat. Apalagi yang menyangkut PSK karena ketika reformasi tempat-tempat pelacuran ditutup, lokaliasi pelacuran pindah ke media sosial. Sekarang ditambah pula dengan praktek prostitusi online. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekusi terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.

Laporan siha.kemkes.go.id (7/2-2022) tentang perkembangan kasus HIV/AIDS,  dari tahun 1987 sampai 30 September 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Jateng sebanyak 55.766 yang terdiri atas 41.904 HIV dan 13.862 AIDS. Jumlah kasus ini menempatkan Jateng di peringkat kelima nasional.

Yang perlu diingat jumlah kasus yang dilaporkan (55.766) tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Untuk itu Pemprov Jateng melalui KPA dan Dinkes Jateng perlu merancang program untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi. Tentu saja program tidak boleh melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Tanpa program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru di hulu yaitu pada perilaku berisiko dan mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS di masyarakat, maka penyebaran HIV/AIDS di Jateng akan terus terjadi. (Sumber: Kompasiana, 31/7-2022). *

 

(33). Berita AIDS di Cianjur Hanya Menyasar LSL Abaikan Potensi Penyebaran Oleh Heteroseksual

Berita seperti ini misleading (menyesatkan) yang akhirnya tidak bisa meningkatkan kesadaran warga untuk menghindari perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS

“228 Warga Cianjur Tertular HIV/AIDS Akibat LSL.” Ini judul berita di detik.com/jabar, 31/3-2022.

Judul berita ini misleading (menyesatkan) karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (seks vaginal, anal dan oral) di dalam dan di luar nikah terjadi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom).

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (seks vaginal, anal dan oral) di dalam dan di luar nikah bukan karena sifat hubungan seksual, di luar nikah, zina, melacur, atau LSL.

LSL aalah lelaki suka seks lelaki yaitu homoseksual, dalam hal ini gay, yang melalukan seks anal.

Tapi, penularan HIV/AIDS pada LSL bukan karena mereka LSL, tapi karena kondisi saat terjadi seks anal yaitu yang menganal atau yang dianal mengidap HIV/AIDS dan yang menganal tidak memakai kondom.

Di lead berita disebutkan: Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur (Jawa Barat-pen) mencatat ada 551 pengidap HIV/AIDS baru di Cianjur dalam kurun 2019-2022. Dari jumlah itu, 228 orang atau nyaris 50 persen di antaranya akibat perilaku lelaki seks lelaki (LSL).

Pernyataan ini tidak akurat karena penularan HIV/AIDS bukan “akibat perilaku lelaki seks lelaki (LSL)”, tapi karena mereka tidak menerapkan seks aman yaitu melakukan seks anal dengan pengidap HIV/AIDS dan yang menganal tidak memakai kondom.

Lagi pula HIV/AIDS pada kalangan LSL itu ada di ‘terminal terakhir’ karena mereka tidak mempunyai istri sehingga tidak ada penyebaran ke masyarakat.

Yang jadi persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS justru pengidap HIV/AIDS di kalangan heteroseksual, terutama laki-laki dewasa. Soalnya, mereka punya istri bahkan ada yang lebih dari satu.

Itu artinya ketika seorang laki-laki heteroseksual mengidap HIV/AIDS, maka dia akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, paling tidak kepada istrinya. Jika istrinya tertular HIV/AIDS maka ada risiko penularan HIV/AIDS secara vertikal ke anak yang dikandungnya kelak, terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Dalam berita sama sekali tidak ada informasi tentang pengidap HIV/AIDS di kalangan heteroseksual dan ibu rumah tangga.

Informasi kasus hanya menyorot LSL. Disebut dalam berita tentang jumlah kasus HIV/AIDS, yaitu:

Tahun 2019: 179 Kasus dengan LSL 79 (kasus non-LSL = 100)

Tahun 2020: 179 Kasus dengan LSL 74 (kasus non-LSL = 105)

Tahun 2021: 111 kasus dengan LSL 32 (kasus non-LSL = 79)

Tahun 2022 s/d April: 82 Kasus dengan LSL 43 (kasus non-LSL = 39)

Jika kasus non-LSL itu pada pekerja seks komersial (PSK) dan laki-laki heteroseksual serta ibu rumah tangga, maka mereka sangat potensial sebagai mata rantai penyebaran HIV/AIDS.

Tampaknya, berita ini termasuk sumber berita lebih mementingkan sensasi agar beritanya bombastis, tapi tidak membawa manfaat bagi masyarakat terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS.

Disebutkan dalam berita: Menurutnya (Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur Frida Laila Yahya), di luar data itu diduga masih banyak ODHA baru yang tidak melakukan tes kesehatan. Ia menyebut kasus HIV/AIDS ini ibarat fenomena gunung es.

Yang jadi masalah besar adalah banyak informasi di media massa dan media online yang selalu mengumbar ciri-ciri HIV/AIDS. Padahal, orang-orang yang tertular HIV/AIDS tidak otomatis menunjukkan ciri-ciri tersebut,

Maka, banyak orang, terutama laki-laki dewasa, yang perilaku seksualnya berisiko tapi tidak mengalami ciri-ciri HIV/AIDS. Maka, mereka merasa tidak tertular HIV/AIDS. Ini yang bikin celaka. Akibatnya, tanpa mereka sadari mereka menularkan HIV/AIDS ke orang lain.

Itulah sebabnya yang dianjurkan tes HIV, bukan tes kesehatan, adalah orang-orang yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:

  • Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
  • Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang serng berganti-ganti, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan
  • Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom

Tanpa langkah konkret untuk mengatasi perilaku-perilaku seksual berisiko di atas, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Kabupaten Cianjur. Sementara itu laki-laki yang tertular HIV/AIDS tidak terdeteksi sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Jika hal itu yang terjadi di Cianjur, maka penyebaran HIV/AIDS bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermaura pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 9/7-2022). *

 

(34). Penanggulangan HIV/AIDS di Riau Apakah Cukup dengan Perilaku Hidup Sehat

Tidak ada kaitan antara perilaku hidup sehat atan perilaku hidup tidak sehat dengan penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual

“Penanggulangan tersebut (penanggulangan HIV/AIDS-pen.) dapat dilakukan secara sistemik dan terpadu, dimulai dari perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, perawatan dukungan obat bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha) dan orang yang terdampak HIV/AIDS. Penanggulangan tersebut dapat dilakukan secara sistemik dan terpadu, dimulai dari perilaku hidup sehat, pencegahan penyait, perawatan dukungan obat bagi orang dengan HIV/AIDS (Odha) dan orang yang terdampak HIV/AIDS.”

Pernyataan di atas ada dalam berita “Ada 7.709 Odha di Riau pada Juni 2022” (riau.antaranews.com, 20/7-2022)

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari pernyataan dan judul berita di atas, yaitu:

Pertama, tidak kaitan antara ‘perilaku hidup sehat’ dengan penularan HIV/AIDS. Hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, adalah hal yang sehat secara seksualitas. Jangan dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama sehingga seks di luar nikah dianggap sebagai perilaku hidup yang tidak sehat.

Justru anggapan itulah yang mendorong stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) karena masyarakat menganggap orang-orang yang tertular HIV/AIDS adalah orang dengan perilaku hidup yang tidak sehat.

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu atau kedua pasangan yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual. Ini fatka medis (Lihat matrik risiko penularan HIV).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Kedua, pencegahan HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual berisiko, tidak bisa dihentikan pemerintah karena terjadi di ranah privat (Lihat perilaku seksual di bawah ini):

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan salah satu atau beberap perilaku seksual berisiko berikut ini, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong).

(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Perilaku seksual berisiko nomor (1), (2), (3) dan (4) ada di ranah privat. Mustahil pemerintah bisa melakukan intervensi untuk memaksa laki-laki selalu memakai kondom.

Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Yang bisa diintervensi pemerintah yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa adalah pada perilaku berisiko nomor (2) melalui hubungan seksual dengan PSK langsung. Tapi, praktek PSK harus dilokalisir, sementara di Indonesia sejak reformasi tempat-tempat pelacuran ditutup.

Lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial sehingga transaksi seks dengan PSK dan cewek prostitusi online dilakukan melalui ponsel dengan eksekusi di sembarang waktu dan sembarang tempat.

Adalah hal yang mustahil mengharapkan setiap individu (warga) tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. Mengawasi perilaku seksual setiap warga juga tidak bisa dilakukan.

Pemprov Riau sendiri sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) No No 4 Tahun 2006 tentang Pecegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Tapi, Perda ini tidak jalan karena tidak menukik ke akar persoalan pencegahan HIV/AIDS melalui perilaku seksual berisiko. Bahkan, Perda ini mendorng stigma karena mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan iman dan taqwa sehingga muncul kesan orang-orang yang tertular HIV/AIDS karena tidak beriman dan tidak bertaqwa.

Ketiga, terkait jumlah Odha (Orang dengan HIV/AIDS) di Provinsi Riau yang dilaporkan (7.709) tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Riau, Edy Natar Nasution, temuan kasus HIV/AIDS di Riau baru pada angka 66,4 persen dari 11.596.

Jumlah kasus yang dilaporkan (7.709) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Itu artinya ada 3.887 warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka ini jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Riau. Jumlah warga yang menyebarkan akan bertambah dengan infeksi baru yang terjadi melalui empat perilaku berisiko di atas.

Maka, yang diperlukan selain sosialisasi dan edukasi adalah program yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat. Program didukung dengan payung hukum yaitu peraturan daerah (Perda) yang tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar hak asasi manusia (HAM).

Disebutkan oleh Wagub: Yang sudah diobati atau minum obat sebanyak 2.930 orang. Artinya masih banyak pasien yang positif HIV/AIDS belum sepenuhnya memiliki kesadaran meminum obat HIV.”

Ada fakta yang tidak dipahami secara jernih oleh Wagub terkait dengan Odha yang tidak meminum obat antriretroviral (ARV) yaitu keterbatasan akses ke tempat mengambil olat ARV karena tidak semua fasilitas kesehatan (Faskes) menyediakan obat ARV. Ada kalanya hanya di RS ibu kota kabupaten sehingga memerlukan biaya yang besar bagi Odha yang jauh dari RS.

Di tahun 1990-an Riau memulangkan PSK yang terdeteksi HIV/AIDS ke daerah asalnya. Tapi, pemerintah Riau lupa bahwa bisa jadi yang menularkan HIV/AIDS ke PSK tersebut adalah laki-laki warga Riau. Dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko menularkan HIV ke istrinya yang kelak bermuara pada bayi yang dilahirkan istrinya dengan HIV/AIDS.

Selain itu sudah berapa banyak laki-laki warga Riau yang tertular HIV/AIDS dari PSK yang dipulangkan tersebut. Perlu diingat jika hasil tes HIV, sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku, seseorang positif, maka minimal dia sudah tertular tiga bulan. Itu artinya seorang PSK yang terdeteksi HIV-positif sudah melayani laki-laki sebanyak 225 (1 PSK x 25 hari x 3 bulan x 3 laki-laki per malam) yang bisa saja sebagian besar warga Riau. Laki-laki ini berisiko tinggi tertular HIV/AIDS jika tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Matriks. Risiko ibu rumah tangga tertular HIV/AIDS dibanding PSK. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Maka, amatlah wajar kalau kemudian ibu rumah tangga terdeteksi HIV-positif karena mereka tertular dari suaminya. Istri-istri yang tertular pun kemudian tanpa sadar menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Karena tidak bisa melakukan intervensi terhadap empat perilaku seksual berisiko, maka yang bisa dilakukan hanyalah memutus rantai penyebaran HIV/AIDS ke bayi yaitu dengan membuat regulasi mewajikan suami ibu hamil menjalani tes HIV. Jangan dibalik karena kalau istrinya duluan dites, ketika hasilnya positif suaminya kabur karena tidak mau jalani tes HIV. (Sumber: Kompasiana, 3/8-2022).

 

(35). Kematian Terkait HIV/AIDS di Aceh Utara Tinggi

Tingkat kematian pengidap HIV/AIDS di Aceh Utara, Aceh, cukup tinggi sehingga pihak terkait pelu menurunkan tingkat kematian

Penderita HIV dan AIDS di Aceh Utara Capai 157 Orang, 70 Meninggal Dunia. Ini judul berita di ajnn.net, 5/8-2022.

Data kematian di Kabuapten Aceh Utara, Aceh, ini menunjukkan tingkat kematian karena penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS termasuk tinggi yaitu 44,59%. Sayang, dalam berita tidak dijelaskan penyakit-penyakit penyebab kematian 70 pengidap HIV/AIDS itu.

Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak meminum obat antiretroviral/ARV sesuai resep dokter). Di masa AIDS sistem kekebalan tubuh pengidap HIV/AIDS sangat rendah sehingga mudah kena penyakit, seperti diare, TB, dan lain-lain.

Maka, langkah Dinas Kesehatan Aceh Utara adalah memberikan obat ARV kepada Odha yang terdeteksi. Namun, perlu diingat jumlah kasus yang dilaporkan (157) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS di masyarakat.

Perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Terkait dengan 70 Odha yang meninggal perlu juga Dinkes Aceh Utara melakukan pendekatan kepada keluarga Odha yang meninggal karena sebelum meninggal bisa saja sudah terjadi penularan HIV/AIDS.

Dalam berita disebutkan: Ferianto (Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh Utara), menambahkan, diantara banyaknya yang terinfeksi virus tersebut lebih didominasi oleh laki-laki yang disebabkan adanya heteroseksual.

Pernyataan ini kurang tepat. Tidak jelas apakah persis seperti pernyataan Ferianto atau pendapat wartawan yang menulis berita ini.

Matriks: Orientasi Seksual. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Heteroseksual adalah orientasi seksual yaitu laki-laki atau perempuan yang tertarik secara seksual dengan lawan jenis. Maka, yang tepat adalah penularan HIV/AIDS di Aceh Utara banyak terdeteksi pada laki-laki heteroseksual.

Laki-laki heteroseksual yang tertular HIV/AIDS sangat potensial untuk menyebarkan HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang beristri akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya atau pasangan seksual lain.

Disebutkan: “Upaya kedepan dalam menangani kasus tersebut terus melakukan mobile Voluntary Counseling and Testing  (VCT) untuk skrining pada populasi kunci, kemudian meningkatkan  sosialisasi di masyarakat untuk bersedia memeriksakan diri jika beresiko, dan melaksanakan sosialisasi di kelompok remaja baik di sekolah dan pesantren,” tuturnya.

Langkah di atas adalah penanggulangan di hilir karena yang tes HIV sudah melakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko. Perilaku seksual dan nonseksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong).

(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Sedangkan perilaku nonseksual yang berisiko tertular HIV, yaitu:

(5). Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,

(6) Memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan berganti-ganti dan bergilir, terutama pada penyalahguna Nakoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) karena bisa saja salah satu mengidap HIV/AIDS sehingga darah masuk ke jarum suntik dan ke tabung yang salnjutnya disuntikkan ke badan penyalahguna yang lain.

Dalam epidemi HIV/AIDS penanggulangan adalah di hulu yaitu mencegah atau menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui perilaku seksual dan nonseksual berisiko.

Langkah yang konkret adalah melakukan intevensi, tapi hal itu mustahil karena perilaku seksual berisiko terjadi di ranah privat. Selain itu untuk perilaku berisiko nomor (2) juga tidak bisa dilakukan intervensi karena praktek PSK tidak dilokalisir. Sedangkan lokalisasi pelacuran sekarang sudah pindah ke media sosial. Transaksi dilakukan melalui ponsel dengan eksekusi terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat (Lihat matrik penjangkauan).

Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Itu artinya insiden infeksi HIV baru di Aceh Utara akan terus terjadi. Warga yang tertular HIV dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Di bagian lain Ferianto mengatakan: “ …. Kemudian berperilaku seks sehat bukan seks bebas, jauhi narkoba, jika merasa sakit segera memeriksakan diri dan jangan takut di stigma.”

Pernyataan ini tidak akurat karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis. (Lihat matriks risiko penularan HIV/AIDS berdasarkan kondisi dan sifat hubungan seksual).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) adalah obat (anestesi), maka yang dijauhi bukan zat (narkoba), tapi penyalahgunaan terutama dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran memakai jarum suntik dan tabungnya. Soalnya, bisa saja salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS sehingga darah masuk ke jarum dan tabung selanjutnya disuntikkan ke badan oleh yang lain.

Yang dianjurkan tes HIV adalah orang-orang yang pernah atau sering melakukan, terutama, perilaku seksual berisiko. Sedangkan yang tidak pernah melakukan perilaku seksual yang berisik tertular HIV/AIDS biar pun sakit dengan gejala itu sama sekali tidak terkait dengan HIV/AIDS sehingga mereka tidak perlu tes HIV.

Perlu langkah-langkah yang konkret melalui program pencegahan dan penanggulangan agar insiden infeksi HIV bisa diturunkan, sekali lagi hanya bisa diturunkan karena untuk menghentikannya mustahil.

Adalah hal yang mustahil mengawai perilaku seksual setiap warga setiap hari. Maka, diperlukan program penanggulangan yang konkret. (Sumber: Kompasiana, 5/8-2022). *

 

(36). Penyebaran HIV/AIDS dari 2 PSK yang Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS di Probolinggo

HIV/AIDS pada PSK ditularkan oleh laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tersebut, laki-laki itu bisa jadi seorang suami yang berisiko menularkan HIV/AIDS ke istrinya

“Guna pendataan dan tes medis untuk mengetahui apakah dari 8 orang terpapar HIV, seluruh PSK dan muncikari yang terjaring akan diserahkan ke Dinas Sosial Probolinggo. Mereka juga akan dilakukan pembinaan.” Ini ada dalam berita “8 PSK Terjaring Razia di Probolinggo, 3 Orang Terindikasi HIV/AIDS” (detik.com/jatim, 4/8-2022).

Untuk mendeteksi HIV pada seseorang istilah yang tepat adalah tes HIV bukan tes medis. Dalam berita tidak ada penjelasan apakah 8 orang yang terjaring razia itu menerima konseling sebelum tes HIV. Ini penting karena merupakan persyaratan sebagai standar prosedur operasi tes HIV yang baku untuk menjalankan tes HIV terhadap seseorang.

Konseling sebelum tes adalah memberikan informasi yang akurat tentang semua hal yang terkait dengan HIV/AIDS, seperti pengertian HIV/AIDS, cara-cara penularan dan pencegahan. Setelah orang-orang yang menerima konseling memahami HIV/AIDS sesuai dengan yang dijelaskan konselor, maka mereka akan membuat pernyataan tertulis (informed consent), tapi belakangan bisa dengan lisan, bahwa mereka bersedia menjalani tes HIV.

Sebelum tes HIV mereka juga harus melakukan ikrar bahwa penularan HIV/AIDS akan mereka hentikan mulai dari diri mereka sendiri jika hasil tes HIV positif. Ini penting untuk meningkatkan kesadaran warga yang tertular HIV/AIDS agar menghentikan penyebaran HIV/AIDS.

Di bagian lain disebutkan: Kabid Trantibum Satpol PP Probolinggo Hariyanto mengatakan setelah screening awal ada 3 orang terjaring yang terindikasi HIV, yakni 2 PSK dan 1 pria hidung belang.

Fakta tentang 2 PSK dan 1 pria hidung belang yang terdeteksi HIV-positif tidak dibawa oleh wartawan yang menulis berita ini ke realitas sosial.

Pertama, HIV/AIDS pada 2 PSK itu ditularkan oleh laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom.

Kedua, dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada 2 PSK itu bisa sebagai seorang suami, pacar atau selingkuhan.

Ketiga, laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK itu dan laki-laki hidung belang yang terdeteksi HIV-potitif berisiko pula menularkan HIV/AIDS ke istrinya, pacar atau selingkuhannya serta ke PSK lain.

Kempat, istri yang tertular HIV/AIDS bisa pula menularkan HIV/AIDS ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Kelima, seseorang terdeteksi HIV-positif melalui tes HIV dengan standar prosedur tes HIV yang baku minimal orang itu sudah tertular HIV/AIDS tiga bulan sebelumnya.

Maka, jika setiap malam seorang PSK meladeni 3 laki-laki, maka sudah ada 450 – 750 laki-laki (2 PSK x 3 – 5 laki-laki/malam x 25 hari/bulan x 3 bulan) yang berisiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan 2 PSK tersebut (Lihat matriks).

Matriks. Risiko ibu rumah tangga tertular HIV/AIDS dibanding PSK. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Nah, kalau saja wartawan yang menulis berita itu memaparkan realitas sosial, maka jauh lebih bermakna untuk masyarakat daripada sekedar mengumbar HIV/AIDS pada PSK.

Berita yang mem-blow up PSK dengan HIV/AIDS seakan-akan menggantung di awang-awang karena tidak dibawa ke realitas sosial. Terkesan berita PSK terkait HIV/AIDS sebagai sensasi yang akhirnya membuat berita yang bombastis (omong kosong) yang tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang cara-cara pencegahan HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual.

Pesan yang paling penting disampaikan melalui media ke masyarakat adalah jika ada yang merasa pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di tempat-tempat pelacuran di Probolinggo, Jawa Timur (dalam berita tidak dijelaskan apakah razia di wilayah kabupaten atau kota) agar segera menjalani tes HIV sukarela di Puskesmas atau rumah sakit umum daerah (RSUD) terdekat.

Soalnya, warga yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena ada 2 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Celakanya, sebagian media membuat berita yang terkait dengan razia PSK sebagai berita yang sensasional yang akhirnya bermuara pada bombastis (omong kosong) karena substansi keterkaitan HIV/AIDS pada PSK tidak dibawa ke realitas sosial.

Itu artinya berita yang bombastis tidak menawarkan perubahan perilaku bagi warga karena berita tidak mengandung unsur-unsur pencerahan. (Sumber: Kompasiana, 9/8-2022). *

 

(37). Suami Ibu Hamil di Majalengka Tidak Jalani Tes IMS dan HIV

Kalau hanya ibu hamil yang tes IMS dan HIV, maka suami ibu hami yang positif IMS atau HIV akan jadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS di masyarakat

“Ibu Hamil Wajib Lakukan Triple Eliminasi, Cegah Penularan Tiga Penyakit Ini” Ini judul berita di pikiran-rakyat.com, 8/7-2022.

Ini di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat (Jabar). Dari langkah itu sudah tampak terang benderang perempuan dijadikan objek dalam penanggulangan IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, virus kanker serviks, dan lain-lain) dan HIV/AIDS.

Padahal, mereka adalah korban dari suami yang melakukan perilaku seksual berisiko dengan perempuan lain bisa di dalam nikah atau di luar nikah.

Seperti dikatakan oleh Kasie P2P, Dinkes Majalengka, Dede Pranoto, melalui Triple Eliminasi tersebut semua ibu hamil di masa kehamilannya wajib dilakukan tes untuk tiga penyakit HIV/AIDS, sipilis, dan hepatitis B minimal satu kali.

Pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah suami-suami ibu hamil juga wajib menjalani tes untuk tiga penyakit HIV/AIDS, sipilis, dan hepatitis B?

Jika yang perempuan terus jadi objek, maka penyebaran IMS dan HIV/AIDS tidak akan bisa diputus karena suami-suami ibu hamil tidak menjalani tes IMS dan HIV.

Suam-suami ibu hamil yang tidak menjalani tes untuk tiga penyakit HIV/AIDS, sipilis, dan hepatitis B akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS, sipilis, dan hepatitis B di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka, paradigma berpikir Dinkes Majalengka harus dibalik: yang wajib jalani tes untuk tiga penyakit HIV/AIDS, sipilis, dan hepatitis B justru suami dari ibu-ibu hamil. Kalau suami positif salah satu, dua atau ketiga penyakit itu barulah istrinya dites.

Dengan langkah ini mata rantai penyebaran tiga penyakit HIV/AIDS, sipilis, dan hepatitis B bisa diputus karena suami-suami yang terdeteksi mengidap salah satu, dua atau ketiga penyakit HIV/AIDS, sipilis, dan hepatitis B akan menerima konseling agar mereka tidak lagi menularkan tiga penyakit HIV/AIDS, sipilis, dan hepatitis B ke perempuan lain.

Dalam berita ada data, yaitu: Jumlah penderita sejak tahun 2021 hingga Mei 2022 telah mencapai sebanyak 706 orang, 18 orang di antaranya adalah anak-anak dengan usia terkecil 1 tahun.

Kalau saja wartawan dan sumber berita ini membawa fakta 18 anak-anak pengidap HIV/AIDS ke ranah realitas sosial, maka liputan akan menggambarkan epidemi HIV/AIDS di Majalengka.

Dengan data ini ada 18 suami dan 18 istri pengidap HIV/AIDS. Kalau 18 suami itu punya istri lebih dari 1, maka jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS akan tambah banyak.

Jika dari 706 orang itu ada pekerja seks komersial (PSK), maka jumlah pengidap HIV/AIDS di Majalengka bisa lebih banyak dari angka ini karena 1 PSK setiap malam melayani hubungan seksual berisiko dengan 3 – 5 laki-laki.

Ketika seorang PSK terdeteksi HIV-positif itu artinya dia sudah tertular miniml 3 bulan. Nah, kalau dalam 1 bulan dia praktek 25 malam, maka 3 bulan ada [3 x 25 x (3-5)] = 225 – 375 laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS.

Disebutkan pula: Menurut keterangan Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka Agus Susanto disertai Kasie P2P Dede Pranoto, penambahan kasus setiap tahunnya cukup banyak, dan hampir seluruhnya penularan akibat hubungan seksual terlarang.

Astaga, apa pula yang dimaksud dengan hubungan seksual terlarang?

Ada-ada saja.

Penularan IMS dan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual, dalam hal ini “hubungan seksual terlarang,’ tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap IMS atau HIV/AIDS atau keduanya sekaligus dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom. Ini fakta medis.

Pemberian obat antiretroviral (ARV) kepada pengidap HIV/AIDS adalah langkah di hilir yaitu terhadap warga yang sudah tertular HIV/AIDS.

Sedangkan untuk menangulangi epidemi HIV/AIDS yang diperlukan adalah program yang konkret di hulu untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK dan cewek prostitusi online.

Tanpa langkah konkret di hulu, insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi pada laki-laki dewasa yang selanjutnya jika tidak terdeteksi mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. (Sumber: Kompasiana, 11/7-2022). *

 

Bagian IV: Informasi dan Ciri-ciri HIV/AIDS yang Menyesatkan

 

(38). Informasi Tentang Ciri HIV yang Menakutkan Sekaligus Menyesatkan

Tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS sebelum masa AIDS, yang perlu diperhatikan adalah perilaku berisiko

“Waspada, Ciri HIV Mirip dengan Flu Biasa!” Ini judul berita di health.detik.com, 8/3-2022.

Judul berita ini menakutkan sekaligus menyesatkan (misleading), karena:

(a). Tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-10 tahun setelah tertulah HIV jika tidak minum obat antiretroviral/ARV sesuai resep dokter).

(b). Gejala mirip flu biasa tidak otomatis terkait dengan infeksi HIV jika tidak ada prakondisi yaitu pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan salah satu atau beberap perilaku seksual berisiko berikut, yaitu:

(1). Laki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

Tentang PSK ada dua tipe:

  • PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
  • PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek prostitusi online.

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom.

(c). Tanpa ciri-ciri mirip flu biasa pun bisa saja seseorang sudah tertular HIV/AIDS jika orang tersebut pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko.

Dalam berita disebutkan: Mayoritas orang yang terinfeksi HIV mengalami penyakit biasa seperti flu yang terjadi 2-6 minggu setelah infeksi.

Sedangkan perilaku nonseksual yang berisiko tertular HIV, yaitu:

(5). Menerima transfuse darah yang tidak diskrining HIV,

(6) Memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan berganti-ganti dan bergilir, terutama pada penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) karena bisa saja salah satu mengidap HIV/AIDS sehingga darah masuk ke jarum suntik dan ke tabung yang salnjutnya disuntikkan ke badan penyalahguna yang lain.

Persoalannya, dalam berita tidak dijelaskan siapa ‘mayoritas orang yang terinfeksi HIV’ itu. Tentu saja tidak semua orang masuk dalam kategori ‘mayoritas orang yang terinfeksi HIV’ jika tidak pernah melakukan perilaku seksual berisiko.

Maka, sebaiknya media massa dan media online tidak mengumbar ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala HIV/AIDS tanpa menyebut prakondisi.

Disebutkan dalam berita:

Ciri HIV yang paling umum adalah:

  • Peningkatan suhu (demam)
  • Sakit tenggorokan
  • Ruam tubuh

Ciri lainnya dapat meliputi:

  • Kelelahan
  • Nyeri sendi
  • Nyeri otot
  • Kelenjar bengka

Semua ciri-ciri yang disebutkan di atas bisa terjadi bahkan berulang kali pada orang-orang yang tidak tertular HIV/AIDS.

Maka, amatlah gegabah menyebut ciri-ciri di atas terkait dengan infeksi HIV/AIDS tanpa mengaitkannya dengan perilaku seksual dan nonseksual berisiko.

Disebutkan pula: Kenali ciri HIV sedini mungkin, agar bisa mendapatkan pertolongan dan perawatan dengan segera.

Ini juga tidak akurat. Yang dikenali bukan ciri HIV, tapi menimbang perilaku berisiko yang pernah atau sering dilakukan. Tanpa ciri pun kalau sering melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS sebaiknya menjalani tes HIV.

Yang perlu diingat jika hasil tes HIV negatif itu bukan vaksin karena setelah tes bisa saja tertular HIV/AIDS jika melakukan perilaku berisiko. (Sumber: Kompasiana, 4/8-2022). *

 

(39). Berita HIV/AIDS yang Sembrono Bikin Panik Masyarakat

Sejatinya media (media massa, media online dan media sosial) mendukung penanggulangan HIV/AIDS dengan berita dan konten yang komprehensif bukan mitos dan yang membuat panik masyarakat

“12 Tanda Orang Terinfeksi HIV, Kelelahan Hingga Demam” Ini judul berita di health.detik.com, 24/12-2021. Judul berita ini menakutkan dan membuat banyak orang ketakutan bahkan panik.

Kelelahan dan demam adalah gejala yang timbul karena banyak faktor sehingga tidak ada kaitan langsung antara kelelahan dan demam dengan infeksi HIV/AIDS. Kelelahan dan demam sering dan berulang dialami banyak orang karena berbagai macam faktor pencetus, seperti kerja berat atau karena penyakit yang tidak terkait dengan HIV/AIDS.

Yang disebut 12 tanda orang terinfeksi HIV/AIDS sering dan berulang dialami banyak orang tapi tidak otomatis terkait dengan HIV/AIDS. Yang perlu diingat tanpa tanda atau gejala sekalipun seseorang yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV bisa saja sudah mengidap HIV/AIDS.

Dalam berita tidak dipaparkan dengan jelas bahwa 12 tanda itu terkait dengan HIV/AIDS jika pernah atau sering melakukan perilaku seksual atau nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Dalam berita hanya disebut: Penularan HIV. Risiko terkena HIV umumnya meningkat ketika sering bergonta-ganti pasangan tanpa menggunakan pengaman. Selain itu, orang yang mengonsumsi obat-obatan terlarang menggunakan jarum suntik juga berisiko terkena HIV.

Maka, judul berita ini jadi bumerang dan kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS karena orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS merasa dirinya aman karena tidak satu pun dari 12 tanda itu mereka alami. Sebaliknya, orang-orang yang sema sekali tidak pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS cemas, takut, khawatir bahkan panik membaca berita ini.

Ini dia 12 tanda yang discbut dalam berita sebagai indikator tertular HIV/AIDS:

  1. Deman
  2. Kelelahan
  3. Pegal, nyeri otot dan sendi, pembengkakan kelenjar getah bening
  4. Sakit tenggorokan
  5. Ruam kulit
  6. Mual, muntah, dan diare
  7. Penurunan berat badan
  8. Batuk kering
  9. Pneumonia
  10. Keringat malam
  11. Perubahan pada kuku

Tanda lain dari virus HIV

– Sulit berkonsentrasi

– Herpes mulut dan kelamin

– Sering kesemutan

– Ketidakteraturannya menstruasi

Semua tanda di atas bisa dialami setiap orang bahkan berulangkali karena berbagai faktor dan penyakit yang sama sekali tidak terkait dengan HIV/AIDS.

Maka, sebaiknya sebelum menyebut tanda-tanda, gejala-gejala dan ciri-ciri yang disebut terkait dengan HIV/AIDS harus ada prasyarat atau prakondisi yaitu: pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Ini penting agar masyarakat tidak panik membacara berita yang tidak komprehensif.

Tanpa satu gejala pun jika seseorang pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS tidak berarti mereka bebas HIV/AIDS karena bisa saja tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan mereka sudah tertular HIV/AIDS.

Perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di dalam nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi suami tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

(2). Laki-laki dan perempuan dewasa melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

(3). Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK), dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja PSK tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

(4). Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual dengan waria dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, karena bisa saja waria tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS;

(5). Perempuan dewasa melakukan hubungan seksual gigolo dengan kondisi gigolo tidak pakai kondom, karena bisa saja gigolo tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS.

Perilaku nonseksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:

(6). Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV karena bisa saja donor mengidap HIV/AIDS sehingga darah yang didonorkan mengandung HIV;

(7). Memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian pada penyalahguna Narkoba karena bisa saja ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS sehingga darahnya masuk ke jarum suntik yang akan dipakai penyalahguna lain.

Maka, bagi orang-orang yang pernah atau sering melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual dan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS biar pun tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang terkait dengan HIV/AIDS selayaknya menjalani tes HIV secara sukarla di Puskesmas ataru rumah sakit.

Sudah saatnya media ikut membantu penanggulangan HIV/AIDS dengan berita yang komprehensif bukan yang mengandung mitos dan yang membuat masyarakat panik. (Sumber: Kompasiana, 25/5-2022). *

 

(40). Informasi HIV/AIDS yang Tidak Akurat di Situs Mahasiswa Unikama Malang

Informasi HIV/AIDS yang akurat merupakan ‘vaksin sosial’ untuk lindugi diri agar tidak tertular HIV/AIDS, kalau informasi ngawur justru menyesatkan

Informasi tentang HIV/AIDS dalam artikel “PENCEGAHAN DAN PENULARAN HIV/AIDS“ di situs mhs.unikama.ac.id (Universitas PGRI Kanjuruhan Malang, Jatim) ini misleading (menyesatkan). Dalam artikel yang diunggah 4/3-2018 ini beberapa pernyataan amat sangat tidak akurat sehingga menimbulkan pengertian dan pemahaman yang salah.

Informasi terkait HIV/AIDS pun jadi mitos (anggapan yang salah) yang akhirnya bisa menyesatkan orang-orang yang membaca artikel ini.

Ada pernyataan dalam artikel: Tetapi Virus HIV/AIDS ini BISA TERTULAR dari Tranfusi darah, Hubungan Seks yang berganti ganti pasangan, ASI dan Ganti ganti jarum suntik juga jadi alasan penularan virus itu.

Penyebutan ‘Hubungan Seks yang berganti ganti pasangan’ sebagai media penularan HIV/AIDS jelas tidak akuart karena hal itu merupakan perilaku berisiko tertular HIV karena bisa saja salah satu dari pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS.

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksua bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau kedua pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual.

Itu artinya penularan HIV/AIDS melalui hubungan sekual bukan karena sifat hubungan seksual (berganti-ganti pasangan, zina, melacur, di luar nikah, sek pranikah, selingkuh dan homoseksual), tapi karena kondisi saat terjadi hububungan seksual yaitu salah satu atau kedua pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual (Lihat matriks).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Memakai jarum suntik dan tabungnya dengan bergantian secara bergiliran, terutama pada penyalahguna Narkoba (Narkotika dan bahan-bahan berbahaya) secara bersama-sama juga merupakan perilaku nonseksual berisiko tertular HIV/AIDS. Hal ini terjadi karena ada kemungkinan salah satu atau beberapa dari mereka mengidap HIV/AIDS sehingga ketika menyuntik darah masuk ke jarum dan tabung. Ketika jarum suntik dan tabung dipakai yang lain darah yang mengadung HIV/AIDS terdorong masuk ke tubuh.

Ada lagi pernyataan: Lalu siapa yang beresiko menjadi penderita HIV/AIDS? Beberapa kriterianya adalah sebagai berikut: Pencinta sesama jenis (Homo seksual/Lesby).

Ini benar-benar ngaco bin ngawur karena lesbian (bukan Lesby) tidak melakukan seks penetrasi sehingga tidak ada risiko penularan melalui seks pada lesbian.

Lesbian merupakan homoeksual, dan juga gay laki-laki. Tapi, dalam pernyataan itu tidak disebut gay. Malah ada kesan homoseksual hanya lesbian.

Terkait dengan ‘Ada Fase gejala sebelum jadi penderita HIV/AIDS’ harus ada prakondisi yaitu fase-fase itu bisa dikaitkan dengan infeksi HIV jika yang bersangkutan pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko.

Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko berikut, yaitu:

(1). aki-laki atau perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria (heteroseksual) yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(5). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki atau perempuan dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(7). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,

Sedangkan perilaku nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS adalah:

(8). Laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,

(9). Laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan bergiliran pada penyalahgunaan Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik, karena bisa saja ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS sehingga darah yang mengandung HIV bisa masuk ke jarum dan tabung.

da juga pernyataan; Jadi gays kita bisa menghidari virus tersebut dengan cara:

  1. SETIA sama pasangan jangan berganti ganti pasangan
  2. Menggunakan kondom saat melakukan hubungan seks
  3. Jauhi Narkoba
  4. Tidak berganti ganti jarum suntik
  5. Memastikan transfusi darah dari orang yang tidak terinfeksi
  6. Dekatkan diri sama Sang Pencipta.

Nomor 1 tidak jaminan karena bisa saja pernah ganti pasangan sebelumnya dan ganti-ganti pasangan dalam bentuk perselingkuhan.

Nomor 2 hubungan seksual yang bagaimana harus pakai kondom? Tidak jelas. Memakai kondom, dalam hal ini laki-laki dewasa, jika hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dilakukan dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tersebut mengidap HIV/AIDS.

Nomor 3 yang dijauhi buka Narkoba karena Narkoba adalah obat (anestesi). Jika tidak pakai Narkoba berapa orang yang mati di meja operasi ketika pembedahan. Yang dijauhi adalah penyalahgunaan yaitu penggunaan tanpa resep dokter.

Nomor 4 terkait dengan penyalahguna Narkoba karena di fasilitas kesehatan jarum suntik dan tabung yang dipakai adalah sekalai pakai langsung buang.

Nomor 5 caranya bukan seperti itu, tapi pakailah darah dari Bank Darah PMI karena di sana darah donor diskrining iMS dan HIV.

Adalah cara-cara yang arif dan bijaksana jika kita menyampaikan informasi, dalam hal ini HIV/AIDS, berpijak pada fakta medis bukan mitos karena kalau mitos akan menyesatkan dan membuat orang dalam posisi berisiko tertular HIV/AIDS. (Sumber: Kompasiana, 18/7-2022).*

 

(41). Informasi tentang Ciri HIV/AIDS yang Menyesatkan Akan Bikin Masyarakat Panik

Ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala jika dikaitkan dengan HIV/AIDS harus ada prakondisi yaitu pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko

“17 Ciri HIV/AIDS yang Jarang Disadari, Salah Satunya Sering Sariawan” Ini judul berita di merdeka.com (31 Maret 2021).

Informasi di judul berita itu menyesatkan dan membuat panik masyarakat karena sariawan merupakan penyakit umum yang pernah dialami banyak orang dengan berbagai penyebat.

Apa pun tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik yang bisa dikaitkan dengan infeksi HIV/AIDS tidak otomatis terkait langsung dengan HIV/AIDS karena tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik dan keluhan kesehatan itu juga bisa disebabkan infeksi atau penyakit lain.

Apakah wartawan dan redaktur merdeka.com tidak memikirkan dampak buruk dari judul berita itu?

Orag-orang yang sariawan akan panik jika pernah membaca berita tersebut. Apalagi HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama akan lebih membuat panik orang-orang yang mengalami sakit sariawan karena takut mendapat stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda)

Masyarakat kian panik dan cemas lagi membaca judul berita itu karena disebut “17 Ciri HIV/AIDS”. Itu artinya ada 17 tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan. Ini tidak main-main karena 17 ciri yang diumbar merdeka.com itu merupakan gejala umum yang bisa saja diderita, bahkan lebih dari satu ciri.

Biarpun tidak ada salah satu atau beberapa tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan yang terkait dengan HIV/AIDS pada seseorang itu tidak jaminan yang bersangkutan bebas HIV/AIDS. Soalnya, tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan yang terkait dengan HIV/AIDS secara statistik baru muncul antara 5 — 15 tahun setelah terinfeksi HIV/AIDS (jika tidak minum obat antiretroviral/ARV sesuai dengan resep dokter)

Apalagi dengan adanya obat antiretroviral (ARV) tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan bisa tidak pernah muncul karena obat ARV menekan laju penggandaan HIV di darah sehingga daya tahan tubuh tertap terjaga.

Maka, tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan yang bisa dikaitkan dengan infeksi HIV/AIDS jika orang-orang yang mengalami tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri fisik serta keluhan kesehatan itu pernah melakukan satu atau beberapa perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.

Itu artinya informasi yang disampaikan merdeka.com tidak akurat karena tidak menyebut 17 ciri itu terkait dengan HIV/AIDS jika pernah melakukan satu atau beberapa perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.

Perilaku-perilaku berisiko tertular HIV/AIDS, antara lain:

(1) Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung (cewek prostitusi online, dll.),

(2) Pernh atau sering memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian pada penyalahagunaan narkoba dengan jarum suntik, dan

(3) Pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV/AIDS.

Jika seseorang mengalami salah satu atau beberapa dari 17 ciri HIV/AIDS yang disebut merdeka.com itu tapi tidak pernah melakukan salah satu atau ketiga perilaku di atas, maka 17 ciri sama sekali tidak terkait dengan HIV/AIDS. Ini fakta medis.

Di lead berita itu disebutkan: HIV, atau human immunodeficiency virus, adalah virus yang ditularkan secara seksual yang menyebar melalui paparan cairan tubuh tertentu … Ini juga ada syaratnya yaitu salah satu atau dua-duanya yang melakukan hubungan seksual itu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini juga fakta medis.

Disebutkan pula: HIV menyerang dan merusak sel kekebalan tubuh …. Ini tidak akurat karena HIV tidak menyerang, tapi menggandakan diri dengan menjadikan sel-sel darah putih sebagai ‘pabrik’ sehingga sel darah putih yang dijadikan pabrik rusak. Virus baru yang terbentuk mencari sel darah putih untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya sehingga banyak sel darah putih yang rusak yang pada akhirnya menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Sudah saatnya media yaitu media massa, media online dan media sosial lebih objektf dalam memberitakan HIV/AIDS agar bisa jadi pencerahan bagi masyarakat untuk melindungi diri sendiri agar tidak tertular HIV/AIDS. Bukan untuk sensasi dan menimbulkan kepanikan serta menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.  (Sumber: Kompasiana, 4/4-2021). *

 

(42). Gejala HIV/AIDS Tidak Otomatis Terkait dengan Infeksi HIV/AIDS

Seseorang dengan gejala-gejala yang dikaitkan dengan HIV/AIDS tidak otomatis orang tersebut terinfeksi HIV/AIDS jika tidak pernah lakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko

“9 Gejala HIV pada Wanita yang Baik Diwaspadai.” Ini judul berita di kompas.com, 28/3-2021.

Judul berita ini kian tidak bermakna ketika dikaitkan dengan leadnya: Gejala awal penyakit HIV mungkin saja terasa ringan dan mudah hilang.

Berita ini sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang HIV/AIDS sebagai fakta medis karena ada dua hal yang tida akurat, yaitu:

Pertama, tidak ada gejala, tanda atau ciri pada fisik dan keluhan kesehatan yang otomatis tekait dengan infeksi HIV/IADS karena gejala, tanda atau ciri pada fisik dan keluhan kesehatan bisa juga karena penyakit atau infeksi lain, dan

Kedua, HIV bukan penyakit tapi virus yaitu Human Immunodeficiency Virus yang jadi penyebab (kodisi) AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome — cacat kekebalan tubuh dapatan).

Berita kompas.com ini menunjukan pemahaman yang sangat rendah terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Adalagi pernyataan yang sangat keliru: Itulah salah satu dari banyak alasan mengapa penting bagi orang-orang untuk dapat mengetahui status HIV mereka. Maksud pernyataan ini karena ‘gejala awal penyakit HIV mungkin saja terasa ringan dan mudah hilang.’

Tapi, pernyataan ‘mengapa penting bagi orang-orang untuk dapat mengetahui status HIV’ sama sekali tidak beralasan kalau dikaitkan dengan ‘gejala awal penyakit HIV mungkin saja terasa ringan dan mudah hilang.’

Soalnya, biar pun tidak ada gejala, tanda atau ciri pada fisik dan keluhan kesehatan tidak jadi jaminan seseorang tidak mengidap HIV/AIDS.

Gejala, tanda atau ciri pada fisik dan keluhan kesehatan yang terkait dengan infeksi HIV/AIDS secara statistik baru muncul antara 5 — 15 tahun setelah tertular HIV.

Jika seseorang yang terdeteksi positif HIV gejala, tanda atau ciri pada fisik dan keluhan kesehatan juga bisa tidak muncul jika meminum obat antiretroviral (ARV) sesuai dengan resep dokter.

Berita ini menggiring opini publik bahwa kalau tidak ada gejala, tanda atau ciri pada fisik dan keluhan kesehatan maka tidak ada infeksi HIV. Ini keliru dan menyesatkan.

Menyebut Sembilan gejala itu pun menyesatkan dan bikini panik perempuan karena sembilan gejala itu sangat mungkin terjadi pada perempuan yang tidak tertular HIV/AIDS.

Ada satu hal yang diabaikan dalam berita ini sehingga menyesatkan yaitu gejala, tanda atau ciri pada fisik dan keluhan kesehatan bisa dikaitkan dengan infeksi HIV/AIDS kalau orang, dalam hal ini perempuan, yang mengalami salah satu atau beberapa gejala, tanda atau ciri pada fisik dan keluhan kesehatan pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Jika seseorang mengalami satu atau beberapa dari sembilan gejala, tanda atau ciri pada fisik dan keluhan kesehatan yang disebutkan dalam berita ini tidak pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, maka sembilan gejala, tanda atau ciri pada fisik dan keluhan kesehatan sama sekali tidak terkait dengan infeksi HIV/AIDS.

Perilaku-perilaku berisiko tertular HIV/AIDS, antara lain:

(1) Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung (cewek prostitusi online, dll.),

(2) Pernah atau sering memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian pada penyalahagunaan narkoba dengan jarum suntik, dan

(3) Pernah menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV/AIDS.

Jika seseorang mengalami salah satu atau beberapa dari “9 Gejala HIV pada Wanita ….”, seperti yang disebut kompas.com, tapi tidak pernah melakukan salah satu atau ketiga perilaku di atas, maka “9 Gejala HIV pada Wanita ….” sama sekali tidak terkait dengan HIV/AIDS. Ini fakta medis.

Sudah saatnya media lebih arif dalam memberitakan HIV/AIDS agar masyarakat tidak bingung dan panik serta tidak menyuburkan mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS. (Sumber: Kompasiana, 6/4-2021). *

Epilog

Ajal Akhiri Persahabatanku dengan Tiga Odha

Tiga Odha perempuan satu di Makassar (Sulsel) dan dua di Karawang (Jabar) Odha yang sering saya wawancarai, tapi satu demi satu mereka berpulang

”Inilah. Semua gara-gara teman Abang.” Itulah salah satu ucapan Nuraini, seorang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) di Makassar, Sulawsi Selatan (Sulse)l, tentang perlakuan masyarakat terhadap dirinya

Semasa hidupnya Nuraini, meninggal tahun 2009, berulang kali pindah kontrakan dengan suaminya karena diusir tetangga

Lho, mengapa

Rupanya, foto pernikahannya dimuat di halaman depan di beberapa media cetak lokal dan nasional (1997). Teks foto pun tidak tanggung-tanggung: ”Pangantin AIDS”. Akibatnya, banyak orang yang mengenali wajuah Nuraini dan suaminya

Ditulari Laki-lak

Yang dimaksud Nuraini sebagai ’teman-teman Abang’ adalah wartawan yang menulis belasan berita tentang penangkapannya ketika dirazia di ’jalan vagina raya’ (julukan untuk Jalan Nusantara di pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, karena di jalan itu banyak tempat hiburan sebagian ada tempat transaksi seks), sampai pernikahannya.

Nuraini termasuk pekerja seks pertama yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Makassar. Ketika dirazia mereka langsung menjalani tes HIV tanpa konseling (bimbingan) dan ditempatkan di sebuah panti sosial di Makassar.

Bahkan, suatu hari ketika dia memakai T-Shirt bertuliskan AIDS orang-orang pun langsung mencibirnya. ”Saya tidak menyebarkan AIDS, justru laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke saya,” kata Nuraini sambil menyeka matanya yang basah

Dia pernah curhat, ”Bang, kalau foto saya tidak dimuat di koran kan saya bisa melacur lagi. Saya tidak minta-minta uang lagi ke Abang.

Syukurlah. Ada lembaga dan dokter yang membantu Nuraini. Bahkan, memberikan garasi untuk tempat tinggal Nuraini dan suaminya karena mereka tidak bisa lagi mendapat kontrakan. Hampir semua tempat kontrakan di Makassar mengenali wajah mereka.

Terakhir kami bertemu di Makassar tahun 2007 pada sebuah lokakarya. Nuraini saya minta menceritakan derita yang dialaminya sebagai ’pengantin AIDS’.

Setelah itu komunikasi terus berlanjut melalui SMS. ”Bang, kirim ka pulsa.” Suatu hari saya menerima SMS dari nomor ponsel Nuraini, tapi kali ini mengabarkan bahwa dia telah tiada. Selamat Jalan, Sahabat.

Ulah wartawan terhadap Odha juga dialami oleh Cece, bukan nama sebenarnya. Gadis ini dipulangkan dari Riau karena terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Ayahnya bingung karena Cece belum sampai ke rumah di Cibuaya, Kab Karawang, Jabar, tapi petugas dari berbagai instansi dan wartawan sudah berkerumum di depan rumahnya bertanya tentang Cece

Lho,koq bisa?

Rupanya, radiogram dari Pemda Riau ke Pemda Jabar ’dibocorkan’ ke wartawan sehingga wartawan pun ramai-ramai ’memburu’ Cece.

Dicaci-maki Tetangga

Akibat pemberitaan media massa yang gencar penduduk di sekitar rumahnya pun mencaci-maki, mencela, dan mencibir Cece dan keluarganya.

Ayahnya tidak lagi mendapat pekerjaan sebagai kuli tani. Telur asin yang dijual ibunya pun tidak pernah lagi dibeli orang.

Mereka kemudian pindah ke satu tempat di Cikarang, Jabar, dan bekerja di lio (tempat pembuatan batu bata). Tapi, nasib keluarga ini juga apes karena pemilik lio mengusir mereka.

Mengapa?

Rupanya, ada yang membisiki pemilik lio tentang status HIV/AIDS yang ’disandang’ Cece.

Cece dan keluarganya berkali-kali pindah tempat. Terakhir mereka bekerja di sebuah lio di Banten, waktu itu masih masuk Jabar.

Lama-lama tetangga di kampung mulai memahami HIV/AIDS berkat Pak RT yang mati-matian membela keluarga Cece. Karena sudah diterima di kampung mereka pun balik ke rumah.

Kondisi Cece terus memburuk. ”Pak, Cece sudah pergi selamanya,” kata ibu Cece sambil berlinang air mata. Cece pergi di tahun 2003.

Foto Cece dan keluarganya jadi kenang-kenangan. ”Jangan dikorankan, Pak,” pinta Cece ketika dipotret di salah satu lio di Cikarang.

”Ini wartawan koq bisa-bisanya menulis berita seperti ini,” kata Cici, bukan nama sebenarnya, seorang Odha di Tempuran, Kab Karawang, Jabar.

Cici juga pekerja seks yang dipulangkan dari Riau karena terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Berita-berita yang dimaksud Cici adalah perihal rumahnya yang dikatakan dibangun dengan, maaf, uang lendir. Berita itu memang sudah melewati batas-batas jurnalistik.

Yang tidak masuk akal adalah pengakuan Cici dia tidak pernah diwawancarai wartawan. ”Baru Bapak wartawan yang menemui saya,” kata ici sambil menghela napas.

Terbang ke Singapura

Perjalanan hidup Cici pun tidak kalah buruknya dengan Nuraini dan Cece. Dia jadi bulan-bulanan berbagai instansi di kampungnya kalau suaminya datang. Dia menikah di sebuah KUA di Jakarta Barat dengan seorang WN Singapura. Cici memegang buku nikah.

Dengan berbagai alasan Cici pun diperas, apalagi mereka tahu suaminya warga negara asing. Terkadang mereka ketemu di Jakarta untuk menghindari perlakuan yang sering dialaminya. Kadang-kadang Cici yang terbang ke Singapura.

”Silakan lihat, Pak,” kata Cici sambil menunjukkan paspornya dengan beberapa cap imigrasi Singapura.

Ketika Cici memeriksakan kehamilannya (usia kehamilan delapan bulan tahun 1996 di puskesmas di dekat rumahnya dokter pun mengatakan bahwa perutnya yang membesar bukan karena hamil, tapi: ”Ini penyakit.” (Lihat: Sudah Terinfeksi HIV Disakiti Pula* ).

Ternyata di puskesmas itu ada catatan bahwa Cici seorang pengidap HIV/AIDS.

”Bayi ini ada bapaknya. Kami menikah.” Itulah yang selalu dikatakan Cici, tapi tetap saja puskesmas tidak bersahabat.

Ketika hendak melahirkan Cici dibawa pihak puskesmas ke RSCM Jakarta karena ’statusnya’ tadi. Setelah diperiksa di RSCM Cici dibawa ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta. Selama menunggu persalinan, Cici tinggal di sanggar YPI dan ditangani dokter-dokter yang memang pakar HIV/AIDS, seperti dr. Zubairi Djoerban, DSPD, dan dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Persalinan Cici sendiri ditangani dr. Siti Dhyanti Wishnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi di FK UI/RSCM.

Tahun 2000 ada kabar dari YPI bahwa Cici sudah berpulang. Pemakamannya pun dikerjakan oleh relawan-relawan yang dibina YPI di Karawang karena sebagian penduduk menjauhinya.

Cici meninggalkan seorang putri yang lahir tepat pada pembukaan Olympiade di Atlanta, AS. Syukurlah putrinya itu tidak tertular HIV. Kini putrinya diasuh neneknya.*

*****

Tinggalkan Balasan