Publikasi identitas warga yang tertular Covid-19 (positif Covid-19) mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap mereka karena alasan-alasan yang justru tidak rasional.
Wabah virus corona, Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) menyebut dengan Covid-19, yang bermula dari Wuhan, China, kini menyebar ke 108 negara. Sebanyak 113.702 orang telah terkena virus ini dan menyebabkan 4.012 kematian. Pada awal pendeteksian Covid-19 di Indonesia identitas dan alamat dua warga tersebar luas. Akibatnya, terjadi stigmatisasi (pencirian negatif pada seseorang) dan diskriminasi (pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara) terhadap dua warga yang dirawat di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara.
Jubir Virus Corona Pemerintah, Achmad Yurianto, mengatakan bahwa dua warga yang terdeteksi pertama positif Covid-19 secara medis sudah membaik, tapi mereka menghadapi masalah psikologis. Ini terjadi karena identitas mereka dipublikasikan sebagian media. Bahkan, rumah mereka pun jadi tontonan masyarakat melalui layar televisi.
- Fenomena yang dorong stigmatisasi dan diskriminasi
Memang, tidak jelas apa alasan masyarakat melakukan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap warga yang tertular Covid-19 karena setiap orang bisa berisiko tertular Covid-19. Tapi, bisa jadi karena cerita awal yang mengaitkan kegiatan Pasien Kode 02 dengan penularan Covid-19 yaitu sehabis dansa dengan WN Jepang.
Sangat disayangkan mengapa informasi tentang kegiatan Pasien Kode 02 disebarluaskan karena sama sekali tidak ada kaitan dansa dengan penularan Covid-19. Jutaan orang berdansa, tapi tidak tertular Covid-19. Lagi pula, seperti sering disampaikan Yurianto bahwa close contact sekalipun dengan yang tertular Covid-19 tidak otomatis tertular Covid-19. Tanpa dansa pun bisa tertular Covid-19 melalui berbagai kegiatan sosial jika virus yang diterbangkan yang tertular Covid-19 melalui batuk dan bersin terhirup orang lain. Atau virus menempel di benda kemudian dipegang dan tangan tidak dicuci akan jadi media penularan jika tangan memegang makanan dan makanan dimakan.
Tampaknya, fenomena Covid-19 mirip dengan HIV/AIDS yaitu selalu dikait-kaitkan dengan moral dan agama. HIV/AIDS juga karena kasus pertama terdeteksi pada kalangan laki-laki gay dan selanjutnya pada pekerja seks komersial (PSK) langsung dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, informasi seputar HIV/AIDS sering dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga mengaburkan fakta medis dan memunculkan mitos (anggapan yang salah).
Baca juga: Fenomena AIDS Persis Serupa dengan Corona
Stigmatisasi dan diskriminasi yang dialami oleh Odha (Orang dengan HIV/AIDS) juga terjadi karena identitas dan alamat mereka dipublikasikan. Bahkan, foto pernikahan seorang perempuan Odha di Makassar dimuat di halaman depan beberapa media cetak di tahun 1990-an. Akibatnya, perempuan ini jadi bulan-bulanan masyarakat dengan mengusirnya dari kontrakan. Itu berulang sampai beberapa kali sampai akhirnya perempuan itu meninggal baru pengusiran berhenti.
- Publikasi rahasia pribadi tanpa izin dipidana 2 tahun penjara
Jika dikaitkan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik No 14 Tahun 2008 di Pasal 17 ayat h angka 2 disebutkan: Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang. Sanksi bagi yang melawan hukum sesuai dengan pasal ini adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Sedangkan dari aspek kedokteran semua informasi tentang pasien merupakan medical record atau catatan medis yang jadi rahasia jabatan dokter. Catatan pasien yang dikenal sebagai status sebenarnya atau catatan medis pasien adalah rahasia. Yang bisa membaca catatan medis hanya dokter dan pasien, tapi di Indonesia salah kaprah. Bagian administrasi dan perawat pun dengan mudah membaca catatan medis.
Baca juga: Virus Corona Terdeteksi Muncul Perilaku Irasional
Penanggulangan Covid-19 bisa jadi akan sama dengan HIV/AIDS karena dibenturkan dengan norma, moral dan agama yang menghasilkan stigma dan diskriminasi serta mitos. Ini akan memperburuk penanganan Covid-19 dan HIV/AIDS. Estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia 640.000, baru separuh yang terdeteksi. Sedangkan kasus Covid-19 yang terkonfirmasi sampai 11 Maret 2020 sebanyak 27.
Sudah saatnya pemerintah meningkatkan literasi masyarakat tentang rahasia pribadi yang tidak termasuk informasi publik. Rahasia pribadi hanya bisa dipublikasikan dengan izin ybs. dan atas perintah hakim melalui sidang pengadilan. [tagar.id, 11 Maret 2020]. *
2 komentar