Mengapa Kasus HIV/AIDS di Jawa Barat Paling Banyak di Bekasi dan Bandung?

Kasus yang terdeteksi kemudian dicatat di Bekasi dan Bandung bisa jadi ada kasus dari daerah lain

Humaniora42 Dilihat

“Kasus HIV di Jabar Meningkat, Paling Banyak di Bandung dan Bekasi” Ini judul berita di news.republika.co.id (24/9-2023).

Ada beberapa hal yang tidak terjawab dari judul berita ini, antara lain:

(a) Kasus HIV yang dimaksud sejatinya bukan merupakan jumlah warga Jawa Barat (Jabar) yang terinfeksi HIV, tapi warga Jabar dan warga luar Jabar yang menjalani tes HIV di Jabar,

(b) Maka, jumlah kasus yang disebut Dinas Kesehatan Jabar yang tercatat di 27 kabupaten dan Kota di Jabar sebanyak 6.379 pada periode Januari – Agustus 2023 adalah kasus yang ditemukan berdasarkan hasil tes HIV-positif,

(c) Sedangkan jumlah warga Jabar, terutama kalangan remaja dan dewasa, yang mengidap HIV/AIDS jelas tidak bisa diketahui jumlahnya karena tidak dilakukan tes HIV sesuai dengan standar prosedur tes HIV yang baku terhadap semua warga, dan

(d) Jumlah kasus yang dilaporkan yaitu yang diperoleh berdasarkan hasil tes HIV (6.379) hanyalah sebagian kecil dari warga Jabar yang mengidap HIV/AIDS karena perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat matriks).

Matriks: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Yang bikin celaka warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV/AIDS terjadi secara diam-diam bak ‘silent disaster’ (bencana tersembunyi) karena warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS, antara lain karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART).

Maka, yang perlu dilakukan Pemprov Jabar, dalam hal ini Dinkes Jabar, adalah merancang regulasi untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat dengan ketentuan regulasi itu tidak melawan hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).

Disebutkan oleh Ketua Tim Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Jabar, Yudi Koharudin: “Kota Bekasi dan Kota Bandung paling tinggi kasusnya. Kemudian ada Kabupaten Bekasi juga, Kabupaten Bogor, dan Indramayu juga tinggi.”

Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Yudi: Mengapa dan bagaimana bisa terjadi kasus HIV/AIDS terbanyak di Kota Bekasi dan Bandung, serta Kabupaten Bekasi, Bogor, dan Indramayu?

Sayang sekali dalam berita tidak penjelasan yang bersifat empiris.

Pertanyaan lagi: Apakah semua kasus di kota dan kabupaten itu merupakan warga kota dan kabupaten tersebut?

Jawaban dari dua pertanyaan ini akan memberikan gambaran yang riil tentang jumlah kasus yang terdeteksi di kota dan kabupaten tersebut.

Bisa jadi ada kasus yang terdeteksi melalui tes HIV di kota dan kabupaten itu merupakan warga dari luar kota dan kabuten tersebut. Hal ini terjadi karena sarana tes HIV yang menerapkan standar prosedur tes HIV yang baku tidak merata di Jabar sehingga mereka mencari tempat yang ‘aman.’

Misalnya, soal jaminan identitas. Sering terjadi identitas warga yang HIV-positif bocor ke publik, antara lain melalui media yang membuat mereka mengalami stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) di masyarakat. Bahkan, justru stigma dan diskriminasi sering dialami pengidap HIV/AIDS di sarana kesehatan.

Di wilayah Tangerang Raya, Banten, misalnya, perempuan yang terdeteksi HIV-positif akan ‘dipaksa’ melakukan sterilisasi. Ini perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.

Ada baiknya kasus yang HIV/AIDS yang tercatat di Bekasi dan Bandung yang bukan warga Bekasi dan Bandung datanya disampaikan kepada pemerintah kabupaten atau kota asal warga tersebut.

Ini akan memberikan gambaran riil penyebaran kasus HIV/AIDS karena daerah yang tidak mempunyai fasilitas tes HIV akan mempunyai data jumlah kasus HIV/AIDS. Sebaliknya, jumlah kasus di Bekasi dan Bandung murni data warganya.

Di bagian lain Yudi mengatakan: …. penanganan dan menekankan angka HIV Pemprov Jabar lakukan tindakan yang langsung menyentuh Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan memberikan obat Arv ….

Odha (penulisannya bukan dengan huruf kapital karena bukan akronimi tetap kata yang mengadu ke Orang dengan HIV/AIDS – Lihat: Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Penerbit Sinar Harapan/Ford Foundation, 2000, hal ….) adalah warga yang sudah tertular HIV. Maka, penanganan Odha tidak menekan angka (jumlah) kasus HIV.

Menekan, dalam hal ini hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru, tertuama pada laki-laki dewasa adalah dengan melakukan intervensi agar laki-laki selalu memakai kondom pada hubungan seksual berisik yaitu dengan pekerja seks komersial (PSK). Tapi, hal ini hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir.

Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Sedangkan kondisi sekarang pelacuran sudah pindah dari lokalisasi dan jalanan ke media sosial dengan transaksi melalui ponsel yang terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.

Itu artinya tidak bisa dilakukan intervensi sehingga kasus HIV baru akan terus terjadi. Laki-laki yang (baru) tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat tanpa mereka sadari.

Penyebaran yang terjadi tanpa disadar itu seperti ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 4/0-2023). *

Tinggalkan Balasan