Liburan di masa pandemi ke destinasi wisata diskrining virus corona melalui tes, hasil tes bukan vaksin sehingga ada risiko tertular virus corona (Covid-19).
Pekan ini siaran televisi, berita di media massa dan media online ramai menunjukkan kegiatan skrining (rapid test atau swab test) virus corona bagi warga yang keluar kota, masuk ke destinasi wisata, mau menginap di hotel, mau masuk mal, mau makan di restoran dan lain-lain. Yang perlu diingat adalah hasil tes non-reaktif dan negatif bukan vaksin sehingga tetap ada risiko penularan virus corona.
Di masa libur panjang dan cuti bersama mendorong banyak orang untuk bepergian, padahal sekarang pandemi virus corona. Salah satu persyaratan yang diterapkan sarana angkutan umum (darat, laut dan udara), hotel, mal, dan objek wisata adalah rapid test atau swab test (tes swab atau tes usap). Ada kesan hasil non-reaktif rapid test dan negatif swab test semuanya sudah beres.
Kesan itu menyesatkan dan bisa jadi bumerang (mencelakai diri sendiri) karena hasil tes non-reaktif (rapid test) dan negatif (swab test dengan metode PCR/polymerase chain reaction) tidak jaminan yang bersangkutan akan kebal terhadap virus corona karena tes bukan vaksin.
Penumpang pesawat Garuda, misalnya, dengan hasil non-reaktif rapid test di Bandara Soekarno-Hatta ketika jalani swab test di Bandara Minangkabau International Airport (MIA), Padang, Sumatera Barat, hasilnya positif Covid-19 (Juni 2020).
Hasil rapid test dan swab test hanya berlaku sampai pengambilan sampel darah (rapid test) serta sampel dahak, lendir, atau cairan dari nasofaring (ada di antara hidung dan tenggorokan), dan orofaring (ada di antara mulut dan tenggorokan) untuk tes usap (swab test).
- Masa Inkubasi Virus Corona Dilalui dengan Isolasi
Soalnya, setelah pengambilan sampel darah dan cairan bisa saja terjadi penularan virus corona jika terjadi kontak dekat dengan kondisi tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak fisik. Kondisinya kian runyam karena banyak orang yang tertular virus corona tapi tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda yang terkait langsung dengan infeksi virus corona.
Tidak ada pula ciri-ciri khas orang-orang yang tertular virus corona selama masa inkubasi. Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) menyebutkan masa inkubasi antara 1 – 14 hari setelah tertular. Rata-rata antara 4-5 hari setelah tertular baru ada gejala terkait infeksi virus corona.
Itulah sebabnya beberapa negara menerapkan isolasi selama 14 hari bagi pendatang dan warganya yang kembali dari luar negeri, seperti di China, Jerman, dan Singapura. Pengalaman Singapura menunjukkan banyak ditemukan kasus impor yaitu positif virus corona pada pendatang yang menjalani isolasi 14 hari setelah mendarat di Singapura.
Data terkait dengan pandemi virus corona di Indonesia menunjukkan setelah musim liburan terjadi lonjakan kasus harian yang terdeteksi. Ini konsekuensi logis dari perilaku berisiko tertular virus corona yaitu tidak menerapkan protokol kesehatan secara konsekuen dan konsisten pada berbagai kegiatan yang memungkinkan kontak dekat berhadapan dan kerumunan.
Risiko tertular virus corona dengan hasil non-reaktif rapid test (Tagar/Syaiful W. Harahap).
Pada Matriks I bisa dilihat risiko tertular virus corona dengan hasil rapid test non-reaktif. Karena hasil tes non-reaktif bukan vaksin, maka ada risiko tertular melalui beberapa perilaku yang berisiko. Maka, amatlah gegabah warga yang menerima hasil non-reaktif kemudian mengabaikan protokol kesehatan.
- Kegiatan Prostitusi Juga Berisiko Tertular Virus Corona
Razia yang dilakukan oleh Satpol PP, polisi dan militer untuk menegakkan protokol kesehatan sangat terbatas jangkauan dan waktunya sehingga pengabaian akan tetap terjadi, terutama pada tempat-tempat dan waktu yang lolos dari jangkauan razia.
Risiko tertular virus corona dengan hasil tes negatif swab test (Tagar/Syaiful W. Harahap).
Begitu juga pada Matriks II dengan hasil swab test negatif juga tidak jaminan yang bersangkutan kebal terhadap risiko tertular virus corona. Hasil swab test yang negatif juga bukan vaksin sehingga tetap ada risiko tertular atau menularkan virus corona melalui berbagai kegiatan yang berisiko.
Jika melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat (AS), Prancis, Spanyol, Inggris, Italia dan Jerman yang kewalahan menghadapi pandemi dengan kasus di atas 500.000 – 8.000.000 lebih tentulah berawal dari perilaku warganya. Di saat pandemi pantai-pantai dipadati warga tanpa menerapkan protokol kesehatan.
Jika hal yang sama terjadi di Indonesia, di pantai, mal, dan destinasi wisata di libur panjang pekan akhir di bulan Oktober 2020, maka ledakan dan lonjakan jumlah kasus baru virus corona tidak bisa dihindarkan. Laporan terakhir, 30 Oktober 2020, jumlah kasus positif corona di Indonesia mencapai 404.048 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-19 dunia dari 216 negara dan teritori serta 2 kapal pesiar mewah (worldometers).
Kegiatan lain yang juga merupakan perilaku berisiko tertular virus corona adalah aktivitas seksual pada kegiatan prostitusi dengan berbagai modus. Yaitu dengan pekerja seks (PSK) langsung yang kasat mata di tempat pelacuran atau melalui prostitusi online dengan cewek-cewek PSK tidak langsung, seperti pemijat plus-plus, anak sekolah, mahasiswi, cewek pub, cewek diskotik, dan lain-lain. Risiko penular virus corona bisa terjadi karena ada kontak dekat dengan tatap muka yang dekat. Risiko kian tinggi jika tidak memakai masker (tagar.id, 30 Oktober 2021). *