Gempa Lombok Guncang Pariwisata Indonesia. Inilah judul berita di “VOA Indonesia” (10/8-2018).
Ada beberapa tujuan wisata yang juga rentan diguncang gempa (besar), seperti Jepang dan Hawaii di Amerika Serikat, tapi gempa tidak berdampak buruk terhadap pariwisata. Bagi sebagian wisatawan gempa merupakan bagian dari petualangan mereka ketika jadi wisatawan.
Tentu saja hal itu terjadi karena manajemen gempa yang tertata rapi sehingga bisa menghindarkan korban nyawa. Nah, seperti yang diceritakan seorang wisatawan mancanegara (Wisman) yang berwisata ke salah satu pulau di gugusan gili di utara Pulau Lombok ketika gempa Lombok terjadi tidak ada tanda, peringatan dan informasi resmi (Baca juga: Nasib Warga dan Wisatawan di Pulau-pulau Kecil Ketika Tsunami).
Sebagai daerah tujuan wisata (DTW), Bali, Yogyakarta dan Lombok, perekonomian daerah itu tergantung kepada Wisman. Pada musim-musim tertentu Wisman membanjiri DTW tsb. yang sudah barang tentu meningkatkan perekonomian melalui berbagai kegiatan, seperti menginap, makan, dan berkunjung ke objek-objek wisata serta membeli cenderamata.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya, pada tahun 2017 kedatangan 3.508.903 wisatawan, 2.078.654 di antaranya wisatawan nusantara (wisnus) dan 1.430.249 wisman(republika.co.id, 29/12-2017).
Yang jadi pertanyaan terkait dengan gempa Lombok, apakah semua Wisman di pulau-pulau gili memang meminta dievakuasi? Soalnya, peringatan tsunami beberapa jam setelah gempa sudah dicabut BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) sehingga tidak ada lagi alasan untuk hengkang dari pulau-pulau itu.
Yang jadi pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah Wisman dan warga yang meminta evakuasi sudah menerima informasi yang akurat tentang potensi tsunami pasca gempa? Atau apakah warga dan Wisman dievakuasi ‘paksa’?
Baca juga: Quo Vadis (Penanganan) Pariwisata Indonesia
Mengevakuasi Wisman dari pulau-pulau gili ketika peringatan tsunami sudah dicabut tentulah berdampak buruk. Yang jadi masalah ketika tsunami benar-benar terjadi apakah Wisman bisa dievakuasi dari pulau-pulau gili itu?
Evakuasi bukan jawaban sebagai penyelamatan karena ketika evakuasi tidak terjadi tsunami. Yang jadi persoalan besar dan ini jadi publikasi buruk bagi dunia pariwisata nasional adalah: mengapa tidak ada peringatan dini dan informasi resmi ketika terjadi gempa?
Pengalaman Wisman yang hanya berlari mengikuti warga di pulau-pulau gili tanpa ada petugas dan informasi resmi jadi publikasi negatif terhadap pariwisata nasional, khususnya Lombok. Bayangkan, di tengah suasana mencekam di malam gelap gulita Wisman hanya mendengar teriakan warga yang mengatakan ‘tsunami akan datang’. Ini benar-benar mencekam.
Ketika peringatan tsunami sudah dicabut BMKG, mengapa Dinas Pariwisata NTB tidak menawarkan opsi kepada Wisman: tetap tinggal di pulau-pulau gili dengan pengamanan maksimum, dievakuasi ke Pulau Lombok, yang dievakuasi apakah mau tinggal di Lombok, dan apakah ada Wisman yang mau jadi relawan (volunteer) untuk membantu korban gempa.
Tentu saja tawaran itu berdampak buruk terhadap keuangan daerah karena harus membiayai Wisman yang memilih tinggal dan jadi relawan, tapi bernilai positif bagi pariwisata Lombok.
Sayang, Pemprov NTB lebih memilih jalan pintas melepas beban dengan memulangkan Wisman daripada menawarkan opsi sebagai publikasi positif pariwisata (Kompasiana, 11 Agustus 2018). *
Komentar:
Fantasi (11 Agustus 2018) Konon 75% pemukiman di Lombok Utara sudah hancur atau rusak, kabar hari ini sudah 387 orang meninggal dunia. Dan gempa masih terus berlanjut. Memulangkan wisman mungkin adalah keputusan yang tepat.
Syaiful W. HARAHAP (12 Agustus 2018) @Fantasi, terima kasih … berikan opsi atau pilihan: mau tetap tinggal atau jadi relawan …. siapa tahu ada di atara mrk yg pernah atau sering jadi relawan menangani bencana …. ini kan bisa jadi promosi yg positif ….