Pandemi atau wabah virus corona baru (Coronavirus Disease 2019/Covid-19) belum menunjukkan tanda-tanda akan melemah karena kasus baru terus terdeteksi di 211 negara di dunia. Korea Selatan (Korsel) yang sejak pertengahan April 2020 sampai akhir Mei 2020 hanya mendeteksi kasus harian 1 dan 2 digit, bahkan sering 0, tapi sejak akhir Juni 2020 kasus baru mulai terdeteksi.
Semula Korsel mulai membuka kegiatan publik, seperti sekolah, tapi ketika kasus baru kembali terdeteksi sekolah ditutup lagi. Jumlah kasus Covid-19 di Korsel dilaporkan sampai tanggal 5 Juli 2020 sebanyak 13.030 di peringkat ke-63 dunia (worldometer).
Laporan Harian Covid-19 di Korsel (Sumber: worldometer)
Di Korsel sendiri sebenarnya tidak pernah terjadi puncak pandemi karena kasus harian terbanyak hanya 851 pada tanggal 3 Maret 20202 dan hari-hari berikutnya kasus baru turun dan landai terkadang 0. Padahal, Korsel menjalankan tes swab massal yang masif secara sistematis melalui 633 outlet di seluruh negeri
Bahkan, tes swab dijalankan Korsel sebelum ada kasus terdeteksi yaitu tanggal 2 Januari 2020. Ini hanya dua hari setelah ada laporan ke Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) tentang virus pneumonia baru di Wuhan, China, 31 Desember 2020.
- ‘Vaksin Sosial’ Tes Masif yang Sistematis serta Penerapan Protokol Kesehatan
Langkah Korsel itu masuk akal karena Negeri Ginseng itu jadi tujuan utama warga China untuk berlibur. Di awal Januari 2020 disebutkan puluhan ribu warga Wuhan melancong ke Korsel untuk merayakan tahun baru. Diperkirakan sebagian besar dari pelancong itu tertular virus corona tanpa gejala.
Perkiraan kalangan ahli itu terbukti ketika seorang perempuan, 61 tahun, pelancong asal Wuhan terdeteksi tertular virus corona di Bangkok, Thailand, 13 Januari 2020. Ini kasus pertama virus corona di luar China.
Biar pun puluhan ribu pelancong Wuhan, sebagian besar diperkirakan dengan virus corona, pemerintah Korsel juga sudah siap siaga yaitu menerapkan protokol kesehatan dengan ketat dan rakyat Korsel dengan sukarela menjalankan protokol kesehatan, yaitu selalu memakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak.
Maka, ketika puluhan ribu warga Wuhan merayakan tahun baru di beberapa kota besar di Korsel yang berhubungan langsung dengan pelancong itu hanya orang-orang yang terkait langsung, seperti karyawan hotel, restoran, transportasi, imigrasi, dll. Sedangkan jutaan warga Korsel memilih tetap di rumah.
Kasus pertama di Korsel terdeteksi justru bukan pada orang-orang yang kontak dengan pelancong dari Wuhan, tapi pada seorang jemaat sebuah rumah ibadat. Tes Covid-19 terhadap jemaat rumah ibadat itu kemudian menghasilkan 200 jemaat yang positif Covid-19.
Dengan kondisi pandemi yang landai, Korsel tetap memilih menutup sekolah setelah muncul kasus-kasus baru. Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pandemi belum mencapai puncak karena tes yang sangat kecil tapi kegiatan publik sudah dibuka. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hanya dijalankan di atas kertas karena kegiatan masyarakat berjalan seperti biasa bahkan sebagian besar mengabaikan protokol kesehatan.
Pada epidemi atau pandemi yang bisa diandalkan adalah vaksin untuk menghentikan penyebaran virus. Tapi, karena vaksin corona tidak ada tentulah diperlukan langkah-langkah yang revolusioner dengan skala nasional untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Bisa disebut sebagai ‘vaksin sosial’ yaitu tes masif yang massal secara sistematis serta penerapan protokol kesehatan.
Langkah itu berhasil di jalankan di China, Korsel, Thailand dan Vietnam. Bahkan, di Vietnam tidak ada kasus kematian karena Covid-19. China dan Thailand melakukan lockdown atau penguncian di beberapa provinsi dan menghentikan penerbangan serta menutup tempat-tempat wisata. Korsel tidak melakukan lockdown tapi mengunci tempat-tempat yang banyak terdeteksi Covid-19, seperti apartemen.
2. Pemerintah Setengah Hati Jalankan Program Penanganan Pandemi Covid-19
Vietnam memilih berperang melawan Covid-19 dengan mengabaikan ekonomi. Perbatasan ditutup. Penerbangan dihentikan. Tes dijalankan. Tracing dilakukan sampai buntu. Ini bertolak belakang dengan banyak negara yang memilih pemulihan ekonomi di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang bermuara pada ‘neraka’ pandemi dengan laporan harian kasus yang banyak dan membawa negara-negara itu ke ‘papan atas’ pandemi global.
Ketika pandemi Covid-19 bergejolak di negara-negara ASEAN, Indonesia masih berpangku tangan dan diramaikan dengan debat berkepanjangan, terutama di TV, yang tidak berkesudahan. Pemerintah pun, melalui Menkes, menantang pihak-pihak yang tidak percaya bahwa kasus Covid-19 belum ada di Indonesia sebelum tanggal 2 Maret 2020.
Beberapa pejabat tinggi justru mengeluarkan komentar nyeleneh yang menganggap remeh pandemi corona: dengan doa corona terbang dari Indonesia, nasi kucing tangkal corona, corona sulit masuk karena izin berbelit-belit, …. dst.
Padahal, ketika Singapura, Thailand dan Malaysia, dua negara terakhir jadi tujuan wisata dunia yang mengalahkan ‘Wonderful Indonesia’, menjalankan program penanganan pandemi, seperti lockdown, Indonesia justru memberikan diskon 50% tarif penerbangan ke 10 destinasi wisata. Maka, masuk akal kalau kemudian kematian pertama karena Covid-19 terjadi di Bali.
Wisatawan mancanegara (Wisman) yang tertahan di Bangkok dan Kuala Lumpur terbang ke Bali. Padahal, banyak dari Wisman itu dari China dan sudah terjadi kontak antar warga dari berbagai negara sebelum terbang ke Bali.
Laporan Harian Kasus Covid-19 di Indonesia (Sumber: worldometer)
Sejak kasus pertama diumumkan pemerintah, 2 Maret 2020, pemerintah setengah hati menjalankan program penanganan pandemi. Tidak menjalankan lockdown karena memilih PSBB, tapi dengan pelonggaran di sana-sini. Tes yang jadi andalan negara-negara yang berhasil kendalikan Covid-19 justru diabaikan di Indonesia.
Sampai tanggal 4 Juli 2020 jumlah warga yang jalani tes Covid-19 sebanyak 529.669 dengan angka 1.940 per 1 juta populasi. Ini perbandingan tes per 1 juta populasi di ASEAN: Singapura 129.515, Brunei 68.207, Malaysia 24.648, Thailand 8.648, Filipina 7.286, Vietnam 2.825, Laos 2.349, Kamboja 2.293, Indonesia 1.940 dan Myanmar 1.507.
Dengan kondisi pandemi yang belum berujung, beberapa daerah di Nusantara sudah menjalankan new normal sebagai dalih untuk menutupi pengabaian terhadap pandemi Covid-19. Jawa Barat akan segera membuka pesantren yang disebut-sebut akan jalankan protokol kesehatan, tapi dengan kondisi pandemi yang tidak terdeteksi ibarat ‘api dalam sekam’.
Tanpa tes Covid-19 massal yang masif secara sistematis dan tracing yang tidak berujung, penyebaran virus corona di Indonesia akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘neraka corona’ (Kompasiana, 5 Juli 2020). *