Ketika seseorang memberitahu bahwa dirinya kena santet, maka komentar yang muncul adalah menyalahkan korban. Mengejek. Menghina. Mencaci. Dst ….
Tapi, ketika ada yang membuka status penyakitnya, seperti virus hepatitis B, jantung, ginjal, dll. sama sekali tidak ada pernyataan yang menyalahkan. Padahal, banyak penyakit yang justru terjadi karena perilaku. Sementara santet tidak semua tidak terkait langsung dengan perilaku.
Sebut saja virus hepatitis B. Penularan virus ini persis sama dengan HIV/AIDS. Artinya, seseorang yang mengidap virus hepatitis B kemungkinan tertular bisa dari hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Tapi, orang tidak pernah mengait-ngaitkan pengidap virus hepatitis B dengan perilaku amoral. Begitu juga dengan penyakit jantung dan ginjal yang juga terkait dengan perilaku, tapi tidak pernah disalahkan.
”Makanya, jangan suka mengganggu orang.”
”Jangan tidur di ranjang.”
”Jangan tidur sebelum tengah malam.”
”Jalankan perintah agama.”
Dst ….
Itulah yang sering saya terima jika saya membuka status saya sebagai korban santet.
Maksud hati meminta dukungan, doa dan bantuan, tapi yang diterima justru cercaan. Badan sakit karena ada benda-benda kiriman, hati pun perih karena diejek.
Bahkan, saudara dan teman yang pernah saya bantu berobat karena korban santet justru berbalik mencaci dan mengejek saya.
Baca juga: Seri Santet #2 – Orang-orang yang Tak Tau Diuntung
Saya tidak tahu kalau saya mau disantet sehingga saya tidur di ranjang dan tidur sebelum tengah malam. Lagi pula kalau ditarik analogi tentulah semua orang yang tidur di ranjang dan yang tidur sebelum tengah malam sudah menjadi korban santet.
Faktanya: tidak!
Soalnya, yang kena santet adalah seseorang yang dijadikan sasaran santet dengan berbagai alasan. Misalnya, dendam, benci, untuk mencelakai, dll.
Kalau seseorang kena santet karena tidak taat menjalankan perintah agamanya, tentulah semua orang yang tidak taat juga sudah kena santet.
Faktanya: tidak!
Kalau dikatakan karena mengganggu seseorang, yang saya alami justru sebaliknya. Saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan yang membayar dukun untuk menyantet saya. Saya tidak pernah meminjam uang. Saya tidak mengganggu istri dan anaknya.
Korban santet karena dendam, kebencian, dll. berbeda dengan korban santet yang dijadikan tumbal atau wadal bagi orang yang memelihara pesugihan.
Sasaran santet sebagai tumbal harus sesuai dengan kriteria yang disepakati oleh yang memelihara pesugihan dan makhluk halus yang akan menjadi ’pemburu’ harta.
Misalnya, seperti yang saya alami. Salah satu tumbal yang mereka cari adalah perempuan anak tunggal (bisa juga satu-satunya perempuan dalam satu keluarga).
Untuk mendapatkan tumbal biasanya yang akan dijadikan tumbal digemuk-gemukkan dulu. Diberikan uang, makanan, pakaian, dll. Beriringan dengan kondisi itu calon tumbal pun disantet agar sakit.
”Bapak beruntung.” Inilah yang sering dikatakan Bu Haji di Banten karena saya tidak pernah menerima pemberian dari kerabat yang memelihara pesugihan tsb.
Bahkan, makan di rumah mereka pun bisa dihitung jari. Setiap kali saya mau makan, saya melihat semua makanan yang tersaji tidak menarik sehingga saya makan di luar.
Itu juga yang menguntungkan karena, seperti dikatakan Bu Haji, kalau sering makan di rumah mereka maka akan sulit mengeluarkan benda-benda yang dikirim atau masuk melalui minuman dan makanan.
Seseorang yang dijadikan sasaran santet tidak semudah yang dibayangkan karena banyak hal yang harus disiapkan oleh orang yang membayar dukun untuk menyantet.
Misalnya, menyiapkan benda-benda yang pernah melekat di tubuh sasaran, bagian-bagian badan sasaran, dan nama ibu kandung sasaran sebelum menikah untuk laki-laki dan nama ayah kandung sebelum menikah untuk korban perempuan.
Setelah semua persyaratan lengkap, maka dukun santet pun meminta orang membayarnya untuk bersumpah bahwa akibat yang akan timbul menjadi tanggung jawab yang membayar.
Cara-cara yang mereka tempuh untuk mencelakai orang yang sudah dijadikan tumbal bermacam-macam. Mulai dari sakit-sakitan dan kecelakaan.
Dalam perjalanan dari Padang, Sumbar ke Padangsidimpuan, Sumut, beberapa tahun yang lalu, mobil travel yang saya tumpangi dengan dua anak saya ditabrak sedan secara frontal dari samping kiri persis di dekat saya duduk.
Begitu pula ketika saya sendiri pulang kampung. Saya duduk di bangku paling belakan di sebelah kiri. Di sebuah persimpangan di Bukittinggi tiba-tiba angkot menabrak bus persis di pintu belakang. Saya luka-luka karena pecahan kaca.
Untuk itulah jika ada teman, saudara, kerabat, dll. yang kena santet, maka selain mendukung koban kita juga berdoa agar orang yang membayar dukun untuk menyantet berhenti mengirimkan santet.
Tapi, pengalaman saya dari sepuluh orang yang saya beritahu kalau saya korban santet hanya dua yang empati, selebihnya menyalahkan atau mengejek. Namun, sebagian dari mereka ternyata pemuja setan melalui dukun untuk berbagai keperluan: mempertahankan kedudukan, merebut hati perempuan, menipu, dan seterusnya …. (Kompasiana, 20 Desember 2013). *
Ha Deje (20 Desember 2013) mungkin bapak orang baik, jadi banyak orang jahat yg nggak suka
Syaiful W. HARAHAP (21 Desember 2013) @Heradj, terima kasih. Memang, untuk dijadikan korban sbg tumbal pada santet untuk pesugihan justru biasanya dipilih orang2 yg perilakunya baik …..