Surat Keterangan Sehat Santri Jawa Barat Bukan Vaksin

Edukasi80 Dilihat

Pemprov Jawa Barat (Jabar) akan membuka pesantren, ada dana untuk tes tapi disebut-sebut bahwa santri berbekal surat keterangan sehat dari daerahnya.

“Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul, menambahkan RDT untuk para santri di pesantren belum dilaksanakan dengan alasan para santri yang datang dari berbagai wilayah sudah membawa surat keterangan sehat dari kota asalnya.” Ini ada dalam berita “Jabar Tunggu Anggaran Corona Ponpes Rp 2,6 Triliun”, Tagar, 15 Juli 2020.

Ada hal yang tidak dipahami secara utuh terkait dengan tes Covid-19 baik rapid test, tes swab spesimen dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dan RDT (rapid diagnostic test) yaitu hasil tiga jenis tes ini bukan vaksin dan hanya berlaku saat contoh darah atau spesimen diambil. Hasil tes swab dengan PCR sekalipun hanya berlaku sampai saat ketika diusap lubang hidung dan tenggorokan untuk mengambil spesimen.

Setelah pengambilan contoh darah (rapid test dan RDT) serta spesimen tetap ada risiko tertular Covid-19 karena tes tersebut bukan vaksin. Apalagi di masa pandemi Covid-19 di Indonesia yang belum mencapai puncak dengan tes yang sangat terbatas serta tracing yang tidak tuntas maka risiko tertular Covid-19 sangat tinggi.

Disebutkan oleh Wagub Jabar, Uu Ruzhanul, santri membawa surat keterangan sehat dari kota asalnya. Nah, ini juga tidak bisa dijadikan patokan karena ‘surat keterangan sehat’ bukan vaksin Covid-19. Biar pun santri lakukan salah satu dari tiga jenis tes Covid-19, rapid test, tes swat atau RDT dengan hasil nonreaktif sekalipun tidak jaminan santri tersebut tidak akan tertular Covid-19 setelah tes.

Selain itu selalu dikesankan warga dari zona hijau Covid-19 ‘aman’, padahal ada beberapa hal yang diabaikan, yaitu:

(1). Apakah tes dan tracing serta isolasi dijalankan di daerah tersebut secara serentak? Bisa jadi pemerintah daerah di zona hijau hanya pasif yaitu menunggu warga yang sakit kemudian dites untuk Covid-19.

(2). Apakah tidak ada warga daerah zona hijau itu yang berkunjung ke daerah atau negara lain dengan pandemi Covid-19?

Kalau jawabannya ada, maka pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah dilakukan tes Covid-19 terhadap orang tersebut?

Kalau hasilnya reaktif atau positif apakah ada yang kontak di-tracing sampai buntu? Kalau jawabannya tidak, tentu saja ada risiko OTG (Orang Tanpa Gejala) di daerah zona hijau itu.

(3). Apakah tidak ada warga dari daerah zona merah Covid-19 yang berkunjung ke daerah zona hijau?

Penyebutan zona hijau Covid-19 tidak jaminan bahwa tidak ada warga yang perilakunya berisiko tertular dan menularkan Covid-19

Dalam berita disebutkan: Namun demikian, Uu mengakui ada keberatan dari orang tua santri apabila santri diwajibkan untuk RDT sebelum masuk pesantren, terutama santri yang berasal dari desa atau pinggiran.

Lagi-lagi tempat tinggal di pinggiran atau di ujung dunia sana pun kalau ada interaksi dengan orang lain tentulah ada risiko. Apalagi dalam perjalanan dengan angkutan umum tentulah ada risiko penularan Covid-19.

Sebagai perbandingan Korea Selatan yang berminggu-minggu di bulan Mei dan Juni 2020 tidak terdeteksi kasus baru Covid-19 sekarang kembali menutup sekolah karena ditemukan kasus-kasus baru Covid-19 dengan jumlah 1 atau 2 digit.

Bandingkan dengan Indonesia yang belum mencapai masa puncak pandemi Covid-19 sehingga penyebaran di masyarakat terus terjadi karena tidak menjalankan tes Covid-19 massal, tracing yang masif dan isolasi secara simultan. Maka, penyebaran Covid-19 di masyarakat akan terus terjadi, entah sampai kapan (tagar.id, 10 Juli 2021). *

Tinggalkan Balasan