Awal Tahun 2020 Pil Pahit untuk Pariwisata Indonesia

Wisata201 Dilihat

Malaysia terapkan bebas visa bagi WN China dan India mulai 1 Januari 2020, pil pahit untuk pariwisata Indonesia apa langkah Menparekraf Wishnutama.

Malaysia Bebas Visa bagi Wisatawan China dan India. Ini judul berita di Tagar, 30 Desember 2019. Diberitakan bahwa Kerajaan Malaysia mulai hari ini, 1 Januari 2020, terapkan kebijakan bebas visa bagi WN China dan India. Ini dilakukan Malaysia untuk memenuhi target 30 juta wisatawan mancanegara (Wisman) berkunjung ke Malaysia tahun 2020.

Ini pil pahit bagi pariwisata nasional. Pertanyaannya adalah: Apa langkah konkret Menparekraf Wishnutama mengantisipasi kebijakan Malaysia itu untuk menyelamatkan pariwisata nasional?

Baca juga: Menyoal Langkah Kemenparekraf Kembangkan Pariwisata Indonesia

Dilaporkan bahwa Kementerian Dalam Negeri Malaysia mengatakan tujuan utama pemberian fasilitas bebas visa (untuk WN China dan India-pen.) ditujukan untuk mengukuhkan industri wisata Malaysia dengan memberi kemudahan kunjungan tanpa visa kepada pelancong yang ingin melawat ke Malaysia.

1. Wisman China Nomor 2 Terbanyak

Malaysia tidak main-main karena promosi wisata dilakukan oleh PM Malaysia Tun Dr Mahathir Mohamad, Wakil PM Dr Wan Azizah Wan Ismail dan jajaran menteri pada perayaan “Ambang 2020” menyambut tahun 2020 di Dataran Merdeka, Kuala Lumpur, Selasa, 31 Desember 2019, malam, menandai kampanye ‘Tahun Kunjungan Malaysia 2020’ yang diluncurkan oleh Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya Malaysia. Dengan target kunjungan 30 juta wisatawan pada tahun 2020 Malaysia berharap menambah pundi-pundi pendapatan negaranya sebesar 100 miliar ringgit atau setara dengan Rp 399,9 triliun.

Langkah Malaysia itu jadi pukulan berat bagi (pariwisata) Indonesia karena Wisman dari China peringkat kedua setelah Wisman dari Malaysia. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) periode Januari-September 2019 tercatat 2,34 juta Wisman atau 19,07% adalah wisatawan Malaysia. Sedangkan wisatawan China berjumlah 1,61 juta (13,14%). Selanjutnya Singapura 1,40 juta wisatawan (11,45%), Australia 1,02 juta wisatawan (8,28%), dan Timor Leste 927,1 ribu wisatawan (7,56%). Sedangkan Wisman asal India pada tahun 2018 tercatat sebanyak 535.550.

Dengan jumlah 1,61 juta atau 13,14% dari jumlah wisatawan yang masuk ke Indonesia, Wisman asal Cina yang berkunjung ke Indonesia menunjukkan potensi yang sangat besar. Dengan kebijakan bebas visa bagi WN China yang dijalankan Kerajaan Malaysia mulai tanggal 1 Januari 2020 itu artinya pukulan berat bagi pariwisata nasional Indonesia.

Lama tinggal Wisman China pada tahun 2016 dilaporkan BPS rata-rata 7,13 hari, Malaysia 5,14 hari. Sedangkan Wisman India tercatat lama tinggal 6,57 hari.

Melihat lama tinggal Wisman asal China dan India mereka merupakan wisatawan yang potensial karena ada kemungkinan mereka mengunjungi lebih dari satu destinasi wisata atau daerah tujuan wisata (DTW). Sedangkan Wisman asal Malaysia kemungkinan besar hanya mengunjungi satu DTW.

2. Slogan Pariwisata yang Tidak Didukung Sarana dan Prasarana

Tantangan lain bagi Menparekraf Wishnutama adalah banyak WNI yang berobat ke Malaysia yang juga mereka manfaatkan untuk wisata sebagai outbound. Iklan fasilitas pengobatan di Malaysia dan informasi dari mulut ke mulut sangat gencar sehingga mendorong banyak warga yang memilih berobat ke Malaysia sambil berwisata.

Catatan Bank Indonesia (BI) menunjukkan tahun 2018 ada 9,75 warga negara Indonesia melakukan kunjungan ke luar negeri dengan jumlah pengeluaran sebesar 8,77 miliar dolar AS setara dengan Rp 122,2 triliun. Salah satu faktor yang mendorong outbound adalah tarif pesawat yang murah (low cost carrier/LCC) yang lebih murah ke luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura, daripada ongkos di dalam negeri ke DTW di berbagai pulau.

Semboyan pariwisata Malaysia ‘Truly Asia’ jauh lebih bermakna daripada semboyan pariwisata Indonesia ‘Wonderful Indonesia’. Celakanya, wonderful yang ditawarkan sering berlawanan dengan fakta. Misalnya, sarana transportasi yang tidak layak, keramahan yang rendah, harga dan tarif yang tidak standar, kejahatan seksual, dll.

Baca juga: Kejahatan Seksual Menghantui Pariwisata Nasional

Di media sosial pernah mencuat harga seafood di salah satu DTW di Banten hampir Rp 1 juta. Ada pula keluhan dari DTW Danau Toba ketika duduk pun harus dibayar. Ada satu keluarga yang terdiri atas 4 orang. Mereka duduk di salah satu restoran. Salah satu minum kopi. Tapi, tagihannya Rp 125.000.

Kok bisa? Rupanya, kursi yang diduduki harus bayar Rp 25.000/kursi. Maka, tagihannya adalah: 4 kursi x Rp 25.000 +1 gelas kopi Rp 25.000 = Rp 125.000.

Pariwisata nasional kian terpuruk ketika ada wacana menerapkan ‘wisata halal’ dan menerapkan pasal zina yang akan diakomodir di RKUHP. Tidak tanggung-tanggung yang disasar untuk ‘wisata halal’ adalah Bali yang sudah diatur dengan peraturan daerah (Perda) sebagai DTW dengan kearifan lokal.

Baca juga: Pariwisata Bali Dikembangkan dengan Kearifan Lokal

Pariwisata nasional akan terpuruk jika tidak ada langkah-langkah yang konkret menghadapi program Malaysia yang menerapkan bebas visa bagi WN China dan India. Tidak ada pembangunan infrastruktur, tidak ada upaya meningkatkan keamanan bagi Wisman terutama terkait dengan kejahatan seksual, serta tidak ada langkah untuk membuat standar tarif dan jasa (tagar.id, 1 Januari 2021). *

Tinggalkan Balasan