Tampaknya, Kemenparekraf tidak bisa mengembangkan pariwisata di luar Bali dan Yogyakarta bahkan cenderung mendompleng dengan isu wisata halal.
Sebagai sektor yang tidak terpengaruh resesi ekonomi global pariwisata jadi andalan untuk meningkatkan devisa dan pemerataan ekonomi nasional. Presiden Jokowi pun melihat peluang itu dengan membangun ’10 Bali Baru’ yaitu daerah tujuan wisata (DTW) yang potensial dikembanngkan.
Celakanya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) tidak berpikir mengembangakan ’10 Bali Baru’, tapi mengutak-atik Bali sebagai DTW utama di Indonesia. Bahkan, Cawapres No 02 pada Pilpres 2019, Sandiaga Uno, juga melontarkan gagasan yang akan jadikan Bali sebagai ‘wisata halal’.
Untuk menetapkan 10 DTW melalui proses yang panjang. Semula ditawarkan 44 DTW, tapi tidak mungkin dikembangkan sehingga dipilih 10 DTW yaitu: Danau Toba (Sumut), Borobudur (Jateng), Mandalika (NTB), Labuan Bajo (NTT). Sedangkan enam DTW yang lain yaitu, Belitung (Babel), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Gunung Bromo (Jatim), Taman Nasional Wakatobi (Sulteng), dan Morotai (Malut).
Baca juga: Tugas Menteri Pariwisata Meningkatkan Kedatangan Wisman
Dari 10 DTW ini pun kemudian hanya empat yang diutamakan yaitu Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo. Sedangkan enam DTW yang lain yaitu, Belitung, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Gunung Bromo, Taman Nasional Wakatobi, dan Morotai tetap akan dikembangkan sebagai DTW ‘Bali Baru’.
Isu ‘wisata halal’ yang diserukan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wishnutama Kusubandio, untuk Bali dan Danau Toba memicu protes karena pelabelan dua DTW itu dengan ‘wisata halal’ salah kaprah.
Baca juga: Wisata Halal Danau Toba Pelabelan yang Salah Kaprah
Lagi pula jika ingin menarik wisatawan Muslim internasional mengapa harus Bali dan Danau Toba yang dikorbankan?
Dari ’10 Bali Baru’ ada empat DTW yang potensial dikembangkan sebagai ‘wisata halal’ yaitu Belitung, Mandalika, Tanjung Lesung, dan Kepulauan Seribu. Penerapan ‘wisata halal’ di empat DTW ‘Bali Baru’ ini akan dapat dukungan masyarakat karena selama ini sebagian warga di sana menolak kehadiran wisatawan mancanegara (Wisman) yang berpakaian minim.
Kondisi itu jadi pintu masuk bagi Kemenparekraf untuk mengembangkan ‘wisata halal’ sehingga didukung masyarakat. Ketika tsunami menerjang pantai barat Banten (2018) yang merupakan lokasi wisata warga di sana menyalahkan kehadiran Wisman di Tanjung Lesung. “Itu maksiat, Pak,” kata seorang warga di Banten tentang Wisman yang berenang di laut dan berjemur di pantai dengan hanya memakai kolor dan kutang.
Salah satu tujuan Wisman ke Bali adalah berjemur di pantai, seperti Kuta dan Sanur. Maka, jika diterapkan ‘wisata halal’ tentulah aturan baku tentang syariah Islam diberlakukan sehingga Wisman tidak boleh lagi berjemur dengan hanya memakai kutang dan kolor. Minuman beralkohol pun dilarang.
Kemenparekraf bisa juga melirik Aceh, Riau, Sumbar, Jambi, Sumsel, Kalsel, Sulsel, dan Malut sebagai DTW berbasis ‘wisata halal’. Aceh, misalnya, merupakan daerah dengan syariat Islam sehingga tidak ada masalah dengan menerapkan ‘wisata halal’ di daerah ‘Serambi Mekkah’ itu.
Baca juga: Wamen Pariwisata Angela Tanoesoedibjo Tingkatkanlah Inbound
Begitu juga dengan Riau, Sumbar dan Kalsel yang juga mengidentifikasi daerah dengan napas Islam sehingga diperkirakan tidak akan terjadi penolakan jika program ‘wisata halal’ dikembangkan di daerah ini.
Sejauh ini belum ada langkah konkret dari Kemenparekraf untuk mengembangkan empat atau lima DTW ‘Bali Baru’ agar jadi tujuan wisatawan dalam dan luar negeri secara massal. Tanpa pola dan konsep yang sejalan dengan filosofi pariwisata, maka hanya Bali dan Yogyakarta yang dilirik wisatawan dunia sebagai DTW (tagar.id, 26 November 2019). *
1 komentar