Asyiknya Jalan Kaki ke Kampung Santri di Krapyak, Yogyakarta

Berita, Islam, Wisata253 Dilihat

Pagi itu, saya memulai perjalanan dari kawasan Alun-alun Kidul dan di sini kembali melihat informasi mengenai Filosofi Daur Kehidupan Manusia versi Jawa yang disebut Sangkan Paraning Dumadi.

Dari sekian banyak tempat, masih ada satu yang selama ini belum sempat saya kunjungi dari dekat melainkan hanya pernah sekilas melintas dengan kendaraan. Karena itu saya ingin berjalan kaki menuju tempat itu, yaitu Panggung Krapyak yang disebut sebagai ‘The beginning of Human Life.’

Dari alun-alun, saya berjalan santai melewati Plengkung Gading dan menyebrangi jalan MT Haryono menuju ke Jalan DI Panjaitan yang membujur ke arah selatan.

Sekilas tidak ada yang istimewa dengan jalan ini. Kaki limanya standar hanya sekitar 1 meter dan lalu lintas pagi itu cukup ramai. Yang pertama menyambut saya adalah Pasar Gading dan kemudian Polsek Manterijeron.

Setelah berjalan sekitar 300 meter di sebelah kiri, ada sebuah klinik yang beroperasi 24 jam yang merupakan tempat saya berobat.

Sekitar 100 meter dari klinik saya melewati sebuah gedung besar dengan pagar tembok putih yang tinggi. Pintu gerbangnya besar dan tertutup rapat. Di atasnya ada tulisan ‘Six Senses’.  Gedung ini ternyata merupakan bangunan tua yang dijadikan restoran Spanyol dan Laut tengah sesuai dengan plang yang ada di depannya.

Tepat di sebelahnya ada sebuah rumah kecil model Jawa yang dijadikan tempat pameran tunggal  Dyah Retno.  Uniknya ada spanduk bertuliskan tema pameran yang bagaikan rumus kimia dan durasi pameran sepanjang Juli 2022.  Rupanya rumah kecil ini milik Cemeti Institute yang sering mengelana pameran seni.

Perjalanan dilanjutkan dengan menyebrang jalan dan menyusuri kaki lima yang lebih besar dan nyaman serta banyak pohon Asem dan Tanjung yang menaungi. Terasa cukup nyaman jalan kaki di sini walau tidak ada temannya.

Setelah melewati Suryodiningratan ada sebuah klinik khitanan Paramedika dan di depannya ada sebuah gerobak Es Oyen Bandung.

Berjalan terus ke selatan, saya tiba di Kampung Minggiran.  Selain pintu gerbang kampung, bangunan pertama yang saya jumpai adalah SD Negeri I Minggiran lengkap dengan pengumuman mpenerimaan peserta didik baru untuk tahun ajaran 2022/2023.  Di sebelahnya  ada sebuah sekolah taman kanak-kanak yang menyebut dirinya  sebagai sekolah ramah anak.  Ada beberapa anak yang baru datang ke sekolah dan diantar oleh orang tua mereka.

Jalan DI Panjaitan atau yang dulu bernama Gebayanan masih panjang membentang.  Setelah sekolah saya juga bertemu dengan Kecamatan atau Kemantren Mantrijeron. Disini ada spanduk yang menjelaskan bahwa DIY bebas stunting.

 

Sekitar 150 meter setelah kantor kecamatan , ada halaman gedung yang dijadikan tempat jualan. Berbagai jenis pakaian digantikan di halaman konblok dan penjualnya hanya  duduk di atas karung plastik pembungkus pakaian tersebut. Bangunan besar bertingkat ini ternyata sebuah hotel yaitu Hotel Al Ashri by Urban.

Tidak terasa Jalan DI Panjaitan pun kemudian berakhir dan berganti nama dengan Jalan Ali Maksum dan suasana kampung Islam mulai terasa dengan hadirnya Pondok Pesantren Al Munawir Kompleks L. Pintu gerbang dan papan nama pesantren yang didominasi warna hijau seakan-akan mengucapkan selamat datang di Krapyak.

Tidak jauh dari sini, di sebelah kiri ada gedung berlantai empat yang juga didominasi warna hijau. Gedung ini adalah Yayasan Pondok Pesantren Ali Maksum.

Bukan itu saja, beberapa gedung di sebelahnya ada lagi gedung Pondok Pesantren Al Munawir  kompleks I dan J. Suasana pondok pesantren kian marak dengan banyaknya santri yang bersarung dan peci lalu lalang di sini.

Bahkan ada juga Mie Ayam Santri yang selain bisa dibeli langsung juga dapat dipesan melalui aplikasi daring.

Dan dari sini panggung Krapyak yang saya tuju sudah jelas tampak  beberapa puluh meter lagi di hadapan.  Tidak terasa,  bila diukur kembali, jalan kaki saya pagi itu sudah mencapai sekitar 3 kilometer.

Yogya, Juli 2022

 

 

Tinggalkan Balasan