“Mana izin kebenaran untuk masuk ke Brunei lagi”, demikian ucapan petugas imigrasi di Terminal keberangkatan Bandara Internasional Brunei di kawasan Berakas sambil membulak-balik halaman di paspor saya.
Ketika itu saya bermaksud meninggalkan Brunei dengan pesawat Penerbangan Diraja Brunei tujuan Singapura yang kemudian dilanjut dengan penerbangan British Airways ke London Heathrow.
Saya menjelaskan bahwa akan masuk ke Brunei dengan fasilitas bebas visa selama dua minggu sehingga tidak perlu izin alias kebenaran sambil menunjukan visa yang sudah bertengger sebelumnya. Pada visa itu saya dizinkan untuk tinggal di Brunei sekitar 3 bulan. Ini adalah masa tugas yang ke sekian kalinya ke negeri ini sekitar tahun 1999.
Setelah sedikit berdebat dan saya menjelaskan bahwa saya akan kembali lagi ke Brunei dan hanya akan tinggal beberapa jam saja di London, akhirnya paspor saya pun dicap oleh petugas tersebut sambil menyarankan saya pergi ke Kedutaan Brunei baik di London atau Singapura.
Hari sudah menjelang malam ketika pesawat mendarat di Bandara Changi, Singpura dan saya hanya sempat transit sekitar dua jam saja menunggu penerbangan lanjutan sekitar 13 atau 14 jam menuju London. Sebuah perjalanan yang lumayan melelahkan, namun saya sudah cukup terbiasa.
Yang sedikit agak luara biasa adalah sesampainya di London Heathrow keesokan paginya, Saya langsung naik bus Gatwick Express yang meuju ke Bandara Gatwick. Lumayan jauh sekitar 1 jam perjalanan dan sama sekali tidak melewati pusat kota London.
Jika pada kunjungan ke London sebelumnya saya sempat mampir ke beberapa tempat wisata seperti Tower of London atau juga Istana Buckingham dan Hyde Park. Kali ini cukup dari bandara ke bandara saja.
Sesampainya di Bandara Gatwick, saya sempatkan menyegarkan tubuh dengan mandi dan berganti pakaian sebelum kemudian naik shuttle bus menuju ke perkantoran Civil Aviation Authority, khususnya ke Bagian Safety Regulation Group. Tentunya sesudah sekedar makan pagi di sebuah restoran di bandara.
Urusan saya di CAA selesai sekitar waktu makan siang. Maka saya pun langsung kembali naik shuttle bus ke Terminal dan kemudian kembali makan siang di bandara lalu naik bus menuju Heathrow. Sore out Saya harus kembali naik pesawat British Airways ke Singapura. Penerbangan sekitar 13 atau 14 jam ke Singapura berjalan mulus walau saya sama sekali tidak sempat tidur, seperti waktu perjalanan dari Singapura ke London. Seandainya tertidur, itu pun cuma tidur-tidur ayam saja. Untung pesawat tidak terlalu penuh.
Hari sudah menjelang sore ketika pesawat mendarat di Changi dan saya kemudian harus pindah pesawat menuju Brunei dengan Royal Brunei Airline. Dan ketika pesawat mendarat di Brunei, hari pun sudah menjelang malam.
Secara total, saya meninggalkan Brunei sekitar 50 jam alias dua hari dua malam lebih. Dan sama seperti ketika meninggalgan Brunei, petugas imigrasi un sempat berdebat dengan saya menanyakan izin masuk kembali ke Brunei. Dijelaska bahwa visa atau izin tinggal saya di Brunei selama tiga bulan itu hanya berlaku untuk sekali jalan dan kalau saya keluar Brunei sebelum waktunya maka izin itu akan tidak berlaku lagi. Setelah menjelaskan panjang lebar bahwa saya masih harus ada di Brunei sekitar dua bulan lagi, akhirnya saya diizinkan masuk dengan syarat dalam waktu 3 hari mesti minta izin kebenaran untuk tinggal di Brunei.
Hari sudah malam ketika saya kembali di hotel. Keesokan harinya, di kantor saya minta bantuan Pangeran Niang di bagian HRD untuk mengurus izin tersebut ke imigresyen.
Akhirnya dengan hanya membayar 15 Ringgit Brunei, saya mendapatkan visa baru dan izin kebernaran untuk tinggal di Brunei selama dua bulan lagi beserta izin untuk keluar masuk Brunei kapan saja.
Wah suatu berkat yang menyenangkan bagi saya yang suka jalan-jalan. Dengan izin itu setiap week end Saya bisa keluar Brunei. Saya bisa pergi ke Labuan di Malaysia, juga sempat berkunjung ke Kota Kinabalu alias KK di Sabah dan juga boleh ke Singapura atau sejenak pulang ke Jakarta.
Perjalanan panjang yang melelahkan sekitar 12 jam saja di London memang berbuah manis dan meninggalkan kenangan yang selalu menarik untuk diceritakan. Sementara teman-teman saya yang lain harus tinggal terus di Brunei menanggiung rindu kampung halaman selama dua setengah bulan.
BSB. 1999