Daun Gugur

Dan tiada sehelai daun pun yang gug

ur melainkan Dia mengetahuinya

(QS. Al-An’ām: 59).

Dan yang harus selalu diyakini bahwa segala sesuatu yang Allah SWT kehendaki pasti ada hikmahNya.

Kisah ini laksana tetes air hujan. Turun dari langit. Dihembuskan oleh Malaikat Mikail. Hinggap dan menetap di pokok-pokok pohon di belantara hutan nan rimbun. Lalu pindah ke lidah-lidah kaum beriman. Menghuni hati para pemuja dan pemburu syafaat Rasulillah.

Kisah ini pertama kali diunggah “penyair kiai” dari Pulau Madura; K.H. D. Zawawi Imron dan dikisahkan ulang oleh K.H. Jalaluddin Rakhmat. Kisah tersebut berkembang dari mulut ke mulut. Kini sampai kepada kita.

***

Syahdan, seorang nenek masuk ke pasar kecil di sebuah desa. Ia menyunggi nyiru kusam dan menjual bunga cempaka. Berangkat tidak lama seusai salat subuh dan baru tiba di pasar setelah berjalan cukup lama dan agak jauh.

Keringat membasahi baju kaus tipisnya yang terbuat dari bahan tetoron. Kaus lengan panjang bekas seragam kampanye saat pemilihan kepala daerah yang lusuh. Ada gambar jari dan angka di punggung nenek yang melengkung.

Menjelang siang, nenek mampir ke masjid dekat pasar. Masjid agung di desa itu. Setelah membasuh tangan, mencuci kaki, ia mulai berwudhu. Membaca doa sekadarnya, lalu melangkah masuk dengan bacaan yang sebagian sudah ia lupa.

Dengan tuma’ninah ia salat tahiyat masjid dan salat mutlak. Duduk tawarruk sebentar. Melantunkan wirid-wirid pendek. Lalu beringsut, menahan lutut yang rapuh dan turun menuju halaman. Ia merunduk dan mulai memungut daun-daun.

Daun-daun yang berguguran, memenuhi halaman. Bergerak-gerak dihembus angin. Satu-satu diambil. Dikumpulkan di atas nyiru bunga cempaka. Tentu butuh waktu agak lama membersihkan halaman dari daun-daun dengan cara itu.

Matahari Madura membuat nenek kelelahan dan memaksanya duduk beberapa saat sebelum pulang ke rumah. Begitu setiap hari ia melakukan itu hingga akhirnya seorang marbot memperhatikan tingkah nenek. Karena jatuh iba, ia melapor pada takmir.

Keesokan hari, sejumlah pengurus rapat setelah menyaksikan langsung apa yang dilakukan nenek. Keputusannya; daun-daun sudah harus dikumpulkan sebelum nenek datang. Halaman sudah harus bersih.

Dan benar saja, seperti hari-hari sebelumnya, nenek datang. Ia berwudhu, lalu masuk masjid dan salat sekadarnya. Saat akan memulai turun ke halaman, nenek kaget. Tidak tersisa satu daun pun di halaman.

Ia kembali masuk, bersujud dan mulai menangis. Suaranya yang putus-putus membuat takmir tersentuh. “Kami sayang dan kasihan sama nenek.”

“Kalau kalian sayang, biarkan nenek memungut daun-duan itu,” katanya. Dan setelah rapat sebentar, takmir pun membiarkan nenek kembali ke kebiasannya; memungut daun. Suatu waktu, seorang kiai yang dihormati dimohon takmir bertanya kepada si nenek.

Nenek itun pun mengiyakan dan memberi syarat; jangan ceritakan kepada siapa pun dan baru boleh diketahui orang lain setelah dia wafat. Nah, nenek itu sudah lama wafat sehingga siapa pun kini tak mengapa mengetahuinya. “Saya ini,” katanya mulai curhat pada sang kiai.

“Saya ini perempuan tua dan bodoh,” ujar dia. “Amal saya sedikit. Dan karena bodoh, saya melakukan amal-amal itu tanpa ilmu. Pasti banyak yang tidak benar. Tidak akan ada yang mampu menyelamatkan saya di Hari Kiamat selain syafaat Kanjeng Nabi. Karena itu, setiap satu daun yang saya pungut, saya baca selawat kepada Baginda Nabi,” katanya mulai terisak.

Dan kiai itu pun larut dalam sedu sedan nenek. “Kelak, saya ingin Nabi menjemput saya, Pak Kiai.”

Dalam gemuruh hatinya, Kiai pun runduk dalam tangis yang berat. “Saya sangat yakin, daun-daun itu akan menjadi saksi bahwa saya sangat mencintai Rasulullah. Saya yakin daun-daun itu juga bertasbih kepada Allah dan melafalkan selawat bagi junjungan Nabi yang mulia.”

Kini bulu kuduk kiai meranggas dan menegak. Tak kuasa menahan rasa. Nenek itu, bukan saja berhasil membuktikan raca cinta yang tulus dan dalam kepada Nabi tapi juga bukti kerendahan hati seorang anak manusia.

Ia bukan saja mampu menunjukkan bentuk cinta yang tulus kepada Rasulullah, tetapi lebih dari itu, juga telah membuktikan kerendahan hati bahwa siapa pun tidak akan mampu selamat dari ancaman Allah.

Siapa pun tidak mungkin mengandalkan amal dan ibadahnya tanpa rahmat Dia Yangmaha Menghukumi. Merasa rendah diri karena amal-amalnya yang kecil-kecil dan tidak banyak, serta dilakukan tanpa ilmu. Siapa yang suka hati mengakui kebodohan diri?

Menjelang waktu menuju wukuf di Arafat dan tafakkur di Masy’aril Haram, Nenek cempaka telah mengajarkan kepada jemaah haji bahwa siapa pun tidak akan selamat dari ancaman siksa akhirat tanpa rahmat dan kasih sayang Allah SWT.

Lalu siapakah gerangan rahmat terbesar Allah yang dikirimkan ke alam ini selain Nabi Muhammad SAW? Lalu, siapa pula yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai rahmat selain dia yang kekasih-Nya; Muhammad Al Mujtaba.

Ya Allah. Izinkan hamba menangis bersama nenek dan daun-daun itu ya, Robbana!!!

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al Anbiya:107)

Shollu ‘alan Nabiy…

Ishaq Zubaedi Raqib –MCH Daker Makkah Al Mukarramah

 

Tinggalkan Balasan