Tulisan ini atas seizin Psikolog Novian Pranata, YPTD share di sini, Pemikiran out of the box terkait Ucapan Selamat Natal boleh juga jadi renungan bagi kita semua dalam koridor Toleransi Beragama di Indonesia. Selamat membaca
Liburan Natal dan Tahun Baru tahun ini masih terdengar diskusi mengenai boleh tidaknya mengucapkan Selamat Natal oleh pemeluk agama Islam. Untuk memahaminya saya mencoba melihat kembali kehidupan sekolah saya. Saya bersekolah dari SD sampai tamat SMA di sekolah Katholik, Xaverius. Saya terbiasa bergaul dengan lingkungan gereja. Beberapa kali saya sempat masuk ke dalam gereja dan itu tidak mempengaruhi aqidah saya. Sekolah Katholik yang terkenal dengan disiplin yang tinggi, membentuk saya menjadi disiplin sampai saat ini.
Sebagai generasi X (belum mengenail hp, bbm, wa dan media online lainnya), saya merasakan kehidupan yang nyaman dalam bertoleransi. Sekolah Katholik biasanya sudah libur di pertengahan Desember sampai dengan minggu pertama atau kedua Januari, sehingga mengucapkan Selamat Natal menjadi “basi” dan tidak ada. Sanjo (silaturahmi berkunjung) dilakukan kepada teman dekat rumah atau memang dekat. Harapannya dapat minum Saparilla, Fanta, Coca Cola atau Sprite (apalagi yang kaleng) ditambah dengan pempek. Biasanya ditanya dulu “Ado pempek dak?” Begitu juga dengan Sincia (Imlek, hari raya masyarakat Tionghoa). Karena saat itu belum diliburkan, biasanya sepulang sekolah langsung mampir ke rumah teman yang merayakannya dengan pertanyaan _Ado pempek dak?_ _Kalau gak ada yang gak jadi datang_. Ini adalah candaan kami dulu.
Sama sekali kami tidak terpikir dengan toleransi. Kami berteman dengan polos, bercanda dengan polos tanpa diselingi maksud apapun. Sebaliknya teman datang atau tidak saat Lebaran tidak jadi masalah. Mengucapkan Selamat Lebaran atau tidak, Selamat Natal atau tidak, tidak menjadi masalah. Kalau sudah ketemu di lapangan basket atau lapangan bola semua senang dan tertawa.
Setelah tamat SMA, saya kuliah di Depok. Sama saja, toleransi berjalan sebagaimana yang diharapkan. Libur Lebaran, Natal dan Tahun Baru berjalan biasa saja. Tidak perlu saling ucap mengucapkan, pertemanan berjalan sampai saat ini. Tidak ada juga ucap mengucapkan Selamat Ulang Tahun. Menjelang Lebaran biasanya ada kegiatan Pasar Murah dan semua teman bergabung dan menyukseskannya. Tidak ada yang berbicara toleransi. Saya terkadang ikut pengajian di masjid kampus dan kegiatan di Balairung namun tidak membuat saya tidak toleransi. Menjelang shalat Jumat, malah saya pernah menendang dan mendobrak pintu ketika ada teman saya sedang melakukan penyebaran ajaran Islam yang menurut saya tidak benar. Tidak perlu shalat Jumat, yang penting dakwah, katanya.
Ceplok telur mentah di kepala itu bukan untuk perayaan ulang tahun tapi perayaan saat sudah keluar dari Ruang Bintang (ruang ujian skipsi) di lantai 3 Gedung A dan sampai di lantai 1. Biasanya telor ayamnya sudah dipecahi sedikit terus disimpan di alam terbuka rerumputan kampus selama 1 malam. Teman yang dinyatakan lulus langsung mendapat ceplok telor busuk, tepung dan air yang katanya keramas 2 hari baru hilang baunya.
Ketika mulai mengenal hp, barulah semuanya berubah. SMS menjadi penting. Pacaran saja bisa putus gara-gara telat balas sms. Mulailah budaya mengucapkan Selamat Lebaran, Natal, dan Ulang Tahun. *_Sebelum ajal datang. Sesaat sebelum takbir berkumandang. Selagi kuota internet belum habis. Izinkan saya untuk menyampaikan permintaan maaf. Mohon maaf lahir dan batin_*, menjadi hal yang wajib dan berseliweran di sms, bbm dan wa. Begitu juga dengan ucapan selamat Natal dan selamat ulang tahun.
Saya melihat ini sebagai perubahan budaya. Bagus atau tidak saya tidak mau menilainya tetapi ucapan ini menjadi bahan diskusi seperti yang terjadi saat ini. Saya melihat budaya ucapan ulang tahunpun baru di tahun 2015-an terutama di lingkungan kerja saya. Awalnya untuk ‘menghormati’ pimpinan (primodialisme masih ada kok). Surprise jam 12 malam menjadi ‘biasa’ atau ‘wajib’. Ceplok telor di kepala sampai diikat di tiang, disiram air, ditaburi tepung dan lain sebagainya. Padahal ini adalah perubahan budaya di tengah kejenuhan bekerja, yang lama kelamaan menjadi ‘wajib’ dilakukan.
Saya berpikir seandainya hp, wa, sms tidak ada maka kewajiban untuk mengucapkan juga menjadi tidak ada, sehingga tidak terjadi diskusi tentang toleransi. *Kita sudah terbiasa hidup dengan toleransi kok.* Kenapa kita tidak berpikir jika teman kita tidak mengucapkan Selamat Lebaran, Selamat Natal dan Selamat Ulang Tahun, kita tetap berteman dan bersaudara? Kenapa kita menganggap toleransi itu hanya diucapan? Menurut saya lebih penting kita ‘urunan’ duit untuk membantu teman yang sedang sakit dan mendatangi rumah duka ketika orangtua atau teman kita meninggal dunia dan mengantarnya sampai kuburan.
Kita hanya tidak terbiasa dengan ‘berbeda’ pendapat. Ustadz berbeda pandangan adalah hal yang biasa sama seperti saksi ahli yang berbeda pendapat di pengadilan walaupun gelar pendidikannya sama. Ketika ‘berbeda” pendapat maka sudah membentuk _ingroup_ dan _outgroup_. Diperparah lagi dengan perbedaan pilihan politik. *Menerima pandangan yang boleh atau tidak boleh mengucapkan Selamat Natal itulah inti dari toleransi*.
Kepada teman-teman saya yang merayakan Natal, rayakanlah Natal dengan penuh kegembiraan sama seperti saya merayakan Lebaran. Saya mengajak untuk tidak disibukkan dengan ucapan melalui sms dan wa. Yakinlah kalau anda menganggap saya teman, saya akan datang pada saat anda meninggal dan mengantarkan sampai ke kuburan selama saya ada waktu dan kesempatan.
Novian Pranata, Psikolog.
Salam Literasi
BHP 251220
YPTD
Tentang toleransi kita jalankan seperti firman Allah
Bagimu agamamu, bagiku agamaku..
Bukan begitu?