Menulis di Blog Jadi Buku # 3rd day’s challenge
JATUH SAKIT
Sudah menginjak bulan ketujuh sejak aku ditugaskan di sekolah dacil ini. Pahit manis, asam garam sudah aku rasai. Walaupun konflik kecil diantara guru kadang terjadi, tetapi semua bisa diatasi dengan sikap netralku kepada semua pihak. Namun terlepas dari semua itu aku sangat menikmati atmosfer kerja di sana.
Kekeluargaan terbangun dengan baik. Kerjasama pun terjalin harmonis. Tidak hanya internal sekolah tetapi juga dengan pihak-pihak lain, seperti SD tetangga, Pemerintah Desa, dan komite sekolah. Saling berkunjung antara kami, kepala sekolah SD dan SMP, kami pupuk.
Kebetulan kepala SD juga seorang ibu. Sehingga kami sering saling curhat, dari masalah sekolah sampai ke masalah pribadi. Biasa ibu-ibu tak bisa lepas dari rumpi-ria. Yang penting bukan bergunjing, hehehe. Ia bertempat tinggal jauh juga, sekitar 2 KM lebih dekat dari pada tempat tinggalku. Hal ini menambah kekuatan dan motivasi bagiku. Ia yang sudah lebih tua pun masih memiliki semangat yang tinggi, kenapa aku tidak. Namun saat tulisan ini dibuat, beliau belum lama telah dipanggil Tuhan. Semoga almarhumah diterima di sisi Allah SWT.
Memang kuasa Tuhan di atas segalanya. Manusia hanya berencana dan berupaya. Takdir Dia yang menentukan. Malang tak dapat ditolak. Seperti suatu pagi di bulan Pebruari 2017. Suamiku sangat cemas melihat mukaku pucat dan meringis menahan sakit.
“ Ibu, kenapa?” tanya suamiku. “Gak tahu pak, koq ini sakit banget,” jawabku sambil memegang perut kanan sebelah atas.
“ Minum obat mag-nya, kambuh lagi kali,” saran suamiku.
“ Sudah Pak, tapi ini malah semakin sakit,” kataku. Memang aku meraskan sakit luar biasa, tidak seperti sakitnya bila sakit mag kambuh.
“ Kita ke dokter yah,” usul suamiku. Aku hanya mengangguk.
Selama perjalanan menuju klinik yang berjarak 36 KM, aku semakin kesakitan. Ada lobang kecil di jalan saja terasanya begitu sakit ke perutku. “Ya Allah, apakah ini usus buntu?” bisik hatiku.
Sesampainya di klinik, aku langsung dibawa ke UGD. Dokter memeriksa dengan seksama. Akhirnya ia memberi surat rujukan ke rumah sakit. Ia menyampaikan dua kemungkinan yang mebuat aku takut, bahwa aku terkena radang usus buntu atau radang indung telur. Lalu kami pun segera ke RSUD.
Sesampainya di UGD aku diperiksa intensif. Uji lab, USG, rontgen dan EKG . Hasilnya baru bisa diketahui 3 jam kemudian. Selama menunggu, rasa sakit mulai berangsur pulih karena sudah diberi obat lewat infus. Hanya obat pereda nyeri.
Alhamdulillah hasilnya melegakan, dua kemungkinan itu tidak terdeteksi. Dokter mendiagnosa ada radang di saluran kemih. Dua jam kemudia aku menempati kamar rawat inap. Setiap pagi dokter spesialis memeriksaku dan menanyakan kondisiku. Yang masih aku rasa tetap sama, sakit di perut sebelah kanan atas. Di hari ke-4, aku masih merasakan sakit namun tidak begitu. Karena pengaruh obat juga, mungkin. Tidak ada kejelasan apa penyakitnya. Dokter bertanya apakah sakit bila buang air kecil? Aku jawab tidak sama sekali. Dari awal aku tidak ada masalah dengan buang air kecil, begitu juga dengan buang air besar.
“ Pagi, Bu, bagaimana yang Ibu rasakan hari ini?” dokter penyakit dalam yang ramah itu menyapaku di hari ke -5.
“ Alhamdulillah, Dok. Sekarang saya sudah bisa duduk,” sahutku.
“Dari hasil lab itu ibu baik-baik saja. Hanya ada radang di dinding ususnya. Insya Allah besok juga sudah membaik ya , Bu” kata dokter menjelaskan.
“ Makasih, Dok, jadi tidak ada penyakit serius ya, Dok?” tanyaku.
“ Tidak ada, Bu,” dalam dua hari ke depan insya Allah Ibu sudah bisa pulang,” jawab sang dokter.
Pada hari ketujuh aku pun bisa pulang, walaupun bila jalan masih terasa nyutnyut di perut. Kesesokan harinya ketika bangun untuk shalat subuh, aku meraskan sakit perutku kembali . Duduk saja sakit sekali. Suamiku menyarankan aku tayamum saja dan shalat sambil berbaring. Tentu kami bingung dengan keadaan seperti itu. Rasa sakit berangsur hilang bila minum obat pereda nyeri. Begitu dan begitu sampai tiga hari dan obat habis.
(Bersambung)