9th Day’s Challenge
Kilas balik, empat bulan sebelumnya. Saat itu bulan ketujuh aku menjalankan tugas di sekolah kecil yang miskin ini, saat aku jatuh sakit. Untuk berobat ke sana ke mari tentu menghabiskan uang yang tidak sedikit menurut ukuranku. Sementara uangku habis dipakai menggalang operasional sekolahku selama tiga bulan. Memang keadaan keuangan keluarga kami tidak berlebih. Hanya cukup untuk membiayai kuliah dua orang anak dan biaya studiku di S2. Namun bila tidak begitu, aku tidak tega membayar honorarium guru-guru menunggu 3 bulan lamanya ketika uang BOS cair. Keadaan ekonomi sebagian besar dari mereka lemah, menyentuh rasa iba dan keibuanku.
Memang tidaklah wajib bagi seorang kepala sekolah untuk menggalang semua biaya operasional sekolah sambil menunggu cairnya dana BOS. Namun aku berpikir bagaimana roda kehidupan sekolah terutama dalam Kegiatan Beajar Mengajar akan berjalan dengan baik, bila urusan perut guru-guru diabaikan. Karena pasti akan berimbas pada kondusivitas sekolah. Sedangkan sekolah ini sangat menggantungkan dayanya kepada guru-guru honorer, sejak tidak adanya PNS seorang pun.
Bulan ke sembilan dana BOS cair. Aku bisa sedikit bernapas lega. Namun tetap saja aku tidak bisa menggunakan uangku yang dipinjam sekolah. Karena tiga bulan berikutnya pasti harus kukeluarkan kembali. Entah kapan siklus ini akan berakhir. Sementara banyak kegiatan yang dihadapi: Ujian Sekolah, Ujian Nasional, Penilain Akhir Tahun dan lain-lain. Belum lagi menghadapi hari Raya Idul Fitri yang menggantung di akhir bulan Juni.
Sehingga, akhirnya aku relakan menjual sepeda motorku satu-satunya untuk menambal kekurangan biaya operasional, walaupun sebenarnya belum wajib dibayarkan. Namun lagi-lagi sisi kemanusiaanlah yang menentukan keputusan yang ku ambil.
Menjalani itu semua, bagiku bagaikan naik arung jeram. Selalu banyak kejutan-kejutan arus deras yang menunutut fokus penuh. Namun, kadang-kadang melandai di atas air yang tenang, maka keindahan akan terasa. Semua pengalaman itu menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga bagiku. Pelajaran tentang merasakan kepahitan, simpati, dan empati. Di atas semuanya, aku serahkan segalanya kepada Allah SWT, karena aku yakin di balik kepahitan hidup akan berganti dengan berkah, bila Dia menghendaki.
Berkah yang Luar Biasa
Manusia hanya berencana, karena Tuhanlah yang Maha Mengatur dan Menetukan. Sudah banyak hikayat-hikayat dari masa lampau, cerita orang-orang yang ditimpa kemalangan, namun akhirnya mendapatkan kebahagiaan hidup. Entah kenapa saat-saat itu pikiran dan hatiku selalu meyakininya. Ternyata memang benar, Allah mendengar doa-doaku. Pada akhirnya aku mendapatkan berkah yang luar biasa, yang tidak pernah kusangka- sangka.
Saat itu sepulangnya kami dari mudik Lebaran. Kehabisan uang bukan bualan. Tapi aku ingat, masih ada di ATM sedikit uang yang sengaja aku sisihkan. Aku pun pergi ke ATM untuk mengambil uang tersebut. Karena yakin masih ada 8 ratusribuan yang tersisa. Namun apa yang terjadi?
Ketika struk atm cek saldo keluar, aku baca angka yang tertulis hanya 22.800 an. Lemaslah tubuhku. Sambil menahan perasaan galau, aku perlihatkan struk itu kepada anakku. Seketika itu ia mmeperlihatkan rasa terkejutnya,” Bu, ini angkanya banyak,Bu. Bukan dua puluh dua ribuan, tapi dua puluh dua jutaan, lihat ini!” seru anakku.
Kontan saja aku merasa heran juga. Ternyata benarlah anakku. Aku salah baca. “ Tapi uang dari mana itu, yah?’ ujarku . “Mending sekarang juga Ibu ke ATM lagi, cek ministatement-nya. Ntar kan ketahuan itu uang apa,” saran anakku.
Karena rasa heran dan penasaran yang memenuhi hatiku, maka seketika itu juga aku balik ke ATM. Ketika struk ministatement ke luar aku baca : Tunjangan Daerah Khusus RP 22. 120.000. Sungguh sangat tidak kusangka-sangka. Karena sekolah yang biasa mendapatkan saja, katanya tahun itu tidak cair. Ternyata benar saja, dari sekian banyak sekolah daerah terpencil di wilayah kami, hanya sekolahku yang menerima tunjangan tersebut, entah kenapa. Masya Allahu walhamdulillah, sungguh berkah yang sangat besar bagiku.
( Bersambung)