Dengan jaket tebal membalut tubuh, aku berangkat ke dokter Bram bersama suami. Demam yang tak berkesudahan semakin membuatku khawatir, apalagi di era korona seperti sekarang ini. Sore itu, klinik “Sumber Asih” milik dokter Bram masih buka. Saat masuk ke ruang tunggu, aku lihat 6 orang pasien wanita sedang duduk menunggu antrian. Tak lama, 2 orang dari mereka menyuruh kami masuk ke ruang periksa. Mungkin mereka sedang menunggu obat dari petugas yang biasa melayani, tepat di depan ruang tunggu. Kami pun beranjak melewati lorong gelap sebelum sampai ke ruang praktek dokter.
Seperempat jam kemudian, proses berobat pun selesai. Saat kami sampai ke ruang tunggu, kami lihat tak ada seorang pun pasien di sana. Wah, cepat sekali antri obatnya, biasanya tak seperti ini.
Tak mau pusing lebih lama, saya lalu menyerahkan resep kepada petugas obat sambil bertanya, “Bu, pasien yang 6 orang tadi sudah pulang semua?” Saya lihat wajah petugas itu mengerut, terkejut, tapi kemudian tersenyum aneh. Dengan tenang ia mengatakan bahwa di ruang tunggu tidak ada pasien satupun selain saya dan suami. Alamak..terus yang tadi mempersilakan kami masuk itu siapa? Antara percaya dan tidak, saya dan suami masih memikirkan kejadian tadi. Sembari menunggu obat, suami saya keluar dari klinik, tak kuat ingin menyalakan Magnum filter favoritnya. Sayup terdengar suara azan magrib berkumandang, mengiringi hawa dingin yang tiba-tiba melesak ke dalam tubuh. Saat saya sendiri di ruang tunggu, sekilas saya melihat dokter Bram sedang bermain golf di taman rumah yang sengaja dibuat lapang golf mini di samping kliniknya. Namun, aku semakin nanap saat sadar apa yang kulihat kemudian, dokter Bram tidak memukul bola golf, melainkan sebutir kelapa yang bermata dua…
A good job, I wait the next story!!!.