MENJAGA DUA MALAM 2

 

BUKA PUASA

 

Beberapa menit ke dua gadis putar-putar menyusu jalan  kota sambil menunggu saat buka puasa. Sepeda motor dilajukan pelan. Sampai di alun-alun mereka berhenti sejenak. Masih di atas sepeda motor mereka menikmati indahnya air mancur.  Air mancur yang bila malam hari diterangi lampu warna-warni.  Menibulkan efek luar biasa  bagus pada semburannya. Bagaikan pelagi.  Tapi ini belum terlalu gelap. Efeknya belum kelihatan. Walaupun belum kelihatan masih saja cantik untuk selfi. Beberapa tombol telah di tekan. Gambar dengan aplikasi percantik tersimpan di layar mereka.   Selanjutnya, kembali  sepeda motor dilajunya pelan. Sambil bercanda mereka berdua mencari-cari tempat makan yang cocok. Semua sudah kelihatan penuh.

“Yu…..kemana lagi nich.”

“Iya ya….semua kok penuh.”

“Kalau nggak segera masuk, nanti makin penuh.”

“Bakso Agus saja yuk, kali-kali nggak banyak yang milih menu bakso. Dah lama nggak makan bakso ala Tulungagung. Bakso dengan porsi jumbo dipadu  juz tomato yang segar. Hemmmmmmm.”

“Yummyyyyyyyyy.” Jawab gadis berjibab sambil membelokkan motornya ke arah timur.

Rupanya mereka menentukan bakso sebagai menu buka. Bakso Agus yang menyajikan porsi serba besar. Memang cocok untuk kawula muda yang  perlu kenyang.  Apalagi bila dipadu dengan juz buah segar. Juz pun disajikan dengan gelas besar.  Sesampainya di tempat ternyata wow……… sudah penuh juga. Terlihat dari luar semua kursi  sudah ada yang menduduki. Tempat parkir di depanya sampai ke jalan raya.

Temaramnya lampu ditemani gemuruh suara orang berbincang riuh. Kemerlip  lampu kunang-kunang,  ornamen ruang yang  ditata syahdu senyap tertelan hiruk pikuk. Kipas ruang besar tak mampu mebawa hawa sejuk.  Gadis berambut ikal masuk terlebih dahulu.  Tanya ke pelayan yang sedang berdiri di dekat kasir.

”Mas masih ada tempat ?”

Sang pelayan menjawab dengan sedikit menundukkan badan tanda hormat.

”Ada, hanya dua. Bergabung dengan tamu yang lain, bagaimana?” Dua gadis itu sebentar berpandangan. Tak lama mengangguk bersamaan. Setelah menulis pesanan menu sang pelayan mengantarkan ke meja yang dimaksud. Meja di pojok kanan belakang. 1 set meja kursi dengan jarak sangat dekat. Rupanya  pengunjung yang datang lebih dulu telah mendesaknya. Apalagi sudah ada dua cowok yang duduk di meja 20 itu. Dua cowok yang masing menunduk bermain Hp.  Diseretnya kursi merah untuk gadis berambut ikat dan hijau diseret gadis berjilbab sambil berkata,

“Permisiiiiiii!”

“Loh…….mbaknya yang tadi ?” tiba-tiba salah satu dari mereka menyeletuk sambil menunjuk ke arah dua gadis itu.

Kedua gadis membalas dengan senyum kecut.

Kini posisi  berhadapan dengan dua cowok itu. Keempat muda-mudi itu  saling tersenyum.  Hp  yang dipegangnya diletakkan di atas meja. Tak tertarik lagi main games, chat, atau lihat you tube.

Ruang yang luas,  penataan rapi.  Model tempat duduk yang khas warna-warni. Di hiasi dengan lampu kunang-kunang kemerlip bagai di dunia lain. Di dinding ada beberapa ornamen yang bagus buat selfi.

“Kenalan dong, tadi kan sudah saya bantu ngeluarin motor, nggak terimakasih lagi.

“Mbak namanya siapa?” sambil mengulurkan tangan ke gadis berambut ikal.

“Ayu, Dirgahayu,” jawab Ayu.

“Ooooo kalau saya Kemerdikaan. Biar jadi Dirgahayu Kemerdikaan.”sambil ngakak.

“Nggak lah namaku Dika. Panjangnya Andika Sumaru” sebut Dika.

Setelah itu Dika mengulurkan tangan pada gadis berjilbab.

” Namaku Wida. Nama panjangku Widaaaaaaaaaa.”

Wah rupanya Wida  pandai juga membalas kelakar Dika. Sekarang cowok yang satunya mengulurkan tangan sambil menyebut namanya. Sam ya, namanya Sam.

“Sambalado ya,” sahut Wida tak mau kalah start.

Keempatnya terbahak. Heboh, tak perdulikan pengunjung yang lain. Mereka saling serang dengan kelakar yang lain. Ala anak muda yang tak punya kepentingan.

Setengah jam sudah menunggu. Rasanya nggak lama juga. Bahkan mereka berempat rela bila jarum jam berhenti. Berhenti untuk berapapun lamanya.  Agar kelakar-kelar terus menghiasi bibir mereka. Agar melengketkan pantat mereka dengan kursi.

Dari Hp Sam terdengar suara Adzan. Menandakan bila sudah saatnya berbuka.

“Uh…kok belum dilayani ya, kan sudah waktunya buka?” celetuk Wida.

“Pingin segera batalin puasa ya Wid” timpa Dika.

“Tonjok saja Sam. Jadi batalkan puasa kamu?”

“ Theng weing….weing….pesanan tiba, monggo bapak ibu langsung di dahar, “ kara Sam sambil mengacungkan jempol.

“Wow ternyata pesanan kita sama loh, jus tomato, jus alpokat, bakso seceng, bakkso campur urat,  jodoh kali ya……….silahkan kalau soal kasih saos kecap, sambal bidadari duluan!” kata Dika.

“Preeeet cowok lebay,” sahut Ayu.

Ayu mengambil saos, kecap, dan sambal ke mangkkoknya. Dengan jari telunjuk Dika mengkode. Wah…ternyata Ayu pun paham kalau Dika minta tolong padanya. Dituangkan pula merah membaranya saos asmara, hitamnya kecap keabadian, dan hangatnya sambal kemesraan. Seakan sudah mengetahui selera cowok di depanya. Wida pun mengikuti. Tak kalah mesra. Tapi beda sedikit……saat menuangkan sambal dia melirik kepada Sam sambil menuangkan sesendok penuh. Jail juga yang ini.

“Rasain biar sakit perut,” katanya dalam hati.

Sementara pembicaraan berhenti. Berganti gemelinting peperangan antara sendok dengan garpu.  Perang memperebutkan bola-bola bakso yang bersembunyi diantara lonjoran mie. Garpu tak kalah sigap menguak-nguak. Segera ditusuknya ketika sedikit terlihat tiarap. Digiringnya ke mulut. Gigi-gigi ganas telah menanti. Siap menghajar semua yang masuk. Sisa-sisa yang masih tertusuk. Kembali di benamkan pada kolam berasa sedap. Sendokpun tak mau ketinggalan. Memilih-milih hijau segarnya sawi aroma wangi khas. Menemani bercengkeramanya sesendok penuh kuah yang syahdu. Menyusul bola bakso yang terkunyah. Hangatkan tenggorakan. Sesi kedua sang sendok memilih bawang merah goreng yang gurih. Hemmmm…….sedap sekali. Dalam waktu sekejap peperangan usai. Mangkok dan gelas  tak lagi jenuh. Tinggal berisi udara.

”Cewek makanya cepet amat,” komentar Dika.

“Biar ih…..cowok kok nyinyir. Mau  sholat mahgrip,” jawab Ayu.

“Mau sholat dimana?”

“Masjid Agunglah.”

“Nggak nutut juga, sana antri tau.”

“Sok tahu.”

“Sholat di mushola gang sebelah aja, nanti barengan aku.”

“Nggak ah nanti kamu jahati.”jawab Ayu curiga.

Wida dan Sam hanya diam mengikuti perdebatan Ayu dan Dika. Dika tak juga mau mengalah. Rasanya dia merasakan rasa curiga Ayu. Terbukti Dika menjelaskan letak mushola yang ditunjuk dekat rumahnya. Suasananya nyaman. Hanya beberapa orang yang aktif berjamaah mahgrib termasuk dirinya. Kakeknya yang biasa menjadi imam. Jamaahnya juga ramah-ramah. Mukenanya bersih. Tiap Kamis dicuci. Nggak banyak sih…yang mampir ke mushola itu. Paling hanya warga di sekitar mushola.

“He…mbak jangan curiga sembarangan. Atauuuu……?”

“Atau apa? Kamu kira kita cuma buat alasan?”

“Syukurlah kalau merasa.”

Sam segera memisah mereka dengan ajakan pulang.

“Udah…….cabut yuk.”

.

Tinggalkan Balasan