Surat Terbuka untuk Perpustakaan Nasional dan ahli hukum Dari Bambang Prakuso

Terbaru256 Dilihat

Surat terbuka untuk Perpustakaan Nasional dan ahli hukum.

NEGARA MELANGGAR UU HAK CIPTA MELALUI PERPUSNAS?

Sebelumnya saya mengucapkan selamat kepada Perpusnas yang telah mengeluarkan beberapa aplikasi perpustakaan, seperti i-perpusnas dan bintang perpusnas. Kita harapkan hal ini dapat meningkatkan minat baca bangsa, namun tidak mematikan penulis kita, dan memunculkan tuntutan hukum dari penulis international, karena Indonesia dituduh sebagai negara pembajak buku.

Kepala Perpusnas yth.

Saya yakin bahwa perpusnas paham dengan undang-undang No. 19/2002 tentang hak cipta.

Dalam UU tersebut dinyatakan, siapapun yang dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan karya pelanggaran hak cipta, dipidana penjara 7 tahun, dan atau denda Rp 500 juta.

Perlu diketahui bahwa pengarang dan penerbit memiliki perjanjian, yang isinya antara lain, jika buku diterbitkan secara digital, penerbit wajib memberitahu kepada penulis, dan apabila diperjualbelikan maka penulis dan penerbit akan membuat perjanjian baru. Jika, tanpa izin penulis, penerbit menerbitkan buku penulis dalam bentuk digital, maka ini artinya ilegal, melanggar undang-undang hak cipta, dan perjanjian penulis dan penerbit.

Buku yang dibayar berdasarkan royalti hak ciptanya melekat pada penulis, bukan penerbit. Apabila buku telah habis terjual, penerbit tidak mencetak ulang dalam masa 2 tahun, maka haj ciptanya dikembalikan kepada penulis, dan penulis bebas untuk menerbitkannya sendiri atau pada pihak lain. Kecuali buku yang dibeli kontan oleh penerbit. Siapapun, yang memperbanyak atau menyebarluaskan karya penulis tanpa izin dari penulis, berarti melanggar undang-undang hak cipta.

Ada 2 peristiwa pelanggaran hak cipta yang merajalela di negara ini yang saya alami.

1. Seorang penulis buku melaporkan kepada saya bukunya diterbitkan secara digital dan dipasarkan di sebuah toko buku online penerbit buku terkemuka. Dia bilang apakah dia berhak dapat royalti? Harusnya dapat, kata saya. Lalu saya mengecek di katalog ebook penerbitan tersebut. Saya terkejut, buku saya juga ada di sana. Padahal saya tidak pernah melakukan perjanjian untuk penerbitan digitalnya, apalagi menerima royalti. Saya kemudian menelepon toko buku online tersebut dan mempertanyakannya. Mereka gak bisa jawab, padahal ini penerbit terkemuka. Dia buru-buru bilang, buku bapak kami keluarkan dari toko buku online kami. Bayangkan ini penerbit bukan abal-abal, sadar setelah kami beri informasi, ebook yg mereka jual ilegal.

Tindakan pelanggaran ini juga dialami teman penulis buku lain, katanya bukunya bukan cuma dijual di toko buku online tersebut, tapi juga di google play book. Dia mengaku waktu diterbitkan secara fisik dia mendapatkan royalti lumayan. Tapi sekarang serupiah pun tidak ada, walaupun bukunya telah didigital kan dan disebarluaskan tanpa izin.

2. Beberapa waktu di FB ada agen yang cari penerbit untuk kerja sama dengan penerbit untuk mendigitalkan buku-buku penerbit. Saya coba telepon, saya tanya, kenapa Anda cari naskah dari penerbit bukan penulis? Mereka tidak tahu memahu soal UU Hak cipta. Apakah Perpusnas juga tidak tahu menahu soal hak cipta?

3. Saya mengecek buku saya ada di aplikasi i-perpusnas. Ternyata ada ebook saya di sana. Padahal saya merasa tidak pernah membuat perjanjian dengan penerbitan buku saya dan perpusnas, buku saya di e-bookkan.

Saya ingin bertanya pada ahli hukum, apakah ini tidak berarti perpusnas melakukan pelanggaran hak cipta terhadap karya yang ilegal, karena tidak ada izin dari penulis menerbitkannya dalam bentuk digital? Jika asumsi ini benar, maka ini pelanggaran hukum yang sangat serius, yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya sendiri. Bagaimana dengan buku-buku terjemahan? Kita bisa dituntut oleh penulis asing.

Tindakan Perpusnas yang tidak berhati-hati:
1. Dapat mematikan gairah orang untuk menulis dan menyerahkan karya ciptanya kepada negara melalui perpustakaan. Ingat karya itu untuk disimpan di Arsip Negara, bukan untuk di e-bookkan dan disebarkan di perpustakaan. Kalau ebook untuk di perpustakaan, perpustakaan wajib membelinya kepada pengarang atau penerbit.
2. Penulis tidak bisa mendaur ulang karya ciptanya karena bukunya itu telah digitalkan oleh penerbit tanpa izin, dan kemudian disebarluaskan oleh perpusnas.

Kasus ini, bukti negara kita lambat dalam respon perkembangan teknologi. Seharusnya pemerintah sudah mulai membuat perpustakaan digital dan membeli ebook dari penulis, karena dengan perkembangan teknologi sekarang penulis tidak perlu penerbit untuk memasarkan karyanya.
Negara harus secara legal menyebarluaskan ebook karya penulis. Negara harus mematuhi UU hak cipta yang mereka buat sendiri. Ebook adalah hasil karya cipta yang ada harganya, bukan brosur yang bisa disebarluaskan tanpa izin.

Jika selama ini, pemerintah membeli buku fisik yang di dalamnya ada royalti penulis, kenapa perpusnas tidak bersedia membayar royalti penulis yang ebooknya juga harusnya dibeli oleh Perpusnas? Malah perpusnas bekerjasama dengan penerbit yang menerbitkan ebook penulis tanpa izin?

Pejabat perpustakaan mestinya tahu proses perjanjian penerbitan antara penulis dan penerbit. Tahu hak cipta.

Mohon Perpusnas memberikan penjelasan kepada masyarakat secara terbuka terhadap masalah ini. Karena tanpa kejelasan bisa saja para penulis akan membawa masalah ini ke ranah hukum. Karena itu penjelasan dibutuhkan..

Adakah ahli hukum yang bisa berdiri bersama kami para penulis yang karyanya dibajak dalam bentuk digital tanpa dibayar serupiah pun?
Apakah dalam UU hak cipta, disebutkan pelanggaran hak cipta tidak boleh dilakukan, kecuali oleh negara?

Sip:
Bambang Prakuso, penulis 40 buku,
CEO Alfateta Literasi Indonesia.

Rekaman Yosephine dari Lentera mengenai hak hak penulis, khususnya merespons surat di atas.

Tinggalkan Balasan

1 komentar