CUACA YANG TAK TERPREDIKSI MENYEBABKAN SULIT BEREKSPRESI

Literasi23 Dilihat

Selama Bulan Januari dan Februari cuaca tak terprediksi. Dalam situasi langit cerah tetiba bisa hujan lebat selebat-lebatnya. Atau awan gelap menggelantung tapi takada hujan setitik pun. Sungguh kondisi yang sulit diterka.

Memang sekarang ini kita masih berada di musim penghujan. Itu sebabnya curah hujan yang turun sungguh luar biasa derasnya. Di samping itu, ia juga tak berhenti mengalir. Bisa sepanjang hari bahkan sampai beberapa hari tanpa henti.

Bagi para petani curah hujan demikian membawa kebahagiaan yang tak terkira. Karena sawah dan lading mereka membutuhkannya. Mereka dengan riang menerimanya dan bahagia sekali melihat tanamannya tumbuh dengan sehat.

Sebaliknya bagi mereka yang berkarya di kantor dan/atau lembaga-lembaga tertentu, itu suatu hambatan. Sebab mereka akan mengalami kesulitan mencapai tempat kerjanya. Apalagi mereka yang haru pergi dan pulang kantor dengan kendaraan umum. Atau bagi mereka yang berkendaraan roda dua (motor).

Tapi begitulah hidup. Segala situasi merupakan anugerah bagi sekelompok orang tertentu. Tapi di sisi lainnya, merupakan musibah bagi sekelompok lainnya. Sekali pun demikian ia tetap harus diterima dan syukuri. Dan, tak bisa ditolak karena itu adalah peristiwa alam.

Kendala karena cuaca dan hujan tidak hanya dialami oleh para pegawai kantoran. Tapi juga merupakan suatu halangan bagi seorang atau mereka yang suka menulis yaitu yang pekerjaannya menulis. Ia merupakan halangan besar bagi saya pribadi. Kok, bisa?

Saya biasanya langsung menulis di laptop. Menulis secara lengkap runut untuk menghasilkan artikel utuh. Atau tulisan apa saja. Yaitu tulisan yang siap saji. Siap dinikmati oleh orang lain. Siap tayang bila akan ditujukan ke media online.

Yang jadi persoalan adalah baterai laptop sudah tak berfungsi menyimpan energi untuk beberapa lama. Padahal, yang normal sesuai peruntukannya adalah kita dapat menggunakan laptop hingga beberapa jam. Akibatnya, ketika saya menulis harus selalu konek dengan listrik layaknya PC.

Kenapa saya tidak bisa atau tidak berani menulis di kala hujan menerpa bumi? Itu karena saya pernah mengalami trauma. Karena itu, saya takut sekali menggunakan alat-alat elektronik yang konek dengan listrik saat hujan.

Bagaimana traumanya? Pada suatu ketika saya sedang menikmati acara televisi. Entah apa acaranya. Yang pasti saya sedang bersantai di depan layar bergambar itu tanpa menghiraukan situasi. Dan saat itu mendung serta air hujan yang mulai menetes dan terus menderas.

Tetiba televise yang saya sedang tonton mati. Ia kehilangan gambar. Hanya warna hitam yang Nampak. Selain itu terlihat asap dari sekitar kabel pengahantar listrik ke televisi. Aroma hangus pun bertebar di seluruh badannya.

Saya pun tak bisa berbuat banyak. Kecuali hanya terpaku menatap tak berdaya. Akibat kejadian itu, setiap kali hujan, saya tidak berani menggunakan barang-barang elektronik yang sedang konek dengan aliran listrik. Saya jera.

Nah, dengan cuaca yang tak menentu itu membuat saya takmampu berekspresi menulis. Sebab cuacanya terkadang terang benderang tapi dapat berubah gelap dalam sekejap membuat saya gugup. Malah takut mengalami trauma yang sama.

Tetapi saya tak berhenti menulis. Saya tetap memanfaatkan kondisi cerah tak berawan. Artinya ketika langit meriah dengan awan cerah yang bersahabat, saya menulis. Jika gelap, saya matikan dan tutup laptop. Stop menulis.

Karena itu, rasa dan nalar saya berkali-kali dibuat takkaruan. Ia bercampur baur antara rasa jengkel, geram dan bingung. Itu akibat permainan cuaca yang tadi itu. Tidak menentu. Sesuka-sukanya. Dia berubah tanpa aba-aba. Berubah dengan interval yang tidak konsisten.

Oleh karena itu, saya berusaha menyiasati interval perubahan yang tidak jelas. Di saat cerah saya buka laptop dan mulai menulis. Sayangnya, ketika ide sedang mengalir deras, tetiba hujan mendera. Saya pun berhenti dan tutup laptop.

Tapi baru sekejap laptop ditutup, dia cerah lagi. Saya membukanya lagi dan mengeluarkan isi kepala dengan mengetik ketuk huruf-huruf di papan bersimbol. Ketika gairah menelorkan ide sedang meninggi dia berubah gelap. Begitu seterusnya.

Situasi seperti ini yang saya bilang menimbulkan paduan rasa yang tidak karuan. Kondisi ini mengingatkan saya pada sebuah anekdot yang pernah disampaikan oleh Pendeta Chris Manusama.

Begini ceritanya!

Ada seorang petani cengkeh di Ambon yang sedang riang menjemur hasil panennya. Ia dengan sukacita menebar semua cengkehnya rata di atas tikar penjemur lalu menepi dan rehat di bawah pohon. Ia duduk bersiul sumringah dengan bersandar di pohon itu sambil mengibas kipas capingnya demi menghalau rasa gerah karena panas.

Belum juga rasa gerahnya mereda, tetiba awan gelap gejala mau hujan. Ia pun beranjak mengumpulkan kembali cengkehnya yang barusan ditebar. Setelah terkumpul bertumpuk menjadi beberapa gunung, awan cerah lagi dengan terik yang menyengat.

Dia pun urungkan niat mengarungkan tumpukan cengkeh yang bergunung-gunung itu. Malah dengan serta merta ia menebarnya kembali hingga rata seperti semula. Kemudian balik lagi ia menepi menetralkan rasa lelah penatnya seperti yang dilakukan tadi. Bersandar di pohon, bersiul dan mengipaskan caping ke wajahnya biar adem.

Tapi belum sempat wajahnya berasa adem langit berangsur cerah dan terus terang. Dia mulai agak kesal. Namun dilakukannya pula urutan kerja dan rehat seperti yang sudah-sudah. Hingga beberapa kali putaran.

Dengan begitu dia mulai kehilangan rasa riang. Sukacitanya pun menguap lenyap dari hatinya. Malah mulai timbul jengkel dan geram karena seolah dipermainkan oleh cuaca yang kurang ajar. Biarpun begitu, ia sabar-sabarkan dirinya yang mulai taksabar.

Hingga kali yang kesekian dipermainkan cuaca, ia berkacak sembari mendongak ke langit menantang Tuhan. Dengan lantang dia bilang: “Kalo se seng bisa ator itu cuaca, mari sini ator ni cengke!

Begitulah kira-kira yang saya rasakan ketika dipermainkan oleh cuaca. Hanya saja saya tidak menantang Tuhan dan menyuruh-Nya untuk datang mengetik.

Sebagai gantinya, saya menuliskan di buku semua ide yang berdesakan keluar. Saya catat secara runut runtut biar tidak hilang setelah hujan reda. Sesudah situasinya kondusif nyaman baru saya pindahkan ke laptop.

Yang sedihnya adalah akibat permainan cuaca itu pula maka satu tulisan baru bisa selesai dalam beberapa hari. Okelah, yang penting masih bisa menghasilkan jejak pikiran yang tertoreh.

Tabe, Pareng, Punten!

 

Tilong-Kupang, NTT

Selasa, 9 Februari 2021 (22.45 wita)

Tinggalkan Balasan

2 komentar