HARI INI 33 TAHUN LALU

Edukasi29 Dilihat

Ilustrasi: regional.kompas.com

Hari ini adalah hari Sabtu tanggal 27 Februari 2021. Hari dan tanggal tahun ini sama dengan hari dan tanggal pada 33 tahun yang lalu. Yaitu Sabtu tanggal 27 Februari 1988. Ini adalah hari bersejarah dalam hidupku sebagai anak muda.

Aku telah menyelesaikan satu etape lagi dalam lintasan perjalanan hidupku. Hari ini aku dinobatkan sebagai seorang sarjana. Dengan istilah lazimnya, wisuda. Aku diwisuda bersama seribuan sarjana lainnya dari berbagai disiplin ilmu.

Kami akan dinobatkan pada pukul 09.00 wib. Tempatnya di Gedung Serbaguna FPOK IKIP Jakarta. Gedung ini berlokasi di kampus timur yang terdiri dari: FPOK, FPTK dan FMIPA. Gedung ini adalah tempat latihan berbagai cabang olahraga untuk para mahasiswa FPOK. Tapi pada hari ini, ia disulap menjadi tempat seremonial yang cantik.

Di dalam gedung ini akan ada wisudawan dari jenjang S1, S2, dan S3. Selain para wisudawan juga ada para pendamping. Entah itu kedua orangtua wisudawan, atau Istri dan anak, atau suami dan anak, atau calon suami dan/atau calon istri. Juga, tentunya, para petinggi di kampus IKIP Jakarta, para dosen dan karyawannya.

Masing-masing kategori peserta telah disiapkan tempatnya. Semua anggota senat berada di depan, di atas panggung yang lebar. Kurang lebih 12 x 20an meter. Wisudawan di areal tengah. Sedangkan orangtua atau pendamping menempati kampling di sisi kiri dan kanan wisudawan.

Karena sudah diatur secara apik, maka tidak akan ada rebutan seperti naik angkot. Tidak akan ada tindakan spontan, seperti: Duduk empat enam, atau yang kecil dipangku. Semua diatur dengan rapid an tertib. Bahkan cara berjalan ke atas panggung, cara menerima ijazah dan sekembalinya ke tempat duduk. Segalanya tertata mulus.

Masing-masing wisudawan sibuk dan teliti menata diri. Mulai dari menata rambut (bagi yang ada rambutnya), merias wajah, pakaian dan sepatu atau fesyen, termasuk juga menyiapkan parfum yang terbaik. Hari yang sangat luarbiasa. Spesial.

Sejak pagi, ketika matahari baru mengintip malu-malu dari balik ufuk, areal kampus timur itu sudah ramai. Terlihat masing-masing orang memperhatikan diri dengan dibantu oleh pendampingnya. Entah penata rambut dan perias wajah atau penata fesyen. Entah itu dari lingkungan keluarga sendiri atau para profesional yang disewa khusus untuk hari istimewa itu.

Mereka yang lelaki mengenakan kemeja berdasi. Lalu di bagian luarnya dibungkus tutup dengan setelan jas mentereng. Yang perempuan mengenakan kain dan kebaya plus selendang. Pakaian khas perempuan Indonesia yang hanya ada di Nusantara.

Mereka yang telah yakin dengan kerapiannya, sesekali berfoto di sekitar kampus yang memang asri dengan pepohonan hijau. Masing-masing mencari tempat sendiri untuk mengabadikan momen bahagia nan berharga bergengsi itu.

Mereka mengambil gambar diri sendiri atau berdua, bertiga dan berbanyak-banyak sejumlah anggota yang hadir. Dan tidak hanya keluarga yang diajak berpose. Teman dan sahabat yang kebetulan ada juga diajak masuk dalam bingkai kamera. Lalu jeprat, jepret. Cahaya lampu kamera menciprat menjilat dari segala tempat dan arah.

Yang mendampingiku kala itu adalah Papa, Kakak tertua (Susi Nona, begitu kami memanggilnya) dan suaminya. Mereka telah berada di Ibukota RI satu minggu sebelum hari tanggal dan acara bersejarah itu dihelat. Mereka lebih pagi sebagai sikap dan tindakan antisipaitif. Apa kala ada kebutuhanku untuk hari istimewa itu belum terpenuhi, akan diselesaikan secara cepat dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Sikap yang antisipatif itu aku hargai setinggi-tingginya. Dan apa yang mereka khawatirkan tidak terjadi karena aku telah menyiapkan semua yang kuperlu. Jadi mereka hanya menjadi saksi sejarah saja.

Menjadi saksi bahwa semua siap. Menjadi saksi kala pita topi sarjanaku berpindah dari kiri ke kanan. Sekalipun perpindahannya kami lakukan sendiri. Mungkin karena terlalu banyak wisudawan. Khawatir dan takut kalau Ibu Rektor, Prof. Dr. Conny R. Semiawan taksanggup menyelesaikannya hingga tuntas akibat kelelahan.

Sesudah pengukuhan itu masing-masing mengambil jalannya sendiri. Aku dan tim (Papa, Kakak dan suaminya) berfoto dengan latar belakang bendera-bendera kebesaran. Komposisinya adalah: Kakak, Papa, aku dan ipar. Mereka mengenakan corak batik.

Foto: Dok. pribadi

Kami pun pulang dan merayakan hari itu. Perayaan apa adanya. Sangat sederhana. Cukup dengan menikmati nasi bungkus yang kami beli di Warung Padang. Sungguh menyenangkan. Menyenangkan karena aku menang dalam pertarungan selama kurang lebih 4 tahun. Dan menyenangkan karena menikmatinya saat lapar.

Hari ini takbisa lagi kurayakan. Takbisa lagi kunikmati momen itu. Sebab ia telah berlalu 33 tahun silam. Sebab Papa dan Kakakku telah pulang keharibaan Sang Khalik. Sekarang mereka lebih berbahagia dibanding aku saat diwisuda.

Tabe, Pareng, Punten!

 

Tilong-Kupang, NTT

Sabtu, 27 Februari 2021 (08.13 wita)

Tinggalkan Balasan

2 komentar