KUTAUTKAN PERCAYA DIRIKU PADA POLRI

Humaniora73 Dilihat

Ilustrasi: liputan6.com.

Sudah lebih dari dua bulan ini aku tidak menghasilkan tulisan yang laikbaca dan laiktayang. Yaitu tulisan yang laikbaca bagi diri sendiri apalagi untuk orang lain. Juga tulisan yang laiktayang sebagai dokumentasi abadi di blog. Apakah blog pribadi ataupun blog ‘sejuta umat’ seperti: Kompasiana.com., dan terbitkanbukugratis.id.

Aku tidak menghasilkan tulisan karena kehilangan percaya diri dalam menulis. Entah ke mana perginya percaya diriku itu. Apakah dia pergi karena tak ingin bersamaku lagi? Atau mungkin dia minggat gegara merasa nyaman bersama orang lain. Entah!

Ini terjadi sejak adanya badai seroja yang menggoncang NTT, khususnya Kupang dan sekitarnya. Badai hujan dan angin kencang yang berlangsung hanya dua hari. Tapi dampaknya sangat mengerikan menggemparkan.

Gegara seroja semua orang takut. Siapa pun dia dan apa pun kedudukannya tak berdaya diperlakukan dengan kejam oleh oknum tak berperi yang bernama seroja. Takada seorang pun memiliki kekuatan untuk mencegahnya. Hilang keberanian. Percaya diri pun raib, kecuali pada Tuhan Sang Khalik.

Sejak seroja itu betapa beratnya menuangkan isi hati dan pikiran ke atas kertas dan/atau mesin tulis. Setiap ada niatan ingin menata kata dan merangkai kalimat demi meramu alinea, aku macet. Aku seperti terpasung terjerat tak berkutik. Pikiran buntu. Hati mengeluh. Jari jemari kaku. Tak mampu kugarap sebuah  paragraf yang berharga. Kecuali sebuah draf yang kacau balau.

Ketika badai itu menerjang, aku berusaha menggambarkan situasi terkini dengan mengurainya di gawai. Semua yang kutoreh campur baur tak terorganisasi. Tak tertata. Itu karena nalar dan rasa yang puntang cerenang dibuat oleh ‘tamu’ yang tak diundang.

Akibat terjangan seroja kala itu pohon, rumah maupun menara gonjang ganjing. Mereka terus meliuk ke sana kemari seperti penari balet. Karena liukan yang mengancam hidup, aku memapar kejadian yang ‘bersejarah’ dan menyejarah itu secara serampangan. Semrawut. Antara laporan pandangan mata, ucapan syukur, doa dan harapan. Acakadul takkaruan. Seperti ini!

“Hari ini, Minggu tanggal 4 April 2021 jam 12.00 hingga 16.00 wita hujàn deras. Hujan disertai angin kencang. Akibatnya pepohonan bertumbangan, tak terkecuali kedua pohon pepaya yang ada di halaman rumah. Mereka tak berdaya, tumbang memanjang.

Puji syukur, Tuhan Yesus baik. Kedua pohon itu jatuh ke timur. Mereka tidak menimpa rumah. Sungguh Tuhan baik. Semoga semua orang mengalami kebaikan Tuhan. Semoga badai ini cepat reda. Tolong kami, Tuhan Yesus!

Aku sungguh ketakutan yang teramat sàngat. Degup jantung seperti bunyi tapak kaki kuda yang lagi ngambek. Saking takutnya, aku jadi mual. Kiranya aku tetap dalam lindungan Tuhan Yesus yang ajaib.

Pohon lengkeng yang kerempeng tertimpa pohon pepaya. Entah patah atau hanya terkulai? Semoga Hanya terkulai karena beban batang pepaya. Soalnya dia sudah mau berbuah. Sayang sekali kalau patah. Semoga dia baik-baik saja. Tuhan tolong!

Hujan belum reda. Angin sudah mulai melunak. Perlahan mulai berkurang. Semoga dia tidak datang lagi. Cukup sudah. Listrik padam. Barangkali gardunya terganggu. Atau barangkali ada kabel yang putus. Entahlah. Dia sudah padam sejak jam dua siang tadi.

Pohon asam dan pepaya yang dekat pintu gerbang/pagar juga tak mampu menahan terpaan angin. Dua-duanya pasrah pada keperkasaan si seroja. Mereka terkulai tak berdaya. Untung ada pagar yang menahannya. Tapi itu pun tak bisa menyelamatkan. Pasti mati.

Sekarang sudah setengah lima wita. Malam mulai nampak. Sejak siang matahari tak memperlihatkan wajahnya. Hanya awan gemawan berwarna kelabu yang mengelantung menudungi bumi tapi bukan melindungi. Ia malah meneror dengan wajahnya yang kian lama makin menghitam. Dia seperti monster bertaring yang menganga siap menelan bumi.

Beberapa orang tetangga datang mengambil buah dan daun pepaya yang tumbang. Mereka mengambil tanpa permisi. Aku Hanya mendengar suara ribut mereka. Aku tidak menegur apalagi memarahi. Aku justru menunjuk pohon yang satu lagi agar diperlakukan yang sama seperti pohon pertama.

Karena malu dan salah tingkah, ia mengatakan bahwa pohon asam/tambaring miring tertiup angin kencang. Sesudah itu ia melengos pergi sambil berujar bahwa ia akan datang lagi mengambil daun pepaya yang masih tertinggal untuk diolah jadi menu makan malam nanti. Nikmatilah. Batinku berujar. Mereka datang menggerayang kedua pohon pepaya yang tumbang itu kekira pukul 17.00 wita.

Di hari paskah ini orang-orang NTT merayakannya dengan berserah pasrah. Sebab hujan dan angin menerpa menghujam dengan dahsyat dan kejam. Ia bergelora dan terus mengoyak berjam-jam sejak siang seusai kebaktian. Sesaat setelah aku tiba di rumahku di Tilong.

Berita di aplikasi WA sungguh membuat nelangsa. Ada berita tulis, foto, dan juga video. Semuanya menyatakan hal yang sama. Yaitu air dan angin memporak poranda segàla tempat di Kupang dan sekitarnya.

Karena itu, semua orang hanya berdiam di rumah. Takada terdengar suara kendaraan datang dari jalan raya. Semuanya diam dan berserah pasrah. Semua memanjatkan permohonan yang sama: Tuhan, hentikanlah badai ini!

BMKG memberitahukan bahwa ini belum puncaknya. Diperkirakan di hari senin atau selasa. Wow…. Aku Hanya sanggup menyatakan tiga huruf itu. Luar biasa!

Ada video mengerikan yang diunggah di WA. Saat-saat sebuah mobil mewah terimpa pohon yang rubuh. Ia sedang menggelinding nyaman, tetiba badannya remuk tergencet dahan dan ranting hidup. Sungguh memilukan.

Momen itu terekam kamera seseorang dari balik kaca mobil yang persis di belakangnya. Perekam sedang mengabadikan situasi angin dan hujan yang terus mengguyur. Tak dinyana kejadian itu tertangkap mata kameranya. Oh, sungguh naas!

Ada juga video unggahan masyarakat yang memperlihatkan sebuah motor matik terbawa arus deras di salah satu jalan protokol di kota Kupang. Untung banyak orang sedang berjejer di pinggir jalan menyaksikan Kupang dilanda banjir. Motor matik itu pun ditarik dari banjir.

Padahal kawan, dulu ketika banyak daerah kebanjiran, orang Kupang bertepuk dada bahwa tidak akan ada banjir. Karena Kupang berada di ketinggian. Karena Kupang gagah dengan batu-batu karang yang menjulang garang. Ternyata parah. Apa sebabnya?

Banjir ini bersebab dari tiadanya drainase penyalur air yang bergerombol. Selain itu, sikap kurang perduli masyarakat Kupang soal sampah. Banyak orang yang sembarangan saja buangnya. Sampah-sampah yang dibuang dari rumah pun yang dilempar keluar dari balik bilik mobil mewah berseliwer di sepanjang jalan. Semoga ini menjadi pembelajaran.

Selain itu, karena pembangunan rumah dan ruko yang massif menyebabkan kurangnya tanah resapan. Juga karena mereka yang membangun mengesampingkan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Itulah yang menyebabkan banjir tak terbendung. Kupang terkepung terkungkung dirundung banjir.

Malam ini sungguh mencekam karena lampu tetap padam. Ia berdampak pula pada jaringan internet yang enggan konek. Akibatnya komunikasi dengan siapapun jadi terganggu terputus. Yang ada hanya deru angin dan suara curah air yang ribut membentur atap.”

Begitulah sahabat, bagaimana aku menggambarkan keadaan sekitarku saat seroja lalu. Tapi goresan itu tidak aku tindaklanjuti karena itu tadi, tak laikbaca. Untungnya belum dibuang sehingga aku bisa perlihatkan padamu.

Kenapa tidak aku rapikan lalu teruskan ke media (baca: Blog) untuk dibaca banyak orang? Pertama, karena listrik di kampung kecilku ini padam selama kurang lebih sebulan sesudah seroja. Laptop tidak bisa difungsikan kalau tidak terhubung dengan listrik. Kedua, karena tulisan-tulisan yang sudah kutayangkan di blog dinilai tak bernilai. Takada gunanya. Takada pembelajaran darinya. OMG, kejam nian!

Dampak dari alasan kedua di atas, aku kehilangan percaya diri untuk menulis. Otak dan hati seolah kosong. Nalar dan rasa seperti memprotes. Mereka takmau berespon. Mati. Aku mencoba segala cara untuk mengembalikan dan menggerakkannya untuk berkarya. Namun tak satu pun tulisan terlahir. Nihil.

Dari pengalaman buruk yang berdampak nirkarya ini aku mendapat satu pembelajaran. Bahwa sebagai penulis, apalagi pemula sepertiku, berusahlah dan berjuang membuang segala sembilu kritik. Dari mana pun datangnya jangan biarkan dia merobek benteng kreasi, menyayat nalar dan rasa. Sebab sekali dia terluka, sukma jadi trauma.

Hari ini, Kamis tanggal 1 Juli 2021 aku menyulam kembali benteng kreasi yang robek. Aku memaksakan keberanianku untuk menulis. Aku tautkan percaya diriku pada Kepolisian Republik Indonesia yang sedang merayakan hari jadinya yang ke 75. Semoga dengannya, aku pun ikut dan terus dengan gagah bergerak ke depan meninggalkan jejak tapak kepengaranganku sebagai sebuah karya intelek. Semoga!

 

Tabe, Pareng, Punten!

 

Tilong-Kupang, NTT

Kamis,1 Juli 2021 (10.20 wita)

Tinggalkan Balasan