Ilustrasi:pooc.org.
Ada banyak respon ketika berbagi pengalaman seputar tulis-menulis, karang-mengarang dua hari lalu. Respon yang saya maksud adalah berupa pertanyaan dan/atau komentar. Mereka berasal dari seluruh pelosok Nusantara. Sedangkan saya berada di Tilong. Maka tulisan ini saya beri judul: Indonesia Meresponi Tilong.
Tahapan-tahapan berdiskusi di dunia maya adalah sampaikan dulu lalu merespon kemudian. Ketika materi disampaikan, peserta menyimak dengan saksama. Apabila sudah selesai paparannya barulah mereka diberi kesempatan untuk memberik tanggapan.
Oleh karena itu, saya akan menayangkan kembali interaksi antara Indonesia dan Tilong melalui tulisan ini. Saya akan mendahulukan pertanyaannya, kemudian jawaban akan mengikuti di bawahnya. Semoga tanya jawab ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca.
Dan demi kemaslahatan banyak orang, saya tidak akan mencantumkan nama penanya. Ini saya sengaja. Agar harkat penanya tetap tejaga sekiranya ada pertanyaan yang kurang berbobot dan tidak layak menurut pembaca. Biarlah itu menjadi rahasia saya dan penanya.
Selain itu, semua pertanyaan akan ditampilkan dengan huruf miring. Jawabannya dengan huruf normal, tidak dimiringkan. Ini dimaksudkan agar ada perbedaan antara pertanyaan dan jawaban. Supaya gampang ditelusuri sekiranya ada yang perlu dicari.
Interaksi Indonesia – Tilong
Apa yang sebaiknya didahulukan ketika menulis, menentukan judulnya atau bagaimana? Mohon pencerahannya.
Bebas. Bisa judul dahulu. Bisa juga langsung tuangkan saja semua idenya. Ketika sudah selesai idenya dituliskan baru dibuat judulnya. Kalau ada ide yang mendesak dan mau dituliskan, tuangkan saja di laptop. Sesudah itu barulah diberi judul.
Sejak kapan bapak mulai menulis?
Ada tiga tahapan yang saya lalui untuk menulis. Pertama, ketika di bangku kuliah. Terbiasa dengan menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Kedua, pada saat mulai suka membaca buku-buku teori menulis. Ketiga, waktu mengikuti kelas menulis daring.
Butuh waktu juga, ya, bapak?
Ya. Begitulah yang saya alami dan lalui. Tapi itu tidak mesti diikuti. Masing-masing kita memiliki keunikannya tersendiri. Jadi untuk bisa menulis tidak perlu melalui tahapan-tahapan itu. Langsung saja menulis. Teori belakangan. Sebab bila belajar teorinya dahulu, kita akan takut berekspresi. Teori itu menuntut sebuah kesempurnaan. Dan itu berat bagi yang baru mau mulai menulis.
Apa kiat untuk memotivasi diri agar giat atau gemar membaca?
Suka dan giat membaca itu akan timbul karena adanya rasa haus dan lapar akan pengetahuan. Sejak kuliah saya sudah senang menata buku di rumah seperti di toko buku. Saya tata berderet-deret dengan judulnya terlihat jelas. Maka setiap kali saya lihat, ada rasa ingin tahu isinya. Dengan sendirinya, saya membuka dan membaca.
Awalnya hanya baca selintas. Lama-kelamaan jadi betah baca berlama-lama. Orang biasanya tidak suka membaca sebab merasa tidak butuh bacaan. Merasa sudah memiliki semuanya dan sudah tahu banyak juga banyak tahu. Membaca tidak boleh hanya sebatas hobi, kalau ingin menjadi penulis keren.
Para penulis hebat seperti: Remy Sylado, Arswendo atmowiloto, N.H. Dini, A.A. Navis. Mereka menceritakan bagaimana mereka tumbuh menjadi penulis, karena dikelilingi buku. Tiada hari tanpa membaca.
Satu lagi, Romo Magnis Suseno yang berkembangsaan Jerman tetapi hijrah menjadi penduduk Jawa. Bukunya tidak hanya di ruang perpustakaan. Bahkan di kamar mandi pun penuh buku. Alasannya biar di mana-mana selalu membaca. Itulah yang saya baca dari kisah-kisah mereka. Ingin menjadi penulis hebat harus dikelilingi buku-buku.
Setiap saya mau menulis selalu gagal. Lalu saya ganti cerita tapi gagal lagi. Baru beberapa baris ganti lagi ceritanya karena gagal diselesaikan. Bagaimana trik menulis supaya selesai bagi saya yang masih awam ini?
Sebaiknya jangan terus-terusan diganti. Kalau merasa buntu, istirahat saja. Dalam menulis, biasa disebut, writer’s block. Kebuntuan menulis. Kalau buntu, jangan dipaksa. Nanti bisa disambung lagi. Tulisan yang sudah ada disimpan. Ketika melihatnya lagi akan ada ide untuk meneruskan lanjutannya.
Kalau selalu dibuang, akan kehilangan percaya diri. Saat rehat, baca buku atau baca tulisan yang mirip dengan tulisan kita biar dapat ide segar lagi untuk dilanjutkan. Kalau dibuang, akan selalu mulai dari nol. Ini membuat kita malas untuk menulis.
Karena itu, terus saja menulis. Biarkan ide yang mengalir diuraikan semua. Kapan idenya selesai baru berhenti. Lalu dibiarkan. Besoknya baru membuka lagi dan membaca dengan teliti. Kalau ada yang tidak pas, diganti atau ditambahkan. Jangan berhenti di tengah jalan.
Materinya sungguh luar biasa , sangat menarik dan menginspirasi. Sungguh bangga dan bahagia bisa bergabung bersama penulis hebat di WAG ini. Bisa banyak belajar dan menimba ilmu tentang menulis. Bapak penulis aktif di kompasiana, apakah semua orang boleh mengisi tulisan di situ dan apakah ada syarat-syarat khusus?
Setahu saya, siapa saja boleh menjadi kompasianer, sebutan bagi penulis di Kompasiana. Syaratnya pasti ada. Pastinya harus mendaftar langsung di laman kompasiana. Kemudian wajib mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh pengelolanya.
Saya sangat setuju bahwa teori menulis itu penting dan dibutuhkan (baca: harus dilahap), apabila seseorang sudah menghasilkan karya. Saya merasa lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar teori menulis daripada menghasilkan karya tulis. Agar menulis menjadi kebiasaan setiap hari, apa yang perlu menjadi prioritas? Karena menulis itu banyak misalnya: Artikel, esai, dan buku.
Jangan berpikir prioritas apa. Di tahap awal, menulis saja apa yang mendesak ingin disampaikan dari pikiran dan hati Anda. Ketika selesai dan jadi esai, syukurlah. Atau jadi artikel, biarlah. Semakin sering menulis, akan semakin terampil dan kian mudah memilah milih dan menentukan apa yang ingin ditulis.
Kalau sudah bisa menulis satu paragraf, itu sudah langkah awal yang keren. Kemudian lanjutkan ke paragraf berikut. Itu yang biasa saya lakukan yaitu duduk di depan laptop dan mulai mengetik. Ketika dapat satu alinea, alinea berikut biasanya mengikuti. Sampai tulisan itu selesai.
Jadi jangan terkekang dengan teori. Itu sangat mencekik. Kita tidak bisa kreatif kalau terkungkung terikat teori. Mainkan saja jari-jemari. Biar dia menari indah di atas tuts huruf dan lihatlah apa yang terjadi.
Apakah ada tips untuk menghilangkan kebiasaan the power of kepepet? Saya biasanya menulis menunggu moodbooster. Ketika sudah ketemu, maka hanya dalam 1 jam bisa kelar.
The power of kepepet dipakai juga tidak apa. Intinya ada tulisan yang dihasilkan. Memang dari segi manajemen waktu kurang bagus. Tapi kalau kondisi tidak memungkin, apa boleh buat. Misalnya karena kerja atau ada hal lain yang harus diselesaikan. Tidak masalah. Apa yang saya lakukan adalah terus membiasakan diri menulis. Kalau tidak menulis, menyunting tulisan lama atau membaca buku.
Kesimpulan
Teman-teman pegiat literasi Indonesia yang hebat, mulailah menulis dengan sukacita. Jangan berpikir hasilnya. Membiasakan saja dan biarkan ide mengalir tertuang dari pikiran dan hati. Saya menyebutnya dengan olahnalar dan olahrasa. Menulis dan menulislah.
Jangan menunggu besok. Biarlah besok menjadi misterinya sendiri. Sebab setiap hari memiliki keunikan dan kesusahannya masing-masing. Hari ini adalah hari ini. Maka menulislah. Takada yang mustahil jika kita lakukan yang terbaik untuk diri sendiri, ia akan berbuah manis.
Tabe, Pareng, Punten!
Tilong-Kupang, NTT
Rabu, 31 Agustus 2021 (00.20 wita)