Demokrat dan Drama yang Berulang

Politik0 Dilihat

MANUVER politik yang dmainkan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) usai bakal calon presiden (capres) Anies Rasyid Baswedan menggandeng Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, kian menempatkan partainya dalam posisi underdog dalam konteks Pilpres 2024.

Upaya untuk masuk ke koalisi lain setelah hengkang dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) tak lebih hanya sikap emosional sesaat. Koalisi Indonesia Maju (KIM) maupun koalisi yang  digalang PDIP tidak akan mau menerima Demokrat selama masih memasang target menjadikan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon wakil presiden (cawapres).

Bahkan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto secara tegas memberi syarat SBY hanya bisa bertemu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri jika sudah secara resmi mendukung Ganjar Pranowo. Artinya, Demokrat harus memberikan dukungan mutlak tanpa syarat agar keinginan kader-kader Demokrat mempertemukan SBY dengan Megawati dapat terwujud.

Tanpa disadari, menuver kader-kader Demokrat justru kian menurunkan daya tawar (bargaining position) partainya karena tidak lagi dianggap sebagai mesin politik yang dapat memberi aura kemenangan selain beban yang besar. Partai lain akan “takut” menggalang koalisi dengan Demokrat karena dengan mudah dicap sebagai pengkhianat, dan sebut lain yang merendahkan dan tidak layak disematkan, manakala tidak menuruti kemauannya.

Ingat, sikap “tantrum” Demokrat tidak hanya saat ini saja. Mari kita lihat sejenak manuver Partai Demokrat di Pilpres 2019. Setelah gagal masuk ke koalisi yang mengusung pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin, SBY menuding ada partai lain yang menghambat.

Kader Demokrat mengamini partai yang tidak menerima kehadiran Demokrat di koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin adalah PDIP. Mendapat tudingan itu, PDIP pun membantah dengan keras pernyataan SBY.

Secara resmi Demokrat kemudian mendukung pasangan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Namun belakangan, Demokrat membebaskan kadernya untuk menentukan sendiri pilihan politiknya, termasuk mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin.

Politik dua kaki tersebut ditengarai untuk mengamankan AHY usai Pilpres 2019. Meski tidak terucap secara gamblang, kita dapat memaknai ada upaya agar AHY dapat masuk kabinet siapa pun yang memenangi Pilpres 2019. Setelah Jokowi-Ma’ruf terpilih, suara-suara yang menghendaki AHY mendapat kursi dalam kabinet sering mencuat, termasuk setiap menjelang reshuffle Kabinet Indonesia Maju.

Jadi wajar jika sekarang partai lain “alergi” membangun koalisi dengan Demokrat. Sebab jika sampai ngambek karena keinginannya tidak terpenuhi, terbuka kemungkinan akan “dipermalu” seperti yang dilakukan terhadap PDIP, Anies dan Partai Nasdem.

Atas dasar ini, rasanya mustahil Demokrat dapat membentuk koalisi baru dengan menggandeng Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PKS dikenal sebagai partai yang memegang komitmen dan jarang membuat drama. Saat SBY batal menggandeng kader PKS  Hidayat Nur Wahid di Pilpres 2009 karena lebih sreg dengan Boediono, PKS tetap setia mendukung SBY.

Demikian juga PPP yang saat ini sudah menyatakan bergabung dengan PDIP untuk mengusung Ganjar Pranowo. Sekali pun PDIP tidak mengambil cawapres dari PPP, sulit bagi partai berlambang Kabah itu untuk menerima tawaran Demokrat. Alasannya sederhana, PPP membutuhkan “cantolan” koalisi yang kuat demi mengamankan eksistensinya karena diprediksi tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di Pemilu 2024.

Di sisi lain, upaya merapat kepada PDIP, dan juga Gerindra, akan mengecewakan kader-kader di bawah yang selama ini menyeru tagline perubahan dan bersikap oposan terhadap pemerintah. Tidak hanya kepada Presiden Joko Widodo, tetapi juga partainya.

Mungkin tidak terlalu sulit manakala elit politik yang sebelumnya berseberangan lalu ngopi bareng sambil merundingkan bagi-bagi kekuasaan. Tertawa riang menceritakan gesekan sebelumnya yang kini dianggap lelucon.

Namun tidak demikian dengan kader dan simpatisan di level grass root. Mereka sudah terlibat dalam perdebatan panjang dan (kadang) menyakitkan hingga menjadi “dendam pribadi”. Tidak mudah bagi mereka untuk berbalik menjadi pendukung pihak-pihak yang telah membuatnya sakit hati.

Lebih lucu lagi, sekedar tidak menyebutnya ngenes, jika sampai Demokrat bergabung dengan koalisi PDIP atau pun Gerindra, tanpa mendapat jatah cawapres. Hanya karena antipati dengan KPP dan Anies, lantas mengorbankan aspirasi pendukungnya tanpa imbalan apa pun.

Atau jangan-jangan Demokrat akan mengambil sikap seperti pada Pilpres 2019, mendukung salah satu capres selain Anies, tetapi membebaskan kader dan pendukungnya untuk memilih capres lain, termasuk Anies? Jika hal itu yang terjadi, maka sebaiknya Demokrat belajar pada PKB.

Bukan karena saat ini PKB lebih besar (58 kursi DPR) dari Demokrat (54 kursi DPR), tapi cara berpolitik Cak Imin sangat lugas. Sejak awal sudah mendeklarasikan diri sebagai capres, minimal cawapres.

Ketika teman di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) yakni Partai Gerindra, menggandeng partai lain (Golkar dan PAN)  dan mengubah nama koalisi menjadi KIM tanpa melibatkan PKB, Cak Imin hengkang zonder drama demi tercapai tujuan politiknya.

Ke depan, sebelum membangun koalisi dengan partai lain, sebaiknya Demokrat mematok target yang jelas dan terbuka agar kejadian memilukan di Pilpres 2019 dan (mungkin) Pilpres 2024, tidak terulang.

Salam @yb

Tinggalkan Balasan