Celoteh Dari Pelosok Negeri

Perjalanan ke salah satu perkampungan di Tana Toraja. Sumber Foto: Dok. Pribadi

Kurikulum Merdeka telah memasuki usianya yang kedua. Implementasinya selalu unik dan berdampak. Unik karena setiap tempat, setiap sekolah memiliki keunikannya masing-masing. Berdampak karena praktik baik yang terjadi di sana membawa perubahan di sekolah.

Kisah Sang Kepala Sekolah Baru

Ada kisah yang sangat bermakna dan berdampak signifikan di kurikulum merdeka. Pada salah satu kegiatan Workshop Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) di Kabupaten Tana Toraja, saya mendapatkan satu kisah inspiratif. Kisah ini bersumber dari salah seorang kepala sekolah yang hadir di IKM.

Di sela-sela waktu istirahat setelah sholat dan makan siang, seorang guru menghampiri saya. Saat itu saya sedang memperbaiki tampilan PowerPoint di laptop. Sejenak kami bercakap, ternyata guru tadi adalah seorang kepala sekolah. Ia menjadi kepala sekolah pada salah satu sekolah jenjang sekolah dasar. Lokasi sekolahnya jauh di pinggiran Kabupaten Tana Toraja. Berbatasan dengan Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Luwu.

Beberapa tahun lalu bapak kepala sekolah ini pindah tugas ke sekolah tersebut. Pada rapat penaikan kelas, ia mendapatkan satu momen pengambilan keputusan yang baginya aneh. Kepada peserta rapat ia berkata, “Memang beginikah? Keputusan akan diambil setelah makan siang?”

Keputusan rapat tertunda karena kepala sekolah mendapati dalam rapat penaikan kelas bahwa ada satu murid yang akan tinggal kelas lagi untuk keempat kalinya di kelas 1 SD. Rapat dewan guru menganjurkan agar murid tersebut belajar kembali di Taman Kanak-Kanak karena ia telah 4 kali tinggal kelas. Ia menelusuri di mata pelajaran apa murid tersebut tidak tuntas. Menurut laporan wali kelas, murid tersebut tidak tuntas di pelajaran Penjaskes.

Aksi Nyata Gaya Belajar Kinestetik

Setelah makan siang, kepala sekolah mencari tahu informasi murid yang akan tinggal kelas lagi itu. Akhirnya ia mendapatkannya. Ia bertanya pada murid tersebut, “Apakah kamu bisa membaca, nak?”

“Bisa, pak.” balas murid.

Kepala sekolah melakukan tes sederhana mulai dari pengucapan huruf, kata hingga kalimat. Murid mampu memberikan respon dengan baik.

“Apakah bisa menghitung, nak?”

“Bisa, pak.”

Murid tersebut bisa mengenali angka dan melakukan operasi perhitungan sederhana dengan baik.

Bapak kepala sekolah berpikir lagi, lalu ia melanjutkan, “Mengapa kamu bisa tidak tuntas di Penjaskes?”

Jawab sang murid, “Saya tidak tuntas di materi lari pak.”

Kemudian bapak kepala sekolah mendapatkan ide sederhana untuk mengetahui apakah murid tersebut memang bisa lari atau tidak. Ia mengambil beberapa batu lalu ia tulis beberapa kata dan bilangan pada batu-batu tersebut. Ia tempatkan batu-batu yang telah memuat tulisan di ujung halaman sekolah. Ia memperlihatkan kepada sang murid sebuah tindakan berlari mengabil tulisan di ujung halaman sekolah. Lalu ia tepuk pundak sang murid dan berkata, “Nak, apakah kamu melihat tulisan huruf B di sana?”

“Saya lihat pak.”

“Sekarang berlarilah ke sana dan ambil batu bertuliskan huruf B dan bawa ke sini.”

Sang murid melakukannya dengan baik. Ia bisa berlari. Hal yang sama kepala sekolah lakukan untuk angka dan perhitungan. Sang murid juga bisa berlari dan mengambilnya.

Berdasarkan tindakan yang bapak kepala sekolah lakukan, ia berkesimpulan bahwa murid tersebut tidak mengalami masalah dengan kemampuan kognitifnya. Murid tersebut membutuhkan pendekatan yang lebih menjawab kebutuhan belajarnya. Gaya belajar murid tersebut adalah  kinestetik. Ia harus melihat sebuah gerakan nyata agar ia bisa memahami pelajaran.

Bapak kepala sekolah bertanya kepada saya, “Apakah tindakan saya sesuai dengan Kurikulum Merdeka?” Saya jawab, “Sangat sesuai, bapak telah melakukan sebuah asesmen yang benar-benar mengubah perlakuan guru kepada murid, secara khusus di sekolah bapak.”

Tidak ada cerita kami selanjutnya bagaimana bapak kepala sekolah berkomunikasi dengan guru Penjaskes di sekolahnya.

Tamat SD Usia 17 Tahun

Pada akhirnya murid tersebut menamatkan pendidikannya di jenjang sekolah dasar di usia 17 tahun. Walaupun usia tamat SD-nya setara dengan usia murid yang tamat SMA, namun kemampuan dan kompetensinya tidak diragukan. Berdasarkan cerita kepala sekolah, murid tersebut berhasil masuk ke salah perguruan tinggi negeri dengan membawa nilai tertinggi dari sekolahnya.

Mungkin secara usia, murid ini terlambat tamat SMA. Satu pesan penting di sini adalah selaku pendidik kita harus kreatif dan benar-benar memahami setiap karakteristik anak didik kita. Gaya belajar murid, audio, visual dan kinestetik harus menjadi perhatian penting guru pada tahap asesmen. Dengan demikian, layanan pembelajaran benar-benar akan berpihak pada murid.

#bergerakuntukberdampak

Tinggalkan Balasan