AKU MERASA GAGAL

Aku mulai pembelajaran dengan menyapa anak-anak di WAG. Sapaanku di voicenote kubuat dengan penuh semangat. Aku berharap tahun ajaran baru membuat mereka kembali dengan semangat yang baru pula.

Tak ada jawaban atau komentar di sana. Aku tetap melanjutkan pembelajaran. Kuberikan materi dengan vidio yang sudah aku persiapkan. Aku juga menyiapkan materi di blog pribadi untuk mereka belajar lebih banyak.

Diakhir pembelajaran aku berikan tugas yang sesuai dengan materi. Tidak banyak hanya satu soal saja. Tujuanku hanya ingin mengetahui mereka menyimak materiku atau tidak. Ada seseorang yang mengetik. Terlihat komentar dari salah satu anak, yang mengomentari tugasku.

Sesaat aku terdiam. Aku tidak percaya anak itu menuliskan hal seperti itu. Ku baca lagi komentarnya, ada rasa sedih bercampur kesal. Aku tidak menyangka anak itu memberikan komentar yang membuatku merasa tidak nyaman.

Aku mencoba menelponnya. Berkali-kali ku putar nomor itu, tapi tidak diangkat. Kucoba menggunakan telpon biasa, malah dialihkan. Aku segera menghubungi wali kelasnya dan meminta nomor telpon orang tuanya.

Wali kelas segera memberikan nomor orangtuanya. ku simpan dan segera ku hubungi. Telpon segera di angkat, dengan meminta maaf aku perkenalkan diriku dan menanyakan keberadaan anaknya. Orang tuanya bilang kalau dia tidak tahu dimana anaknya, dia sendiri sedang di tempat kerja.

Aku berpesan nanti malam akan menelponnya lagi dan ingin berbicara dengan anaknya. Orang tuanya sedikit cemas dan menanyakan ada apa dengan anaknya. Aku bilang hanya ingin berbicara saja, karena nomor anaknya sulit di hubungi.

Malamnya aku coba menelpon nomor anak tersebut, tapi tetap tidak diangkat. Aku kembali memutar nomor orang tuanya. Terdengar suara dari sebrang sana, aku memintanya untuk memberikan ke anaknya.

Terdengar suara anak perempuan, aku menarik napas panjang. Aku pikir anak laki-laki ternyata aku salah. Aku mencoba bertanya dengan santai apakah dia yang memberikan komentar saat aku selesai memberikan materi di WAG.

“Komentar yang mana bu?” tanyanya seolah tak bersalah. Aku screenshoot komentarnya dan ku kirim ke handphonenya. Dengan ringannya dia bilang, kalau dia salah kirim. Katanya dia tidak sengaja kirim ke grup sekolah, niatnya mau ke temannya.

Aku percaya dan memintanya untuk berhati-hati dan jangan terulang lagi mengirim komentar walaupun ke teman sendiri. Aku menutup telponnya dan tidak lupa berterimakasih kepada orangtuanya. Minggu berikutnya aku kembali memberikan materi ke WAG.

Setelah selasai memberikan materi, aku menanyakan apakah mereka mau bertanya. Tapi bukan pertanyaan yang muncul, sebuah stiker dikeluarkan oleh anak yang sama. Stiker yang tidak pantas dan kurang sopan.

Aku langsung menelponnya lewat WA, tapi tidak diangkat. Aku mencoba menelponnya lewat telpon biasa, masih tetap dialihkan. Akhirnya aku hubungi walikelasnya dan memintanya untuk memanggil anak tersebut ke sekolah.

Besoknya anak itu datang dengan orangtuanya ke sekolah. Di dampingi guru BP aku menjelaskan permasalahan anak tersebut. Orangtuanya mendengarkan dan menerimanya. Dia bilang “Anak saya seperti ini bukan saja kepada ibu tapi kepada saya juga, status di media sosialnya juga berisi kata-kata kasar.”

Kami bergantian menasehati anak tersebut. Anak itu manggut tanda mengerti, dan berjanji untuk bersikap lebih baik lagi, baik pada orang tua, guru, teman bahkan orang lain. Aku cukup puas dengan jawaban itu, walaupun belum terlihat hasilnya, setidaknya anak tersebut sudah berjanji untuk tidak melakukannya lagi.

Pendidikan anak memang penting. Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah pendidikan karakter. Masa pandemic covid dengan pembelajaran daring, membuat para guru sulit memberikan tauladan baik dan karakter yang kuat. Melihat sikap anak tersebut, aku merasa gagal dalam mendidik mereka.

#Kisah Dibalik Pembelajaraan Daring
#KMAA-6

Tinggalkan Balasan