Aku cek google formulir di my drive. Ku lihat respondennya. Baru 80% dari total siswa yang mengisinya. Mungkin mereka kesulitan masuk ke google formulir atau memang malas untuk mengisinya.
Ku klik spreadsheet dan ku copy ke data nilai.
Kususun data siswa berdasarkan kelas dan diurutkan sesuai abjad. Ku simpan di memori leptop. Satu persatu ku amati nilai mereka. Ku hembuskan napasku ada rasa kecewa dan heran saat melihat score mereka.
Kucoba hubungi walikelas sebelumnya. Kutanya siapa saja dikelas itu yang sering mendapatkan nilai bagus dan nilai kurang saat dulu bertatap muka. Aku segera mencatat nama-nama anak tersebut.
Ku bandingkan nilai-nilai di monitor dengan catatan ditanganku. Aku mengeryitkan dahi. Ada sesuatu yang membuatku sedikit cemas. Apa walikelasnya salah menyebutkan nama-nama itu? atau memang anak-anak itu sudah berubah.
Aku coba amati kembali kertas ditangan dan monitor di depanku. Tidak berubah masih sama seperti yang tadi. Aku kembali menghembuskan napasku perlahan. Dan mulai mencari cara agar keraguanku terhapuskan.
Pembelajaran online kembali dimulai. Aku kembali menyiapkan soal di google formulir untuk mereka. Salah satu diantara mereka protes dan diikuti teman-temannya. Mereka mengeluh “Baru minggu kemaren ulangan harian, sekarang sudah dikasih soal, mana soalnya essay lagi.”
Aku hanya tersenyum melihat keluh kesah mereka di WAG. Aku memang sengaja memberikan soal dalam bentuk essay, dengan harapan mereka bisa mengerjakan soal itu dengan pemahaman mereka sendiri. Aku hanya ingin tahu kemampuan mereka sekaligus kemampuanku dalam memberikan materi.
Selang satu hari kubuka jawaban mereka. Satu persatu kuamati. Aku kembali mengeryitkan dahi. Jawaban mereka tetap saja membuatku ragu. Kembali kubandingkan nilai mereka dengan nilai ulangan minggu lalu, tetap sama.
Yang menjadikan aku ragu bukan nilainya, tapi nama dari pemilik nilai tertinggi. Nama itu justru nama yang biasa mendapatkan nilai terendah di kelasnya. Anak-anak bisa saja berubah. Berubah menjadi rajin atau sebaliknya.
Tapi aku tetap saja ragu. Naluriku tetap saja tidak yakin kalau itu hasil murni. Tapi sudahlah nilai tidak harus dari kemampuan menjawab soal saja. Aku mencoba meyakinkan diriku. Untuk menerima kenyataan dan memahami kalau itu bukan patokan untuk kemampuan mereka.
#Kisah Dibalik Pembelajaraan Daring
#KMAA-13