Perjalanan ke Lapangan
Sungguh sial, di tengah perjalanan kami kehujanan. Bahkan di tempat tujuan ternyata hujan semakin deras. Jalan yang kami lalui bukan jalan yang kukenal. Lebih terlihat seperti sawah. Licin dan mengotori kendaraan plus penumpangnya.
Tempat apaan seperti ini? Aku ngomel tak karuan. Aku mau turun dari motor tapi dibilangi kalau lokasi masih jauh. Oh…ayah, kenapa aku dikirim ke sini hari ini? Tadinya Pras saja sudah cukup, gumamku.
Perjalanan sungguh melelahkan. Aku membayangkan betapa lelahnya sampai rumah.
“Mbak Ajeng kan cuma membonceng, tak selelah saya, mbak…”
Pras mengomentari ucapan yang terus saja keluar dari mulutku.
“Pukul segini saja kita belum sampai tujuan, mau pulang jam berapa coba?” protesku.
Pras tertawa. Ah… terlihat lebih handsome dan cool. Kukibaskan tanganku untuk menghalau pikiran aneh di otakku.
“Paling tidak di lapangan selama 3 jam. Bisa lebih juga kalau hujan tak kunjung reda…”
Aku mendelikkan mataku. Kembali tawa Pras kulihat. Sudahlah, tak usah tertawa lagi, bisa bergetar hatiku kalau begini terus, batinku.
“Lah…kita kemaleman dong…”
“Hahaa…sudah biasa, mbak. Saya sering nginep di lokasi yang gelap, dingin dan banyak nyamuk…”
Aku jadi ngeri sendiri membayangkan kalau sampai menginap di tempat terbuka dengan kondisi seperti yang dikatakan Pras tadi. Bersamanya lagi. Hanya berduaan. Hiiii…
Pras tersenyum melihatku bergidik.
“Jangan khawatir, nanti kita menginap di rumah warga sekitar sini kalau kemalaman. Aku kenal dengan beberapa keluarga…”
Pras menjelaskan itu, seakan bisa membaca pikiranku.
Akhirnya sampailah kami di tempat yang dimaksud ayah. Hujan belum menunjukkan akan berhenti. Pras berhenti di sebuah gazebo di pinggir desa tujuan kami.
“Kita berteduh di sini dulu, mbak…”
Aku turun dari jok penumpang. Aku agak berjinjit untuk menuju gazebo. Untuk melindungi kepala, kuangkat tasku ke sisi kanan atas kepalaku.
Aku mengambil tempat duduk di sisi kiri gazebo. Pras menyusul disisi kanan. Aku memandangi langit abu- abu. Tanda hujan akan lama. Aku galau setengah mati. Apalagi kami belum berkeliling ke proyek kebun teh.
“Mbak Ajeng nggak usah khawatir. Saya akan menjaga dan melindungi mbak,” ujarnya sambil menatap ke arah langit, sama sepertiku.
“Hah…??” aku mengernyitkan dahiku. Pras menyadari ada yang salah dari ucapannya.
“Maksud saya, selama kita di sini, saya bertanggung jawab atas keselamatan mbak Ajeng. Tak mungkin neko-neko,” ralatnya.
Lama kami menikmati hujan di gazebo sederhana di pinggiran desa. Rasanya mataku tak bisa diajak kompromi.
“Mbak Ajeng istirahat dulu saja. Saya menjaga mbak…”
Aku sedikit ragu tapi kukira omongan lelaki cool di depanku bisa kupercaya. Aku mengubah posisi duduk agak ke sisi dalam gazebo. Kurebahkan tubuhku. Tas kugunakan sebagai bantalnya.
“Mbak kenakan jaket saya ya. Biar nggak masuk angin.” Pras menawarkan jaketnya untuk kukenakan. Kutolak tawaran itu.
“Mas Pras nanti juga bisa masuk angin kalau nggak jaketan. Bahaya kalau mas Pras masuk angin di sini. Kita nggak bisa pulang nanti…” aku tersenyum diikuti senyum manis Pras.
Segera kualihkan pandanganku begitu kulihat senyum Pras yang menawanku. Ah… kukira itu karena aku masih mengingat Tyo, mantanku yang mirip dengan Pras.
Hawa dingin menusuk tulang tak kuhiraukan. Aku harus kuat dengan hawa itu. Toh salahku juga, kenapa mengenakan pakaian seksi di tempat seperti ini. Lama kelamaan mataku tak bisa memandang apapun. Aku terlelap.