Segala hal yang terjadi di dunia ini, semuanya atas kehendak Illahi. Tak ada keraguan sedikitpun akan hal ini. Kelahiran, jodoh dan maut sudah digariskan olehNya.
Betapa tingginya ilmu manusia tetapi tetap tak bisa menandingi kuasaNya. Sebut saja dokter kandungan. Dengan kehebatan ilmunya, dia bisa memperkirakan HPL seorang bayi dengan menghitung dari masa hari pertama menstruasi terakhir. Kenyataannya perkiraan itu bisa meleset.
Urusan jodoh juga misteri Illahi. Kedekatan dengan seseorang ternyata tidak menjamin langgengnya sebuah hubungan. Berpacaran sekian tahun, tetapi tak berjodoh. Malahan yang semula tak ada hubungan apapun, tiba-tiba melangsungkan akad nikah.
Demikian juga tentang kematian. Manusia tidak bisa mengambil sebuah pendapat bahwa orang tua akan meninggal terlebih dahulu, orang yang lebih muda menyusul kemudian. Kenyataan tidaklah seperti itu. Manusia yang tadinya terlihat begitu sehat, ternyata dalam beberapa jam berikutnya telah berpulang padaNya.
Hal itulah yang terjadi pada sosok perempuan berhati bidadari, ibuku. Tak ada tanda-tanda bahwa beliau akan berpulang begitu cepat.
Tahun 2012 bulan Juli, ibu mendapat rezeki, serangan stroke. Hampir selama 3 minggu beliau di Rumah Sakit dengan ditemani saudara kembarku. Saat itu aku memiliki balita 1 tahun, tidak memungkinkan untuk menunggui ibu selama di rumah sakit.
Setelah ibu pulang dari rumah sakit, barulah aku bisa membantu merawat ibu yang masih harus terapi gerak dan bicara. Saat ibu pulang, ibu baru bisa duduk, bicara pun belum bisa.
Aku tahu, ibu sangat sedih dengan kondisinya. Namun semangat sembuhnya luar biasa. Dengan penuh semangat ibu mengikuti terapi demi terapi. Mulai dari terapi berdiri, berjalan menggunakan tongkat.
Ketika terapi gerak, ibu sering bercerita bahwa itu membuatnya sakit. Namun aku, saudara dan keluarga besar menyemangati beliau. Akhirnya beliau bisa berjalan dan melakukan aktivitas secara mandiri, terutama ketika ke kamar mandi dan makan. Kesembuhan ibu memang tidak sempurna.
Kami sekeluarga menikmati proses demi proses kehidupan ibu setelah “sembuh” dari stroke. Keinginan untuk ke tanah suci —melaksanakan ibadah haji— harus dipupusnya. Aku ingat, ibu seharusnya berangkat haji tahun 2013. Namun setahun sebelumnya malah stroke.
Untuk melepas ibu dalam kondisi yang belum memungkinkan, tentu kami sangat berat. Dengan keikhlasan ibu, akhirnya ibadah haji tidak terlaksana.
Meski begitu, ibu semakin rajin dalam beribadah. Tak hanya shalat wajib (fardhu), namun shalat sunnah, puasa, membaca Alquran beserta kandungannya tidak pernah putus.
Ibu tidak merasakan sakitnya dengan keluhan. Pakdhe pernah menanyakan hal itu. Kenapa ibu terlihat kuat dan tidak tampak sakit. Dengan ringannya ibu mengatakan bahwa penderitaan sakitnya tak sebanding dengan penderitaan Nabi Ayub.
Nabi Ayub yang sakit kulit/ kusta berpuluh-puluh tahun saja bisa sabar. Meski Nabi Ayub akhirnya mengungsi ke tempat yang jauh dari umat bersama isteri. Kisah itu membuat ibu belajar sabar.
Mengenai ibadah sunnah pun bagiku sangat luar biasa. Puasa Senin-Kamis, puasa setiap pertengahan bulan tak pernah putus. Jika dinasehati untuk tidak berpuasa sunah maka ibu mengatakan bahwa ibu malah akan merasa sakit kalau tidak berpuasa. Aku pun pernah menasehati seperti itu karena puasa sunah itu sangat berat. Ibu tetap bersikeras berpuasa sunah.
“Kalau keberatan menyiapkan pukul 3 dini hari, ya siapkan makan sahur setelah Isya saja. Lalu taruh di meja kamarku,” begitu kira-kira pinta ibu. Melihat kukuhnya pendirian ibu maka keluarga menyiapkan menu sahur setiap hari Senin-Kamis dan 3 hari pertengahan bulan.
Kini, ibu tidak akan melakukan aktivitas-aktivitas tadi. Hari Kamis tanggal 30 Januari, ibu tiada. Ibu berpulang pada Illahi. Tanpa ada keluarga yang menemani saat sakaratul mautnya.
Itulah keteledoran kami. Seminggu sebelum ibu meninggal, bapaklah yang sakit. Anak-anak terdekat dari rumah ibu dan bapak menyempatkan menengok dan menyiapkan makanan untuk bapak. Setiap jam istirahat tiba, aku pun menyempatkan diri ke rumah bapak ibu. Maklum tempat kerjaku sangat dekat dengan rumah ibu bapak.
Hari Kamis, 30 Januari itulah, kami tidak melihat aktivitas ibu. Saat istirahat, aku ke rumah ibu bapak, aktivitas menonton televisi yang sering ibu lakukan, tak dilakukannya. Aku hanya berpikir bahwa ibu tidur seperti biasanya. Jadi aku tidak mengganggunya.
Sampai siang, setelah waktu shalat Dhuhur, ibu masih ada. Anak sulungku yang kebetulan bermain ke rumah ibu bapak bilang kalau saat dia di rumah simbahnya masih mendengar suara batuk simbah putrinya.
Sore, setelah Asar, aku ke rumah ibu bapak bersama si bungsu. Aku hanya berada di teras rumah. Suara televisi tidak terdengar. Lagi-lagi aku berpikir bahwa ibu mungkin tidur lagi.
Menjelang Maghrib, aku pulang. Namun baru beberapa menit sampai rumah, suami bertanya kepada saya, “Mbah uti kenapa, bu?”
Aku yang tidak melihat keanehan saat baru saja dari rumah ibu menjawab, “Lha mbah uti nggak ada apa-apa…”
Suamiku akhirnya menyuruhku kembali ke rumah ibu bapak. Karena suami bilang kalau sepupuku ditelpon kembaranku.
Perasaanku tidak enak. Aku berpikir, jangan-jangan ibu jatuh dan stroke lagi. Dengan perasaan tak menentu, aku ke rumah ibu bapak lagi.
Sesampai di teras rumah, samar-samar aku mendengar tangisan dan suara bulik yang mengatakan bahwa ibu sudah tiada. Dengan setengah berlari, aku menuju kamar ibu.
Aku lihat ibu telah dikelilingi bapak, bulik, kakak dan kembaran saya. Kondisi ibu sudah dingin.
Innalillah. Bidadari keluarga meninggalkan kami untuk selamanya. Ya dalam kondisi puasa. Ibu berpuasa di dunia dan berbuka di akhirat.
Antara percaya dan tidak percaya. Semua yang terjadi di hari itu kami rasakan seperti mimpi. Namun, kami harus ikhlas melepas ibu.
Kami masih mensyukuri bahwa ibu meninggal bukan dalam kondisi jatuh. Ibu meninggal di tempat tidurnya. Kondisi ibu seperti tidur. Dan kami sadar, ibu memang tidur panjang untuk menantikan surgaNya.
Ibu kini telah bertemu dengan satu putra dan satu putrinya yang tiada saat masih bayi.
***
Melihat keluarga kami berkumpul, berdatanganlah tetangga kami meski saat itu suara adzan telah berkumandang. Mereka membesarkan hati kami.
Begitu juga sahabat di dunia maya, para Kompasianer. Mereka mendoakan ibu dengan ikhlas. Sungguh, aku tidak pernah menduga bahwa persahabatan lewat Kompasiana begitu kuat.
Bahkan beberapa sahabat mengabadikan momen perginya ibuku dalam sajak atau puisi. Mas Rizal, mbak Ummu dan mas Rifan.
Pertama kali aku ditandai mas Rizal dalam akun FB. Sebuah puisi yang membuat hatiku terharu.
Untuk Sahabat
Bagi seorang ksatria, pedang mungkin tak berumur panjang.
Bagi seorang penulis, pena pun tak akan berusia lama
Begitupun cangkul bagi petani, senjata bagi pemburu, jala bagi nelayan atau butiran hikmah bagi filosouf.
Mereka bertarung di arena pertempuran berbeda.
Mereka mengerti, semua peralatan itu tak akan bertahan lama.
Petarung sejati, memiliki satu senjata abadi.
Rahasia sebuah Doa!
Curup, 30.01.2020
Rizal
Semoga Ibunda Husnul Khatimah, Mbak! Segala doa terbaik untuk Beliau.
***
Tak hanya puisi, mas Rizal juga mengirimkan pesan bahwa senja itu sudah masuk hari Jumat, hari istimewa bagi seseorang yang meninggal dunia.
Selain itu, setelah penguburan ibu, mas Rizal menanyakan kapan fardhu kifayah selesai. Setelah shalat Jumat ataukah sebelumnya. Aku hanya memberikan keterangan kalau ibu selesai dikuburkan pukul 11.00. Sesuai keinginan bapak. Semakin cepat dikuburkan, semakin baik. Apalagi liang lahat juga sudah siap.
Lagi-lagi mas Rizal mengirimkan pesan yang kurang lebih agar aku menjaga bapak.
“Mbak, titip bapak. Setidaknya dalam beberapa hari…”.
Untuk mas Rizal, mbak Ummu, mas Rifan dan semua Kompasianer, atas nama keluarga besar kuucapkan terima kasih atas doa untuk ibu dan segala bantuannya. Semoga Allah membalas setiap bantuan teman-teman dengan pahala.
Kami belajar untuk melaksanakan dan mewujudkan wasiat atau amanah dari ibu. Teladan dalam beribadah, bersedekah/ berzakat, berpuasa, ikhlas menjalani cobaan dan hal baik lainnya semoga bisa kami ikuti. Agar menjadi amal jariyah bagi ibunda tercinta kami.
Branjang, 1 Februari 2020