Ending Novel Novelis (27)

Cover buku
Cover buku oleh Ajinatha

Obat Kangen 

 

“Masih sering menulis ya, Jeng?” Tanya mas Pras pada keesokan harinya melalui video call WhatsApp. Aku memang mengirimkan puisiku tadi malam.

Ah iya. Ada satu hal yang belum kuceritakan. Sejak mengawalku dari walimahan Rindu, aku membiasakan memanggil mas Pras. Meski terkadang, aku khilaf menyapa namanya saja.

Begitu juga dengan mas Pras. Dia juga mulai membiasakan memanggilku Ajeng. Namun sesekali sapaan “mbak Ajeng” kudengar juga.

Kami hanya tertawa kalau sudah menyadari ada kekeliruan dalam menyapa satu sama lain.

***

Wajah mas Pras masih kulihat di layar handphone-ku. Belum kujawab pertanyaan yang dilontarkannya. Sesaat dia menunggu jawabanku.

Aku tersenyum. Mengangguk. Terus terang dengan video call itu mengurangi sedikit rasa kangenku.

“Mas Pras nggak bikin puisi balasannya?”

Pras tertawa. Lalu menggelengkan kepala.

“Oalah, dik. Aku nggak punya bakat bikin puisi. Dulu nilai Bahasa Indonesia-ku jelek. Paling nggak suka materi puisi. Hahahaha…”

“Ya sudah. Nggak juga nggak apa-apa. Nggak puitis pun aku sudah terima. Yang penting mas Pras sehat. Kan sebentar lagi kita nikah.” Ucapku sambil tersenyum.

“Iya, sayaaaang. Kamu juga jaga kesehatan ya.”

Aku lalu protes, mas Pras jarang berkomunikasi akhir-akhir ini.

“Kalau setiap hari kutelpon atau video call-an malah bisa bosan kamu,” jawabnya dengan santai.

“Besok kalau sudah nikah, kamu aku boyong. Tiap hari bisa kangen-kangenan.”

Aku tertawa.

Selanjutnya kami memperbincangkan kenangan saat awal bertemu hingga rencana pernikahan yang akan digelar selepas lebaran tahun depan.

 

Tinggalkan Balasan

1 komentar