Indonesia negara yang kaya raya. Kaya hasil bumi, kaya pulau, kaya keindahan alam, kaya suku dan budaya dari Sabang hingga Merauke dari Miangas hingga pulau Rote. Semua ada semua tersedia, selebihnya kembali kepada kita sang pengolah segala kekayaan itu.
Dalam konteks budaya, di negara kita terdapat banyak ragam kelompok budaya yang tersebar di masing –masing daerah di seluruh pelosok tanah air.. Setiap daerah punya budaya masing – masing dan setiap suku yang ada di daerah juga memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda satu dengan yang laiinnya. Itulah Indonesia, yang berbeda beda tetapi tetap satu.
Budaya lokal yang ingin saya paparkan dalam goresan sederhanai lni adalah bahasa daerah Kaili.
Bahasa Kaili digunakan oleh mereka yang tinggal di wilayah lembah Palu dan sekitarnya. Di daerah ini terdapat banyak dialek yang digunakan oleh masing-masing penuturnya seperti dalek Ledo, Rai, Tara, Doi, Unde, Ava, Ado Lauje dan masih banyak lagi yang lain.
Dalam goresan sederhana ini penulis ingin memaparkan bahasa Kaili dalam dialek Rai dan Ledo sebab kedua dialek ini mayoritas digunakan oleh penduduk kota Palu dan sekitarnya, dimana penulis juga adalah penutur asli dialek tersebut.
Alasan utama yang mendorong penulis untuk menampilkan aspek budaya berupa bahasa daerah adalah munculnya kekhawatiran akan tergerusnya salah satu unsur budaya penting yakni bahasa daerah dalam situasi zaman yang semakin mengglobal.
Kemampuan dan minat generasi muda kita saat ini memang semakin lemah terhadap bahasa daerah (Bahasa Kaili). Mereka lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari, baik itu di lingkungan rumah,sekolah ataupun dengan teman-temannya.
Yang lebih hebat lagi banyak orang tua masa kini lebih memilih untuk membiasakan anaknya dengan bahasa Inggris sejak kecil. Bahasa Inggris dijadikan ‘habit’ atau kebiasaan. Semua itu bisa dipahami karena memang dunia global dewasa ini memang sangat membutuhkan individu – individu yang mampu berbahasa asing secara aktif dan pasif.
Kenyataan menunjukan bahwa generasi milenial saat ini sangat banyak bahkan lebih dominan tidak mampu berbahasa Kaili lagi. Jangankan membahasakan, memahami artinya saja sudah sangat sulit bagi mereka.
Bukan hanya generasi milenial, generasi kelahiran tahun enam puluan hingga delapan puluan saja tidak semua pandai berbahasa Kaili apalagi kalau memang mereka terlahir dari perkawinan campuran yang nota bene orang tuanya bukan penutur asli bahasa Kaili. Ditambah lagi bila lingkungan tempat tinggal mereka bukan di area orang Kaili yang menggunakan bahasa Kaili sebagai bahasa sehari harinya.
Lalu, bagaimana dengan ‘upaya pelestarian’ bahasa daerah Kaili? adakah langkah yang telah dilakukan oleh pihak terkait secara resmi? Jawabannya ‘pasti ada’.
Bagaimanakah bentuk upaya tersebut dan sejauh mana perkembangan yang didapatkan? Insha Allah akan dilanjutkan pada tulisan berikut. Semoga bermanfaat.
Wasallam.
Terima kasih banyak atas kunjungan sahabat semua di ruang tulisan ini. Kritik saran penulis nantikan demi kesempurnaan konten tulisan. Insha Allah muara akhir dari tulisan ini adalah “buku,” sebagai mahkota dari seorang penulis (H. Thamrin Dahlan)