Ending Novel Novelis (10)

Rindu

Novel novelis
Ilustrasi: dokpri

Kini aku tengah diurut sama dukun urut. Kata Pras dukun urutnya terkenal dan pasti tokcer. Ah…semula aku sempat tak percaya dengan ucapan Pras.

“Dukunnya lelaki atau…”tanyaku pelan.

“Iya… lelaki…”

Kupukul keras lengan Pras.

“Batalkan! Aku nggak mau badanku digerayangi laki- laki!”

Pras tertawa. Tiba- tiba pintu kamar diketuk dari luar.

“Tuh dukunnya sudah datang, mbak.”

Aku hampir menjerit ketika Pras mengatakannya tadi. Reflek tangan Pras kutarik kuat.

Pras terkaget dan menubrukku yang terduduk di sisi dipan. Tatapan kami beradu. Mata elang Pras menatap mataku. Sesaat kami terdiam. Hingga pintu kamar diketuk untuk kedua kalinya dan menyadarkan kami.

“Saya keluar ya, mbak. Selepas diurut mbak Ajeng langsung istirahat. Saya tidur di luar…”

Aku menahan Pras. Aku masih khawatir tentang dukun urut.

“Dukunnya perempuan, mbak. Saya tak mungkin mencarikan dukun lelaki. Bisa mengkhawatirkan. Kayak kucing dikasih ikan nanti…”

Aku mengangguk pelan. Pras berpamitan. Masuklah perempuan paruh baya. Ramah dengan wajah khas orang desa, tanpa make up. Mbok Atun, begitu perempuan itu memperkenalkan dirinya.

“Mbak ini pacar mas Pras ya?”

“Bukan, mbok…”

“Syukurlah. Soalnya mas Pras itu sudah punya kekasih, mbak. Saya tadi mikirnya mbak ini pacar gelapnya mas Pras. Maaf lho ya, mbak…”

“Nggak apa- apa, mbok…” aku tertawa ringan. Meski dalam hatiku ada sedikit rasa kecewa. Kubuang jauh rasa itu. Pras bukan siapa- siapaku. Kurasa aku hanya mengagumi kepandaiannya di kantor. Tak lebih dari itu.

Di tengah kumenghalau rasa kecewaku, aku merasakan ngilu luar biasa pada kaki yang diurut mbok Atun. Aku berusaha menahan rasa sakit itu. Aku menangis. Mbok Atun memaklumiku.

“Mbak ini tak begitu heboh kalau diurut. Ada yang sampai menjerit keras lho, mbak…”

Sambil menahan sakit, aku bercerita kalau aku hampir berteriak. Sama saja. Hanya malu.

**

Aku merebahkan tubuhku setelah selesai diurut. Mbok Atun berpamitan. Kuulurkan uang untuknya tapi ditolak.

“Sudah dibayar mas Pras, mbak…”

Aku mengangguk.

**

Kurebahkan tubuhku. Tiba- tiba terdengar pintu kamar kembali diketuk. Kupersilakan masuk pada pengetuk pintu itu. Muncullah seorang perempuan cantik dari balik pintu.

“Maaf, mbak. Saya mengganggu ya…” aku bangun lagi. Lalu perempuan itu menyerahkan bungkusan koran padaku.

“Pakaian ganti buat mbak Ajeng. Tadi mas Pras yang minta saya membawakannya buat mbak…”

Aku menerima bungkusan koran itu. Dengan ragu kubuka. Kuamati baju motif polkadot di balik bungkusan koran itu.

“Maaf kalau jelek ya, mbak.”

“Ah…bagus, mbak. Terimakasih.”

“Sama- sama, mbak. Saya pamit dulu…”

**

Pakaian dari perempuan cantik itu sudah kukenakan. Ya nyaman, daripada aku mengenakan pakaianku yang kotor dan basah.

Kembali kurebahkan tubuhku. Kuambil HP disisi kiriku.

“Met istirahat, mbak Ajeng. Semoga kakinya lekas pulih,” pesan WA dari Pras.

“Makasih, mas. Oh iya, makasih sudah mencarikan baju ganti ya..”

“Iya, mbak. Saya hanya khawatir kalau mbak Ajeng malah masuk angin. Makanya saya minta Rindu ke sana.”

“Oh..Rindu namanya. Tadi lupa nggak tanya. Sampaikan terimakasih saya ya, mas…”

“Oke, mbak bos…”

“Eh mas. Mbak Rindu cantik ya, mas. Serasi banget kalau sama mas Pras”

“Aamiin. Makasih doanya…”

Tinggalkan Balasan