Cemburunya Rindu
“Rindu cemburu, mbak. Sekarang dia ngambek. Aduh…pusing… Kenapa sih perempuan mengandalkan perasaan dibanding logika…”
Pras mulai curhat tentang kekasihnya. Ya…aku maklum, beberapa bulan ini dia selalu menemaniku di lapangan. Perempuan di manapun bisa berpikir negatif. Khawatir kalau ada sesuatu yang terjadi antara kami. Itu wajar sekali.
“Oh… gitu. Wajar, mas. Kalau saya jadi mbak Rindu pasti juga begitu…”
“Maksudnya?”
“Punya kekasih pinter, ganteng, supel…itu mengkhawatirkan, mas. Mungkin dia anggap itu perhatian biasa ke teman tapi ya bagi perempuan yang sering bersama bisa menganggap dan menilai beda. Dianggap perhatian lebihlah…” terangku membela Rindu.
“Artinya mbak Ajeng menilai persahabatan kita bisa lebih?”
Aku terkaget mendengar penuturan Pras. Aku jelas menolak anggapan tadi.
“Nggaklah, mas. Saya tahu dirilah…”
“Naaaah…kan. Ngaku sendiri akhirnya…” ejek Pras.
“Di bagian mana yang menunjukkan itu. Nggak ada…!”
“Ada, mbak…”
“Coba mas Pras ulang kata-kata saya yang menjurus ke pendapat mas Pras…”
Pras menggaruk- garuk kepalanya.
“Lupa, mbak. Tapi sini, mbak. Mbak Ajeng dekat saya…”
Aku menolak permintaan Pras. Dia terus menggodaku. Aku bangkit dari kursi dan mau menjauhinya. Aku menilai kalau candaan Pras sudah berlebihan.
Pras menahanku. Dia menyusul dan berdiri di hadapanku. Jarak kami hanya beberapa langkah. Pras menatapku. Aku tak berani menatap wajahnya.
“Mbak, bisa lihat wajah saya sebentar saja?”
Aku diam, tak bergeming. Aku tak mau mengangkat wajahku. Tangan kanan Pras menyentuh daguku.
“Tatap saya, mbak…”
Daguku diangkatnya perlahan. Mata kami beradu. Dadaku bertalu. Kuharap dia tak membaca mataku dan tak mendengar degupan jantungku.
“Iya, mbak. Penjelasannya ada. Di mata mbak Ajeng…”
Pras tersenyum manis. Wajahku memerah.
“Di wajah mbak juga…”
Pras terus mendekatiku. Tubuh kami semakin dekat. Aku menelan ludahku yang kering. Dadaku terasa sesak. Kalau sudah begini pasti Pras bisa membaca bahasa kalbuku.
Dengan cepat kubalikkan tubuhku. Aku tak boleh mengganggu hati Pras. Ada Rindu yang selalu menunggunya.
“Nggak ada, mas. Oke…”
Aku mengatur nafasku.
“Nanti saya minta ayah mengatur biar kita tak perlu sering ke lapangan. Salam buat mbak Rindu. Mas Pras segera melamarnya. Jangan sia-siakan dia…”