“Sihir adalah satu-satunya ilmu yang tidak diterima oleh para ilmuwan, karena mereka tidak dapat memahaminya“. Harry Houdini
Sihir seperti kamuflase yang membawa pikiran menuju batas tak wajar. Ia adalah metafisika yang menyatu dengan gelombang kehidupan. Siluetnya menghantui jiwa pada alam bawah sadar. Percaya atau tidak, bagiku ia nyata adanya.
Mengingat memori beberapa tahun lalu, ketika masih usia 15 Tahun dan duduk di kelas 3 SMP, aku pun pernah menjadi korban ilmu sihir. Bukan suatu kebetulan atau cerita belaka, tetapi hal itu masih lekat dalam labirin ingatan.
Seperti gadis desa lainnya yang selalu membuka malam dengan mengaji di ‘sosompang’, di malam itu badanku merujuk lelah yang tak terbantahkan, mata seakan dibius gelombang dingin dalam riap yang buta. Terpejam tanpa terjaga lelap dalam mimpi tak ber alur. Sehingga aktivitas mengaji itu terlewati sia-sia.
Entah apa yang menidurkan mataku, hingga benang-benang gelap bergelayutan pada kelopak mata. Tertidur pada permulaan temaram, mengukir mimipi tanpa alur, dan tak ada yang bisa ku simak dari tidurku. Tiba-tiba tubuh mungilku terbangun pada sepertiga malam , seperti ada yang menarik tanganku dan memandu badanku untuk berwudhu.
Solat Isya dan Tahajud pada sepertiga malam di waktu itu, seperti di tunggui bayangan tak kasat mata. Tak ada rasa takut dalam pikiran, tetapi yang tertata adalah rasa tenang. Malam yang gelapnya begitu rindang, benar-benar merayu mataku menuju ufuk gelap. Menit semakin memetik waktu hingga sepertiga malam itu usai, mataku bahkan telipat dalam balutan mukena. Hingga sejadahpun, bak ranjang berkasur sutera.
Sayap-sayap fajar pun tiba, aku masih lekat dalam sejadah. Suara adzan subuh menembus dinding telinga, mengalirkan getaran pada hati dan membangunkan saraf pada otak. Aku terbangun dengan badan yang begitu segar, dan fikiran yang begitu tenang.
Sebagai anak gadis pertama, membantu ibu mengurus rumah tangga adalah kewajibanku. Setelah solat subuh aku membantu ibuku membuatkan sarapan untuk kedua adiku. Setelah urusan dapur selesai, selanjutnya merapikan rumah. Hal pertama yang aku lakukan adalah merapikan kamarku.
Semua terlihat normal tak ada yang aneh. Selimut membentang di atas kasur, bantal pun terletak rapi tanpa perpindahan. Tanganku meraih selimut dan melipatnya. Setelah itu, ku ambil sapu lidi untuk memberisihkan kasur. Tanpa ragu tanganku mengangkat bantal untuk dirapikan. Betapa terkejutnya aku melihat sesuatu yang tak wajar.
Mataku terbelalak tanda terkejut, sorot mataku tajam menatap gerobolan belatung yang tertata rapi dari bawah bantal tempat kepalaku bersandar malam itu. Ini amat tak wajar. Jauh dari batas logika, gerombolan belatung berkumpul rapi tanpa terpecah. mereka seperti mengikuti komando untuk tetap diam dan jangan berlaku liar.
Dari pojok pikiran paling normal, tentu harus ada retorika yang jelas bagaimana seekor hewan bisa memasuki rumah. Tentunya harus melewati jalan seperti sebuah lubang atau celah. Namun, bagaimana gerombolan hewan bisa berkumpul rapi di bawah bantal? Apakah ini masuk ranah logika?
Belatung biasanya berasal dari bangkai yang membusuk. Ini tentu menepis batas wajar, dimana ketika itu tak ada bangkai di kamarku. Tempat tidur adalah ruangan sakral yang paling kita jaga. Jangankan hewan, manusia asing pun akan kita larang untuk memasukinya.
Tanpa pikir panjang, segera ku balut para belatung itu dalam gulungan sprei. Ku bawa keluar untuk dibakar. Aku yang terheran, kemudian dijelaskan ibuku tentang sebuah istilah ‘baskom warung’, yaitu sebuah istilah untuk aktivitas ‘kiriman santet’. Santet yang dikirim lewat gelombang udara, ketika gagal maka akan berubah menyerupai hewan, salah satunya berubah wujud dalam bentuk belatung. Hal itu menandakan kiriman santet yang tertuju padaku kandas dan berjejak.
Di situ aku mulai mengerti kenapa malam itu aku begitu lelap dalam tidur yang panjang. Mata yang seperti ditempeli lem, merenggut kesadaran dalam melewati malam. Jika seandainya aku terlelap dalam buaian bantal, maka sesuatu yang buruk bisa saja menimpaku. Takdirku berkata lain, Allah mengirimkan malaikat untuk menggerakan badanku, menuntunku menuju shalat malam. Hingga tidur pun berlanjut dalam pangkuan sejadah.
Maha Suci Allah sebaik penjaga. Menjaga jiwa dan ragaku dalam keridhaan-Nya. Tak ada yang tahu dengan takdir, sejauh apapun kita menghindarinya, maka ia akan terus mengejar kita. Pula sebaliknya sekuat apapun kita meraihnya ia takan pernah menghampiri kita. Setiap langkah kita adalah ukiran cerita dari Tuhan. Maka berserah diri pada Pemilik Takdir adalah langkah terbaik. Karena Tuhan adalah sebaik pemberi cerita, sebaik pemberi jodoh, sebaik pemberi rejeki, dan sebaik penjaga dari celaka, dan kejahatan manusia.
Tulisan yg keren merenda cerita nan menarik..
Mantul ceritanya. Ngeri baca cerita seperti ini, tapi penasaran endingnya…