Merasa Tak Ada Waktu untuk Menulis, Mungkin itu Perasaan Saja

TERNYATA kesulitan menulis seseorang, termasuk guru tidak benar-benar karena tidak mengerti bagaimana menulis itu sendiri. Dalam satu diskusi dengan para guru, teman-teman guru mengatakan, “Tak ada waktu untuk menulis.” Kalimat itu terlontar dalam satu rapat rutin. Saya ingat itu Rapat Bulanan yang memang merupakan agenda rutin setiap bulan di sekolah tempat saya bertugas. Sudah beberapa tahun yang lalu kejadiannya. Tepatnya pada tahun 20213 silam.

Saat itu saya melemparkan ide agar setiap orang khususnya para guru menulis setiap hari. Ide ini tentu saja karena niat agar guru terbiasa menulis. Kata peribahasa, “Alah bisa karena biasa,” itu bisa dibuktikan. Dan harus diingat, bukankah setiap guru akan terkena peraturan wajib menulis bila ingin naik pangkat? Dan salah satu penghambat guru untuk naik pangkat selama ini adalah karena guru tidak bisa membuat karya tulis yang bernilai angka kredit.

Guru memang membuat perangkat pembelajaran. Mulai dari menyusun silabus, menyusun program tahunan dan semesteran sampai kepada menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) serta instrumen evaluasi. Artinya, pada hakikatnya para guru, itu sudah menulis dalam batas dan bentuk tertentu. Namun kewajiban menyusun perangkat pembelajaran ini tidak berpengaruh kepada kemampuan menulis seorang guru. Guru tetap saja tidak bisa membuat karya ilmiah (makalah, PTK dll) misalnya. Apalagi kebanyakan guru menyusun perangkat KBM-nya dengan cara mengopi-paste saja perangkat guru lain. Tahun-tahun itu, begitulah kelaziman kawan-kawan dengan pengecualian tentunya pada guru yang sudah membuktikan menulis.

Saat itu diperkirakan para guru yang bergolongan IV/A sudah ribuan yang tertahan di golongan itu karena tidak mampu menyusun karya ilmiah seperti Penelitian Tindakan Kelas (PTK) itu, misalnya. Bahkan ada guru yang sudah putus asa dan membiarkan saja status golongannya itu dalam waktu yang sangat lama. Padahal dalam peraturan kenaikan pangkat yang berlaku, tidak hanya pegawai bergolongan IV/A saja yang wajib menulis. Dari golongan III/ C saja guru sudah terkena kewajiban membuat karya tulis sebagai persyaratan naik pangkat.

Atas dasar kenyataan seperti itulah saya mencoba menyampaikan ide paling sederhana agar guru atau siapa saja yang menyukai literasi mencoba menulis setiap hari walaupun dengan tulisan yang sangat pendek. Katakanlah hanya menulis dalam satu kalimat atau satu paragraf saja setiap hari. Yang penting adalah rutinitas menulis itu sendiri. Jangan takut salah tulisan yang dibuat. Jargon Cintaku Literasi Kumenulis Setiap Hari, saat itu ingin sekali saya populerkan dengan teman-teman.

Para penyuka liteasi, terutama guru bisa menuliskan apa saja. Seperti ketika mengisi status di akun facebook, dan akun medsos (media sosial) lainnya dengan hanya mengungkapkan perasaan saja, misalnya. Seseorang atau guru bisa membuat satu kalimat atau beberapa kalimat di status facebooknya atau akun medsos lainnya. Kira-kira tulisan-tulisan seperti itulah yang saya usulkan dalam rapat itu. Tapi hampir semua guru mengatakan tidak bisa karena tidak ada waktu. Konon, selepas  mengajar guru harus mengurus keluarga (anak, isteri/ suami, dll) sehingga tidak ada kesempatan untuk menuliskan apa yang terasa. Tidak ada waktu. Itulah yang sudah tertanam di kepala.

Sesungguhnya perasaan tidak ada waktu untuk menulis, hanyalah perasaan yang berlebihan saja. Dalam 24 jam kehidupan, dipotong masa tidur sebenarnya pasti ada waktu dan kesempatan untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran ke dalam tulisan. Ketika mengajar, kita merasa ada masalah maka tuliskanlah masalah itu ke dalam sebuah atau beberapa kalimat yang dapat mengungkapkan masalah kita itu. Ketika di rumah, di pasar, di jalan atau di mana saja sebenarnya ada banyak perasaan atau pikiran yang dapat diungkapkan. Ungkapkanlah itu ke dalam tulisan. Apa iya tidak sedikit waktu untuk itu? Ah, itu perasaan saja.

Jadi, tugas pertama seorang guru untuk berlatih menulis adalah dengan cara menghapus perasan ‘tak ada waktu untuk menulis’ itu dalam kehidupannya. Jangan biarkan perasaan itu menguasai diri sehingga kita benar-benar merasa tidak mempunyai kesempatan sedikit pun untuk mengungkapkan perasaan dan atau pikiran kita dalam bentuk tulisan.  Sangat mustahil guru tidak mempunyai kesempatan kalau hanya untuk membuat satu kalimat atau satu paragraf tulisan. Kata seorang teman, ‘menulislah setiap hari dan buktikan apa yang terjadi.’ Artinya akan bukti sesuatu yang kita tidak duga sebelimnya setelah kita rutin untuk menulis.

Dari kebiasaan membuat tulisan pendek itulah kelak akan lahir kemauan dan kemampuan untuk membuat tulisan yang lebih panjang. Dan saat itulah seorang guru akan merasa bisa membuat karya tulis yang dibutuhkan untuk kenaikan pangkatnya. Jika pun tidak untuk kenaikan pangkat, menyampaikan ide-ide segar saja kepada para pembaca itu sudah merupakan perbuatan mulia dari seorang guru.

Satu hal penting saat ini adalah bahwa begitu banyak komunitas atau kelompok yang bersedia membantu kita untuk membuka pikiran agar kita menulis. Baik menulis di akun medsos, di blog atau di mana saja. Dan tidak sampai di situ. Kini, tulisan-tulisan itu dapat segera menajdi buku yang ber-ISBN yang akhirnya juga bisa untuk membantu kenaikan pangkat.

Jadi, marilah kita memaksa diri untuk menulis. Jangan lagi menyimpan perasaan tidak ada waktu untuk menulis. Tulis saja. Apa saja. Di mana saja. Fasilitasnya juga bisa apa saja, HP atau laptop dan lainnya. Selamat mencoba. Semoga bisa. ***

Tinggalkan Balasan

5 komentar