Pintu Masuk HIV/AIDS ke Aceh

Edukasi85 Dilihat

Terapkan Syariat (Islam-pen.) Ketat, Kenapa Penderita HIV/AIDS di Aceh Masih Tinggi?” Ini judul berita di wartaekonomi.co.id, 21/11-2019.

Pernyataan pada judul berita itu menunjukkan pemahaman yang sangat rendah terhadap epidemi HIV/AIDS. Ini terjadi karena selama ini penularan HIV/AIDS selalu dikaitkan dengan perilaku-perilaku amoral, seperti zina, melacur, dll.

Ini terjadi karena ketika HIV/AIDS terdeteksi di Indonesia, 1987, pemerintah panik karena sebelumnya pemerintah dan banyak kalangan yang sesumbar bahwa HIV/AIDS tidak akan pernah bisa masuk ke Indonesia.

Maka, pemerintah pun mengaitkan kasus penemuan HIV/AIDS pada di RS Sanglah Denpasar, Bali, pada seorang laki-laki gay turis Belanda yang meninggal di RS Sanglah karena penyakit terkait HIV/AIDS.

Ini dijadikan pemerintah sebagai kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia, padahal jauh sebelumnya sudah ada beberapa indikasi terkait langsung dengan HIV/AIDS. Dengan cara ini maka muncullah mitos (anggapan yang salah) yaitu: HIV/AIDS adalah penyakit gay, penyakit homoseksual, penyakit orang bule, dst.

Selanjutnya informasi tentang HIV/AIDS di media massa dan media sosial serta ceramah dan pidato pejabat serta tokoh pun selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan pelacuran di lokalisasi pelacuran, perselingkuhan, perzinaan, dll.

Ini adalah mitos (anggapan yang salah) karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah: selingkuh, melacur, zina, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Sedangkan pada homoseksual yang menganal tidak memakai kondom.

Maka, judul berita di atas menunjukkan ditulis dengan pijakan mitos. Digambarkan bahwa penularan HIV/AIDS karena perilaku amoral, dalam hal ini hubungan seksual di luar nikah, yang berlawanan dengan syariat Islam. Ini yang menyesatkan karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam atau di luar nikah.

1. Perilaku-perilaku Seksual Berisiko Tertular HIV/AIDS

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi pada perilaku seksual ini, yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS karena pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya;

(2). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS karena pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya;

(3) Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah (seperti zina, perselingkuhan, dll.), dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS karena pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya;

(4) Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah (seperti zina, perselingkuhan, dll.), dengan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS karena pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya;

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) karena PSK pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya;

PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:

(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran atau mejeng di tempat-tempat umum, dan

(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan waria karena waria pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya. Sebuah studi di Surabaya awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki pelanggan waria umumnya laki-laki beristri. Ketika seks dengan waria mereka justru jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa waria ditempong atau di anal) dan waria jadi ‘laki-laki’ (dalam bahasa waria menempong atau menganal).

(7). Laki-laki dewasa biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan sejenis) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS, pengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya.

2. Pintu Masuk HIV/AIDS ke Aceh

Apakah penerapan syariat Islam yang ketat di Aceh bisa menjangkau perilaku berisiko (1), (2), (3), (4), (6) dan (7)?

Tentu saja tidak bisa karena kondisi itu ada di ranah pribadi (privat) yang tidak mungkin dijangkau atau diintervensi karena dilakukan di sembarang tempat dan sembarang waktu. Itu artinya perilaku-perilaku seksual berisiko ini jadi pintu masuk HIV/AIDS ke Aceh yang tidak bisa dikendalikan.

Sedangkan perilaku seksual (5) a jelas tidak ada di Aceh secara terbuka (de jure), tapi secara de facto bisa saja terjadi. Apalagi perilaku seksual (5) b sangat jelas tidak bisa dijangkau karena transaksi melalui media sosial dan eksekusi pun berlangsung di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Maka, perilaku seksual, terutama laki-laki dewasa pada poin (5) a dan b jadi pintu masuk HIV/AIDS ke Aceh yang sama sekali tidak bisa dijangkau.

Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Aceh tahun 2004 hingga Juli 2019 disebutkan 845. Sedangkan berdasarkan Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27/8-2019, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh sampai dengan 30 Juni 2019 adalah 1.168 yang terdiri atas 642 HIV dan 526 AIDS. Dengan jumlah ini Aceh ada di peringkat ke-32 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS secara nasional.

Disebutkan dalam berita: Mereka yang terkena virus tersebut didominasi karena ditularkan oleh pasangannya dan perilaku seks bebas.

Tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’. Jika yang dimaksud dalam berita ‘seks bebas’ adalah zina, maka itu artinya pernyataan tsb. mitos karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, bukan karena sifat hubungan seksual (zina), tapi karena kondisi hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak pakai kondom.

3. Tidak Ada Tanda-tanda yang Khas AIDS

Dalam berita disebutkan: Pengelola HIV/AIDS Dinas Kesehatan Aceh, Ratnawati, tak menampik jika penderita HIV/AIDS di Aceh juga banyak diidap oleh Lelaki Suka Seks Lelaki (LSL). Ini kabar baik karena HIV/AIDS pada LSL ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri sehingga HIV/AIDS tidak menyebar ke ibu rumah tangga.  

Ada lagi pernyataan: Peningkatan penderita HIV/AIDS di Aceh disebabkan beberapa faktor, salah satunya yaitu lemahnya pendidikan agama. Sehingga, banyak yang terjerumus melakukan seks bebas. Sementara, faktor lainnya adalah tertular lewat suami saat melakukan hubungan intim.

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual juga bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah jika salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.

Pernyataan lain: “Orang tua yang sudah berkeluarga pun melakukan hubungan seks, dengan bukan muhrimnya, sehingga HIV/AIDS dapat tertular ke istrinya.” Dengan muhrim atau suami dan istri yang sah pun bisa terjadi penularan HIV/AIDS kalau salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS.

Disebutkan pula: Selain orang yang sudah punya istri, seks bebas juga kerap dilakukan oleh para remaja.

Yang jadi pertanyaan adalah: di mana dan dengan siapa yang sudah punya istri dan remaja melakukan ‘seks bebas’?

Kunci penanggulangan HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual adalah jawaban dari pertanyaan di atas. Jika yang sudah punya istri dan remaja melakukan seks bebas di wilayah Aceh, maka perlu ada langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS melalui hubungan seks bebas pada remaja dan yang sudah punya istri.

Di negara-negara yang memakai agama sebagai UUD pun tetap ada kasus HIV/AIDS, bahkan lebih banyak daripada di negara-negara yang membebaskan seks (bukan seks bebas, tapi free love yaitu hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan yang sah), seperti di negara-negara Skandinavia. Hal itu bisa terjadi warga negara-negara itu tertular di luar negaranya yang mengatur kehidupan dengan agama.

Maka, yang jadi persoalan besar bukan ‘seks bebas’, tapi laki-laki dan perempuan dewasa serta remaja pada kasus perilaku-perilaku seksual berisiko di atas. Perilaku-perilaku seksual berisiko itulah yang jadi pintu masuk HIV/AIDS ke Aceh.

Kondisinya kian runyam karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas pada fisik dan keluhan kesehatan orang-orang yang (sudah) tertular HIV/AIDS. Akibatnya tanpa sadar mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat (Kompasiana, 24 Desember 2019). *

Tinggalkan Balasan