“Mengerikan, ya Dok.” Itulah komentar yang berkali-kali diucapkan oleh Dra H Ika Merdekawati, pewawancara TVRI Stasiun Pusat Jakarta, sambil mengerutkan kening ketika mewawancarai Dr H Boyke Dian Nugraha, SpOG, yang disiarkan TVRI Jakarta tanggal 4 Maret 2001 pukul 23.00 WIB.
Rupanya, penyiar televisi itu sudah larut dalam stigma dan mitos seputar HIV/AIDS yang diumbar Boyke. Misalnya, dr Boyke mengatakan bahwa muka (wajah) orang yang terinfeksi HIV akan bopeng-bopeng, jamuran, luka-luka, muntah darah dan lain-lain. Inilah antara lain pernyataan Boyke yang disebut penyiar tadi sebagai sesuatu yang mengerikan.
Lalu, apa yang mengerikan?
Soalnya, gejala-gejala yang diumbar dr Boyke itu sangat umum dan dapat muncul pada orang-orang yang menderita penyakit lain.
Sebagian besar materi pembicaraan pada acara itu justru pengaburan fakta seputar HIV/AIDS sehingga membuat orang banyak lengah dan di sisi lain pembicaraan itu pun menghukum Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Saya kenal beberapa Odha yang sudah bertahun-tahun terinfeksi tetapi mukanya tidak bopeng-bopeng. Bahkan, Alvin, seorang Odha di Jawa Timur, yang meninggal tahun 2000, sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala fisik yang khas sampai menjelang ajalnya (dia menjalani tes HIV tahun 1988).
Banyak pernyataan dr Boyke yang tidak akurat dalam acara itu. Misalnya, dr Boyke menyebutkan penularan dari ibu yang HIV-positif ke bayi yang dikandungnya fifty-fifty. Sebenarnya, tanpa intervensi apa pun, kemungkinan ini di bawah 40% pada ibu hamil yang tidak mendapatkan pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV). Padahal, dengan teknologi medis kemungkinan penularan dari ibu ke bayi dapat ditekan di bawah 8%. Justru risiko penularan terbesar bisa terjadi saat proses kelahiran dan menyusui.
Penjelasan dr Boyke tentang asal-usul HIV pun tidak akurat karena menuding wisatawan sebagai penyebar HIV. Menurut dr Boyke HIV menular dari simpanse ke manusia di Afrika karena habitat simpanse dirusak manusia maka simpanse menyerang manusia dan menggigit manusia sehingga tertular HIV. Lalu, manusia (dalam hal ini orang-orang Afrika) pergi ke pusat-pusat wisata dan melakukan seks bebas (ini istilah yang rancu-pen.) dengan penduduk Amerika, terutama seks menyimpang (ini pun istilah yang kacau-balau-pen.). Orang-orang Amerika gemar wisata dan mereka pun menularkannya kepada penduduk lain di muka bumi ini. Padahal, sampai sekarang belum ada pembuktian ilmiah tentang asal-usul HIV.
Pada bagian lain dr Boyke mengatakan yang berisiko tinggi tertular HIV adalah pekerja seks dan sopir-sopir truk. Ini pun ngawur karena risiko bukan karena pekerjaan, kelompok dan lain-lain tetapi karena perilaku seksual yaitu perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV.
Maka, pernyataan Boyke yang menyebutkan cara mencegah penularan HIV adalah dengan tidak melakukan hubungan seks di luar nikah jelas tidak akurat dan menyesatkan. Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seks tetapi kondisi hubungan seks tersebut.
Kalau keduanya HIV-negatif apa pun sifat hubungan seksnya (heteroseks, homoseks, seks oral dan anal) di dalam maupun di luar nikah tetap tidak akan terjadi penularan HIV. Sebaliknya, kalau salah satu pasangan HIV-positif maka risiko penularan tetap ada jika hubungan seks dilakukan tanpa kondom walaupun dalam ikatan pernikahan yang sah.
Dokter Boyke pun menegaskan “jangan berzina” agar tidak tertular HIV. Lagi-lagi ini pernyataan yang ngawur. Tidak ada hubungan langsung antara zina dengan penularan HIV. Boyke mempertegas pernyataannya ini dengan menyebutkan negara keagamaan. Kalau saja Boyke membaca laporan UNAIDS tentulah dia tidak akan sesumbar karena di banyak negara yang sama sekali tidak ada kegiatan yang dilarang agama yang menjadi agama mayoritas dan hukum negara tersebut ternyata tetap saja banyak kasus HIV/AIDS.
Dengan mendongakkan kepala sebagai seorang narasumber di layar kaca dr Boyke pun mengatakan AIDS “akibat perbuatan sendiri”. Lho, apakah tidak ada penyakit lain yang juga karena perbuatan sendiri? Ini pun sudah merupakan penggelapan fakta karena tidak sedikit penyakit yang terjadi karena gaya hidup dan perilaku, seperti kanker paru karena merokok, penyakit jantung karena kurang berolahraga dan lain-lain.
Materi yang dibicarakan dalam acara itu pun menyuburkan mitos. Menurut dr Boyke seseorang yang tertular HIV “tinggal menghitung hari”. Boyke sudah menggelapkan fakta. Buktinya banyak yang bertahan di atas sepuluh tahun. Justru penderita diare, malaria, tifus atau demam berdarah ada yang umurnya tinggal hitungan jam. Umur penderita kanker pun sering dihitung-hitung, tetapi mengapa hanya umur Odha yang dihitung-hitung?
Sebagai dokter tidak selayaknya Boyke mengatakan “Odha mati dengan mengenaskan.”
Apakah penderita penyakit lain tidak ada yang mati dengan mengenaskan? Pernyataan ini pun sangat menyakitkan karena kematian tidak perlu dikait-kaitkan dengan “mengenaskan” karena semuanya terpulang kepada kehendak-Nya. Jika ada orang yang mempersoalkan kematian dan mengait-ngaitkannya dengan “mengenaskan” tentulah dia sudah menghujat Tuhan. Naudzubillah.
Sebagai stasiun televisi yang menyatakan dirinya sebagai media massa yang “Menjalin Persatuan dan Kesatuan” tidak sepantasnya TVRI Jakarta menyiarkan materi acara yang tidak akurat. Bagaimana nasib bangsa ini nanti jika kelak kian banyak anak bangsa yang tertular HIV hanya karena memperoleh informasi yang keliru dan menyesatkan seperti yang disiarkan TVRI Jakarta itu (Dimuat di Newsletter ”HindarAIDS” No. 65, 19 Maret 2001). *