Seks Bebas Terminologi yang Ngawur

Edukasi206 Dilihat

Seks Bebas merupakan istilah (terminologi) yang rancu alias ngawur bin ngaco karena tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan seks bebas. Istilah ini berkembang tahun 1970-an yang dikaitkan dengan perilaku remaja saat itu yang mengacu kepada gaya hidup yang `bebas’. Tapi, itu hanya terjadi pada kalangan atau komunitas tertentu bukan merupakan gaya hidup masyarakat di dunia.

Ketika istilah itu muncul gaya hidup yang mengesankan kehidupan kalangan itu serba bebas, dikenal sebagai kaum hippies, termasuk dalam hal seks. Maka, muncullah istilah free sex yang kemudian diartikan sebagai seks bebas.

Padahal, dalam kamus-kamus Bahasa Inggris tidak ada entri free sex. Yang ada adalah free love (The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, A.S. Hornby, E.V. Gatenby, H. Wakefield, Second Edition, Oxford University Press, London, 1963. Disebutkan free love = sexual relations without marriage yaitu hubungan seksual tanpa nikah (halaman 397).

Belakangan ketika kasus HIV/AIDS merebak ‘seks bebas’ dijadikan sebagai `kambing hitam’. Tapi, tidak ada definisi yang jelas tentang ‘seks bebas’. Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai hubungan seks di luar nikah maka tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan penularan HIV.

Jika dikaitkan dengan epdemi HIV/AIDS, maka yang tepat adalah hubungan seksual berisiko. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biarpun hubungan seksual dilakukan di luar nikah dan laki-laki tidak memakai kondom.

Seorang penjaga booth di arena pameran Pertemuan Nasional Harm Reduction (PNHR) 2, Makassar, Sulawesi Selatan, 2008, tidak bisa memberikan definisi tentang seks bebas yang tertera di materi KIE mereka. Dia malah kebingungan ketika ditanya.

Hal ini menunjukkan hal yang faktual, yaitu penularan HIV, yang merupakan fakta medis dikaburkan dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) dari KIE sehingga banyak yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV.

Hubungan seksual yang berisiko tertular HIV bukan karena sifat hubungan seks (di luar nikah, seks bebas, melacur, dll.), tapi karena kondisi ketika hubungan seksual (salah satu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama).

Biarpun ‘seks bebas’ merupakan terminologi yang ngawur tapi tetap saja menjadi jargon dalam materi KIE HIV/AIDS dan dipakai oleh banyak kalangan mulai dari pejabat pemerintah, bahkan tenaga medis, tokoh masyarakat, aktivis, dan lain-lain.

Begitu pula dengan istilah seks menyimpang yang dikait-kaitkan dengan penularan HIV. Seks menyimpang adalah jargon moral karena secara harfiah (hubungan) seks tidak mungkin bisa terjadi kalau menyimpang.

Selain penggunaan istilah ‘seks bebas’ dalam kaitan penularan HIV ada pula penggunaan pernyataan yang tidak akurat.

Pada brosur Petunjuk Pencegahan HIV/AIDS Untuk Remaja (Yayasan AIDS Indonesia) sebutkan cara mencegah HIV/AIDS adalah dengan ‘perilaku yang sehat dan bertanggung jawab’, seperti `tidak melakukan hubungan seksual sebelum atau di luar nikah.’ Ini jelas jargon moral.

Apakah sesudah menikah atau di dalam nikah tidak ada risiko tertular atau menularkan HIV?

Di stiker yang dikeluarkan oleh KPA, Depkes, USAID, ASA, dan FHI disebutkan cara jitu mencegah penularan HIV adalah ‘Anda tidak melakukan seks.’ Ini `kan pengingkaran terhadap pemberian Tuhan. Begitu pula di brosur `Mengapa HIV/AIDS Penting untuk Kita Ketahui?’ (KPA Prov Sulsel-Kemitraan Australia Indonesia) disebutkan pencegahan HIV/AIDS al. tidak melakukan hubungan seksual sama sekali. Ini pun pengingkaran terhadap kodrat.

Lain lagi dengan di brosur `Beri ODHA Dukungan dan Harapan Layani Mereka Dengan Semangat Tanpa Diskriminasi’ (KPA-The Global Fund) disebutkan HIV menular melalui: Menggunakan jarum suntik secara bergantian, bekas pakai, tidak steril. Kalau yang memakai bergantian jarum HIV-negatif tentu tidak ada risiko. Begitu pula jarum bekas pakai dan yang tidak steril kalau tidak tercemar HIV tentu tidak berisiko tertular HIV biar pun dipakai.

Disebutkan pula HIV menular melalui hubungan seks berganti-ganti pasangan. Kalau pasangan yang berganti-ganti HIV-negatif, di mana ada risiko penularan HIV? Yang disebutkan itu `kan perilaku berisiko tertular HIV.

Di brosur `AIDS dan Pengguna Suntikan pada Pecandu Narkoba’ (KPA Prov DKI Jakarta, 2007) disebutkan `Agar terhindar dari resiko terkena terkena HIV dan AIDS, hindari menggunakan Narkoba dan jangan melakukan SEKS BEBAS.’

AIDS tidak menular. Seks bebas tidak terkait dengan penularan HIV (Sumber: Kabar PNHR2 Makassar 15-18 Juni 2008, Nomor 2/17 Juni 2008). *

Beberapa brosur terkait materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) terkait HIV/AIDS yang ada di pameran PNHR 2 Makassar, Sulawesi Selatan, 15-18 Juni 2008, selalu menyebut-nyebut ‘seks bebas’. *

Tinggalkan Balasan