Lelaki tiga puluh dua tahun itu terlihat sibuk mengurus pernak pernik pernikahannya yang tinggal menghitung hari. Baginya dia tidak ingin menyerahkan sepenuhnya kepada EO. Ini momen berharga dalam hidupnya, walau lelah mendera selalu disempatkan untuk mengecek segala sesuatunya.
“Pernikahan kita tinggal empat hari lagi, tapi besok pagi saya harus berangkat ke Surabaya mengisi seminar yang sudah dijadwalkan jauh-jauh hari oleh Universitas Airlangga, tidak enak membatalkannya. Insyaallah sore saya sudah di sini lagi,” ucap Fadli saat mereka bertemu di EO.
Sebenarnya Aisyah ingin melarang, namun sebagai seorang pendidik dia tidak ingin mengecewakan banyak orang hanya gara-gara kekhawatiran yang tidak beralasan. Ditepisnya rasa itu berharap semuanya akan baik-baik saja.
Sebelum ke kampus dia sempatkan diri menelpon Fadli sekedar memastikan keberangkatan kekasihnya ke Surabaya.
“Pesawat jam sembilan, pakai Batik Air,”
Suara lelaki yang mulai menghiasi hari-harinya ini terasa berbeda dipendengarannya.
“Insyaallah semaunya akan baik-baik saja.”
Ucapan Aisyah yang begitu mengkhawatirkan dirinya membuat lelaki itu merasa begitu berharga.
“Rupanya kamu mulai tergila-gila sama pak dokter yaa?” Ledek Fadli membuat gadis itu langsung menutup telpon.
Ting.., tanda pesan masuk di ponselnya membuat dia mengurungkan niatnya menghubungi Fadli lagi.
“I Love You Forever,” isi pesan yang diikuti emoji bergambar jantung membuatnya tersenyum sendiri.
Aisyah pun membalas dengan ucapan yang sama dan menambahkan kalimat “maaf tadi saya langsung menutup telpon.”
Untuk pertama kalinya sejak menjadi dosen dia tidak focus memberikan materi perkuliahan kepada para mahasiswanya. Setelah memberikan pengantar dan beberapa referensi dia mengakhiri kuliahnya hari itu. Dia lebih banyak diam di meja kerja sambil membaca buku. Dari layar televisi yang ada di ruang dosen terdengar informasi pesawat Batik Air yang kehilangan kontak beberapa menit yang lalu.
Aisyah melirik arloji di tangannya 09.32 menit. Perasaan gelisah mulai menghantui dirinya. Di raihnya ponsel yang ada di tas, mencoba menghubungi nomer Fadli.
“Nomer yang anda tuju, tidak bisa dihubungi, cobalah sesaat lagi” Entah sudah berapa kali dia memencet nomer yang sama, tapi tetap mendapatkan jawaban yang sama pula.
“Jemarinya langsung mencari informasi lewat browser terkait hilang kontaknya pesawat Batik Air. Jantungnya berdengup kencang, wajahnya tampak pucat, napasnya tersekat di tenggorokan, Dengan langkah terburu-buru dia menuju parkir motor dan melajukan varionya ke arah rumah Bu Nely.
Wajah wanita lima puluh tahun itu tampak lesu, suara isak tangis terdengar dari bibirnya. Dia duduk di sofa seorang diri sambil menatap televisi di depannya. Air matanya semakin tumpah begitu melihat Aisyah datang dengan napas terengah-engah. Dipeluknya wanita separuh baya itu erat-erat. Tak disadari butiran bening yang ditahan dari kampus akhirnya menerobos keluar tanpa bisa dibendung.
“Kita berdoa saja semoga pesawat yang ditumpangi Mas Fadli bukan pesawat yang ini,” dengan suara terisak Aisyah berusaha menenangkan Bu Nely. Walaupun kekhawatiran menyelimuti hatinya. namun dia berusaha berfikir positif.
“Siapa tahu Mas Fadli sengaja mematikan ponsel, karena aturan di dalam pesawat, kita tidak boleh menghidupkan handphone.”
Ucapan Aisyah setidaknya membuat Bu Nely merasa lebih tenang.
Cahaya matahari yang belum tampak sejak pagi tadi seolah mengisyaratkan kedukaan yang mereka alami. Menjelang sore belum ada kabar sama sekali, nomer Fadli belum bisa dihubungi. Pemuda yang masih berseragam abu putih itu langsung meletakkan tasnya di meja begitu melihat kesembaban di bola mata kedua wanita yang sedang duduk lesu di sofa.
Begitu mendengar penjelasan dari calon kakak iparnya, mereka bertiga langsung menuju bandara memastikan peristiwa tersebut.
Lutut Aisyah terasa lemas, tangannya berpegangan di meja, matanya berkunang-kunang begitu mendengar salah satu penumpang yang ada di pesawat yang hilang kontak itu adalah Fadli Firmansyah. Seakan tidak percaya dengan pendengrnya, dia meminta petugas untuk memperlihatkan nama-nama penumpang yang berjumlah 185 orang itu. Dia langsung terkulai di lantai tidak sadarkan diri.
Petugas bandara langsung membawanya ke klinik bandara, Parhan menuntun sang ibu menuju ruang perawatan yang ada di sana. Ruang klinik itu hampir penuh, suasana haru terlihat jelas dari setiap wajah. Bisa dipastikan mereka adalah keluarga dari penumpang pesawat Batik Air. Beberapa wanita duduk sambil bersandar di tembok berusaha mengusap air matanya.
Parhan dan Bu Nely berdiri disamping tubuh Aisyah yang terkulai lemas belum sadarkan diri. Polesan make up seadanya semakin membuat wajahnya terlihat lebih pucat. Parhan berusaha menghubungi Bayu menginformasikan keadaan Aisyah sambil menenangkan bahwa kakaknya akan baik-baik saja bersama mereka.
Pak Syukri mondar mandir di depan rumah sambil menunggu putri sulungnya yang belum pulang hingga malam menjelang. Melihat gelagat sang bapak, pemuda berwajah cool itu pun menenangkan lelaki beruban yang berdiri di teras.
“Bapak tidak usah khawatir, kakak sekarang ada di rumah Bu Nely.”
Mendengar kabar dari Bayu, Pak Syukri menyela.
“Mengapa kamu tidak kasi tahu bapak dari tadi. Kan bapak tidak perlu sepanik ini?
Bayu tidak ingin menambah beban lelaki paruh baya itu dengan peristiwa yang menimpa calon kakak iparnya.
“Dia masih ada urusan, nanti kalau sudah selesai, dia pasti pulang diantar mas Fadli,” ucapnya berbohong.
Empat puluh menit berlalu, berlahan Aisyah membuka matanya, kepalanya terasa berat. Dilihatnya wanita paruh baya yang akan jadi mertuanya duduk disamping tempatnya berbaring.
“Saya dimana Bu?” Tanya Aisyah
“Tadi kamu pingsan dan sekarang ada di klinik bandara.” Penjelasan Bu Nely membuat gadis itu teringat apa yang dialaminya beberapa waktu lalu.
Butiran bening kembali menerobos keluar, disertai isak tangis. Napasnya terlihat sesak menahan beban berat yang dirasakan. Duka mendalam yang ia rasakan kali ini jauh lebih berat daripada saat ditinggal oleh Umam. Harapan untuk memiliki keluarga kecil musnah sudah. Bayangkan menjadi seorang istri dan ibu dari bocah imut-imut pupus ditelan bumi.
Tak ayal membuat wanita yang gagal menjadi calon mertuanya ikut meneteskan air mata. Sambil memegang tangan gadis itu, Bu Nely berujar.
“Ibu tahu ini berat, tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa, atas semua yang sudah menjadi ketentuan-Nya. Kita hanya bisa berdoa agar Fadli diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.” Ucap Bu Nely dengan suara parau.
“Apakah kak Aisyah mau ikut kami pulang ke rumah atau saya antar ke rumah kakak?” Suara Parhan seolah mengingatkan bahwa mereka sedang berada di tempat umum.
“Antar kakak pulang ke rumah bapak saja!”
Mereka pun meninggalkan bandara membawa kesedihan masing-masing. (Bersambung)