Suatu sore. Sebagai penggemar lagu Batak, sekilas terdengar olehku harmonisasi lagu plus dentingan berbagai instrumen pada salah satu kanal. Kulirik, lha, kok ramai betul instrument yang dimainkan, ada empat gitar dengan berbagai jenis. Aku mendekat kearah TV, kusimak syairnya, sangat penuh makna. Ini cuplikan syair tersebut:
” Dosdo nangkokna jala dosdo tuatna anggo diparngoluan on, molo sinuan hassang…hassangdo natubu,molo sinuan gadong, gadongdo natubu, molo sinuan nadenggan sai nadenggan do naro, molo sinuan naroa sai naroa do naro “.
Kalau diterjemahkan, artinya kurang lebih berbunyi, bahwa dalam kehidupan ini harus sama naik dan turunnya, jika tanam kacang maka kacang yang tumbuh, tanam ubi maka ubi yang tumbuh. Jika berbuat kebaikan maka kebaikanlah yang kita terima, sebaliknya jika berbuat yang buruk maka keburukan juga yang kita terima.
Sebagai suku Batak Toba, aku masih sangat fasih berbahasa Batak Toba, walau sudah lama merantau ke bumi Kualuh, Labuhanbatu Utara. Bagiku, menikah dengan lelaki beda suku, tidak serta merta hilangkan identitasku sebagai boru Nainggolan.
Bahkan, ketika ada sesuatu yang agak rahasia, aku dengan pak suami berbahasa Batak. Ya, paksu juga fasih, karena 15 tahun merantau di Aeknauli. Karena selalu berinteraksi dengan suku Batak dan pengguna bahasa Batak, maka paksu otomatis bisa berbahasa Batak.
Jika ada yang enggan memakai bahasa daerahnya ketika bertemu dengan teman sedaerah, bagiku itu adalah sesuatu yang lebay. Lebay karena anyhow bahasa daerah harus dilestarikan, jadi apa salahnya jika berbahasa daerah saja, toh tidak pada acara formil?
Kecuali jika disekitar kita ada suku- suku lain, dan kita ngedumel terus tanpa henti pakai bahasa daerah, tentulah kurang beretika. Aku termasuk orang yang suka mempelajari bahasa orang lain, alhamdulilah bisa sedikit bahasa Karo, Simalungun, Minang, dan lebih sedikit lagi bahasa Jawa ( padahal paksu suku Jawa ).
Kembali kepada lagu Batak tadi, syair tersebut penuh makna, hampir sama dengan suku Minang, atau mungkin juga suku lainnya. Sebenarnya suku Batak itu memiliki kehalusan sastra dalam berbicara lewat umpasa ( peribahasa ) maupun lewat lagu.
Hal ini dapat dilihat dari berbagai syair lagu yang merupakan nasehat kepada anak, kerabat, juga pada orang tua. Sayangnya aku tidak fasih berumpasa, sebab untuk bisa berumpasa harus menguasai banyak kosa kata, sesuai rima untuk pantun.
Semoga kita, yang masih mengalir darah Batak ditubuhnya, tetap menghargai dan melestarikan nilai-nilai luhur peninggalan nenek moyang. Mari berkarya dengan tetap berpijak dibumi mana kita berasal, ingatlah bona ni pinasa ( tanah leluhur ), perkenalkan pada dunia, bahwa kita berasal dari sana. Salam literasi dari bumi Kualuh basimpul kuat babontuk elok.
KMAA-39
https://youtu.be/8RNSQBB1–