Pertama kali mengenal “pentigraf” ketika ikut bergabung di Gurusiana, web penulis para guru se Indonesia yang banyak menampilkan karya pentigrafnya. Ada juga yang menulis ‘tatika” cerita tiga kalimat. Maka pentigraf pun enak didengar kepanjangannya cerita pendek tiga paragraf.
Di sana saya jumpai beberapa tulisan berkisah sehari-hari, misalnya sedang ikut penataran, kisah guru dll. Saya pun mencoba dengan sekedar menuliskannya dengan panduan pokok : tatika pokok tiga kalimat, walau pun saya buat panjang sekali per kalimatnya. Begitu pula pentigraf, pokoknya saya buat tiga paragraf walau pun jumlah kata tidak saya batasi. Itulah modal pokok menghibur diri menyenangkan hati agar berhasil menulis.
Semakin hari semakin penasaran, saya mencaritahu informasi pentigraf dari sebuah video yang ditayangkan di channel Mediaguru Indonesia.”Belajar Pentigraf Langsung dari Penemunya Tengsoe Tjahjono.” Beberapa kali video itu saya putar untuk mendapatkan pemahaman lengkap. Semakin pahamlah.
Seiring waktu saya berusaha menulis, tanpa pedulikan jumlah kata, namun belakangan ketika ada lomba menulis pentigraf ternyata berlaku aturan tidak lebih dari 210 kata. Ini tantangan. Akibatnya, menulis pun menghasilkan kegiatan baru mengedit habis-habisan agar tidak lebih 210 kata. Sebenarnya disertai tanda tanya mengapa ? Belakangan saya ketahui jawaban dari Prof. Tengsoe Tjahjono, bahwa jumlah itu untuk menyesuaikan dengan halaman di buku, agar pas satu halaman. Ternyata setelah jadi buku.” Betul juga.”
Menulis pun menurut penemunya, dari sekian naskah yang pernah dikurasi ditemukan kesimpulan antara lain, rerata pentigraf masih menceritakan fakta. Istilahnya memindahkan fakta ke dalam tulisan. Menceritakan apa adanya. Bercerita seperti kejadian nyatanya. Padahal pentigraf itu adalah kejadian yang dibuat kisah. Sehingga ada unsur imajinasi dan unsur sastra masuk disana. Ada alur, ada konflik ada penyelesaian, ada twist. Bagi saya twist itu saya artikan ending atau ada di bagian paragraf ke tiga berupa kisah tidak terduga. Sifatnya menghentak dan membuat pembaca terhenyak. Wah disinilah hebatnya, itu batin saya. (Walau pun cerpen pun mempunyai ending seperti itu jika ingin menarik). Namun akhir dari satu paragraf memang tidak harus begitu. Bebas, boleh datar, boleh menghentak. Boleh tanda tanya. Pilihlah yang paling menarik , kalau saya yang mengejutkan pembacanya, atau tidak terduga.
Tetapi karena karya sastra, maka tehnik penulisan pun harus memenuhi unsur logika. Tidak boleh menuliskan pentigraf dengan kemauan sendiri bahkan tidak jelas asal usulnya satu kejadian. Setiap kisah mesti ada dalam koridor logika sebab akibat dan kewajaran kisahnya. Misalnya ketika dalam satu ruangan tiba-tiba bajunya basah terkena air kopi, padahal tidak ada segelas kopi pun disana. Asal-usul kopi pun tidak pernah dijelaskan dengan baik.
Seperti tulisan ini, ketika ingin menulis tentang pentigraf, tiba-tiba saya bertutur tentang cara membuat pentigraf dengan baik padahal belum pernah mengenal karya ini.
Maka akhir dari kisah menulis pentigraf, kali ini berdasar pengalaman. Tulislah satu kisah tapi jangan dibuat berkisah sesuai urutan faktanya. Maksudnya based on true betul, tetapi dikisah ulang dengan bingkai sastra. Sehingga ada unsur imaginasi, konflik, ending dsb. Untuk pentigraf agar menarik carilah ending yang “mengejutkan” dan sulit ditebak dan diduga. Caranya, antara lain pikirkan dulu endingnya bagaimana, jika sudah ketemu baru tulis bagian awal lalu bagian tengahnya. Aneh ya…. tapi cara ini yang sering saya lakukan.
Kenalilah “premis” dan masukkan dalam kisah pentigraf. Letak premis itu biasanya di depan. Terdiri dari satu kalimat yang seperti meringkas gagasan cerita selanjutnya. Inilah yang membantu alur cerita agar tetap lurus sesuai rencana dan logika. Lurus dalam bingkai sastra.