Jika aku boleh memilih, pilihanku saat itu tentu tetap bertahan dalam kesendirian. Walaupun setiap punya jodoh aku lebih memilih biarkan tidak berjodoh jika harus merasakan sakit hati yang mungkin bagiku sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Beberapa kali aku mengerjapkan netraku, mungkin ini hanya permainan netraku. Tapi sudah berulang kali aku menutup dan membuka netra ini bukan ilusi tapi benar adanya.
Senyum yang merekah, serta binar netra yang menandakan dirinya bahagia. Sebegitu bahagianya dirinya tapi bukan denganku, aku melihat sosok yang sekarang berada di dekatnya mereka begitu mesra walaupun tidak berpegangan tangan atau saling merangkul tapi dari gesture tubuh mereka terlihat jelas ada sesuatu diantara mereka, aku iri dengan sosok wanita yang saat ini bersamanya.
Nada dering di gawai menganggu kekhusukkanku memperhatikan mereka, hanya sejenak aku memperhatikan gawai, ketika netraku kembali ke arah dirinya, aku kehilangan mereka. Netraku mencari keberadaan mereka, puas aku memalingkan wajahku mencari bayangan mereka tapi hasilnya nihil. Hembusan napasku berat, ada beribu ton air di netraku siap meluncur, jika saja aku sekarang berada dalam ruangan tentu air itu turun bagaikan bah. Aku berlari menuju toilet, sungguh aku tidak tahan lagi, Alhamdulillah ada wc yang kosong. Aku terisak menahan tangisku yang membajiri netraku, ada perih sudut hatiku, kenapa harus aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, cukup saja aku mendengarkan kabar burung jika dia tidak bahagia denganku, walaupun aku berusaha membahagiakannya.
Aku memandang perutku, karena perut ini tidak pernah berisi, maka dia tidak bahagia. Ingin rasanya aku memukul perut yang tidak bersahabat ini, tapi sekali lagi aku ingat bahwa ini hanya masalah waktu saja.
“Ibu sehat, mungkin belum waktunya Ibu hamil.” Ucapan dokter kandungan ketika terakhir kali aku periksa dan menanyakan kenapa aku tidak kunjung hamil.
***
Ku tatap rumah besar yang sepi dari tawa Si Kecil, pernikahan kami sudah lebih dari lima tahun. Sejak terakhir kali terlambat datang bulan, karena ketidak tahuanku akhirnya aku harus merelakan dia yang tidak aku ketahui keberadaannya pergi meninggalkanku. Langkahku lemah membuka pintu.
“Assalamualikum.” Batinku
“Walaikumsalllam.” Aku menjawabnya sendiri.
Jika sore begini aku bagaikan di kuburan masal saja, sepi tak berpengunjung. Ku hempaskan badan pada sofa di ruang tamu, tas laptopku ku letakkan seadanya. Perutku sejak siang tidak berisi, tidak berselera. Sudah beberapa hari ini aku membiarkan perut kosong dari nasi dan lauknya hanya air putih dan teh selalu menemani perutku.
Masih terkenang, senyum Bang Farhan bersamanya sejak itu seminggu yang lalu aku mendiamkan Bang Farhan, sepertinya Bang Farhan tidak ada inisiatif untuk menegurku, kami sibuk dengan urusan kami. Aku yang tidak pernah membawa tugas sekolah untuk dikerjakan di rumah, akhrirnya tugas siswa menjadi teman setia dalam membunuh sepi yang mencekam.
Entah karena lelah, aku terlelap di sofa. Sentuhan di pucuk kepalaku membangunkanku.
“Mir, bangun. Kalau ngatuk jangan tidur di ruang tamu.” Suara berat yang sudah seminggu ini tidak menegurku.
Aku mengerjapkan mataku, mengusir ngantuk yang masih bersarang. Senyumku hilang, ketika aku melihat ada wanita yang seminggu lalu tanpa sengaja aku lihat bersama Bang Farhan di coastal area.
Netraku menatap dia dan Bang Farhan bergantian, tidak ada suara yang keluar dari mulut Bang Farhan untuk mengenalkan kami.
“Maaf.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku, sebelum aku beranjak meninggalkan ruang tamu.
“Buatkan minum, Mir.” Masih aku dengar ucapan Bang Farhan sebelum aku masuk ke kamar, akhirnya aku menghentikan langkah menuju kamar, dan menuju dapur. Dua cangkir teh sudah aku seduh, melangkah menuju ruang tamu.
“Hari panas Mir, buatkan sirup dingin bukannya teg panas, masa semuanya harus dikasih tahu.” Netraku membulat mendengar ucapan Bang Farhan.
“Sudah Bang, biar saja.” ucap wanita itu, tatapan Bang Farhan yang marah ke arahku langsung redup.
“Letakkan tehnya.” Perintah Bang Farhan.
Sakit sekali rasanya, tapi aku berusaha menahannya. Melangkah meninggal mereka menuju kamar dengan tergesa, hatiku yang panas membutuhkan air dingin untuk menyejukkannya, aku menuju kamar mandi, membuka shower dan menguyur kepalaku. Tidak aku endahkan baju yang melekat di badanku, aku butuh air untuk menyejukkan panas ini.
***
(bersambung)