Gemuruh informasi virus corona baru (Covid-19) kini bermuatan moral sehingga menyuburkan mitos sedangkan sejarah penyebaran awalnya pun kian gelap.
Sampai hari ini, 12 Mei 2020, masyarakat hanya mengetahui virus corona baru (Covid-19) di Indonesia berawal dari kasus Pasien 01 dan Pasien 02. Padahal, fakta menunjukkan kasus-kasus Covid-19 selanjutnya tidak terkait dengan klaster Pasien 01 dan Pasien 02. Ini berbeda dengan Korea Selatan (Korsel) yang menemukan kasus pertama dan kasus-kasus selanjutnya berdasarkan klaster kasus pertama.
Kasus kumulatif positif Covid-19 di Indonesia sampai tanggal 12 Mei 2020 pukul 12.00 dilaporkan 14.749 dengan 1.007 kematian dan 3.063 sembuh. Jumlah kasus ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke- 37 dunia (worldometer, 12 Juni 2020, pukul 08.50 GMT atau 15.50 WIB).
Hal yang sama terjadi pada epidemi HIV/AIDS di Indonesia. Pemerintah baru mengakui ada kasus HIV/AIDS di Indonesia ketika seorang wisatawan Belanda, EGH, laki-laki gay, meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 5 April 1987. Padahal, sebelumnya beberapa kasus ARC (AIDS Related Complex) terdeteksi di beberapa rumah sakit. Namun, pemerintah tidak mengakuinya karena sejak awal epidemi HIV/AIDS pada tahun 1981 pejabat tinggi Indonesia selalu mengatakan HIV/AIDS tidak akan bisa masuk ke Indonesia karena masyarakat Indonesia berbudaya dan beragama.
- Judul-judul Berita Kasus 01 dan 02 Beberkan Riwayat Kontak
Yang didengung-dengungkan HIV/AIDS terkait dengan homoseksual dan pelacuran yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran. Bahkan, pejabat tinggi Depkes ketika itu mengatakan: Kalau tidak ikut-ikutan homoseks tidak akan tertular AIDS. Maka, ketika yang meninggal di Bali seorang gay arah komunikasi publik pemerintah pun pas. Kasus bule itu jadi titik awal pengakuan HIV/AIDS di Indonesia.
Celakanya, hal itu justru jadi pemicu mitos (anggapan yang salah tentang HIV/AIDS) karena sampai sekarang pada setengah orang HIV/AIDS terkait dengan zina, ‘seks bebas’, selingkuh, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Padahal, pada tahun yang sama (1987) Depkes melaporkan 4 kasus HIV+ dan 2 kasus AIDS yang sama sekali tidak terkait dengan EGH.
Hal yang sama terjadi pada Covid-19. Setelah kasus Pasien 01 dan Pasien 02 terdeteksi beberapa kasus lain yang bukan merupakan klaster Pasien 01 dan Pasien 02. Pasien ini mempunyai riwayat kontak langsung (close contact) dengan WN Jepang. Tapi, beberapa kasus sama sekali tidak terkait dengan Pasien 01 dan Pasien 02 bahkan riwayat kontaknya juga berbeda waktu (Lihat Matriks 1).
Beberapa kasus dan klaster Covid-19 di Indonesia yang tidak terkait satu sama lain secara langsung. (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap).
Itu artinya ada mata rantai penyebaran virus corona selain klaster Pasien 01 dan Pasien 02. Tapi, karena pengumuman kasus pertama Covid-19 yang sangat masif dan disiarkan langsung oleh stasiun siaran televisi nasional maka yang melekat di benak banyak orang adalah Pasien 01 dan Pasien 02 sebagai kasus corona pertama di Indonesia.
Celakanya, terjadi kesalahan yang sangat fatal pada pengumuman kasus pertama Covid-19 itu yaitu menyebutkan riwayat kontak Pasien 01 dan Pasien 02. Inilah awal mula stigma (pemberian cap buruk atau negatif) serta diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pasien-pasien Covid-19, termasuk tenaga medis yang merawat pasien Covid-19 serta warga yang sudah sembuh. Tidak hanya di situ jenazah yang terkait dengan Covid-19 pun ditolak warga dimakamkan di daerah mereka.
Lebih celaka lagi media massa dan media online, tentu saja media sosial, membesar-besarkan riwayat kontak Pasien 01 dan Pasien 02. Judul-judul berita di bawah ini menunjukkan betapa riwayat kontak itu dijadikan isu yang sensasional.
Judul-judul berita di media online yang membeberkan riwayat kontak Pasien 01 dan Pasien 02. (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap).
Maka, tidak mengherankan kalau kemudian ada poster di SPBU Jalan Otista Raya, Jakarta Timur, yang menyebutkan cara mencegah Covid-19 dengan menjauhi maksiat. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian acara-acara keagamaan tetap berjalan karena mereka menganggap tidak jadi tempat berisiko terjadi penyebaran Covid-19 biar pun terjadi pengumpulan orang karena bukan acara maksiat.
- Stigma Covid-19 Pemerintah Tidak Belajar dari Kasus Stigma AIDS
Secara medis tidak ada kaitan langsung antara maksiat dengan penularan Covid-19, tapi karena dari awal pengumuman resmi kasus pertama Covid-19 dikaitkan dengan kegiatan (dansa) maka dikesankan ada masalah moral di sana. Penularan atau infeksi Covid-19 dari WN Jepang ke Pasien 01 tidak bisa dibuktikan terjadi persis ketika mereka berdansa. Bisa saja pada waktu lain, misalnya ketika ngobrol sambil minum kopi, dll.
Pekerja di Spanyol memasang masker medis pada sosok yang akan menjadi bagian dari festival Fallas di Valencia, Spanyol. Festival dibatalkan karena wabah virus corona. (Foto: wfae.org/ALBERTO SAIZ/AP).
Kemenkes sendiri sejak wabah virus corona merebak menyiapkan penanganan pneumonia berat. Apakah kematian warga yang terjadi karena terkait dengan pneumonia dites Covid-19?
Korea Selatan (Korsel) menemukan kasus pertama, 20 Januari 2020, yaitu pada seorang jemaat rumah ibadat. Ini terjadi karena jauh sebelum ada kasus terdeteksi Korsel melakukan tes spesimen swab dengan PCR sejak tanggal 2 Januari 2020 yaitu dua hari setelah otoritas China mengumumkan kasus virus corona baru di Wuhan, yang kemudian disebut WHO sebagai coronavirus disease 2019 (Covid-19), tanggal 31 Desember 2019.
Beberapa laporan media luar negeri menyebutkan sejak tanggal 1 Januari 2020 sampai tanggal 23 Januari 2020 (China lakukan lockdown di Wuhan) puluhan ribu warga Wuhan, sebagian dengan virus corona tapi tanpa gejala, terbang ke berbagai kota di dunia untuk merayakan tahun baru Imlek. Beberapa maskapai Indonesia sendiri baru menghentikan penerbangan internasional awal Februari 2020.
Itu artinya pemerintah tidak belajar dari pengalaman yaitu kasus HIV/AIDS yang juga akhirnya dikaitkan langsung dengan maksiat dan dosa. Ada homoseksual, ada pelacuran, dll. Padahal, penularan HIV/AIDS, bahkan melalui hubungan seksual, tidak hanya melalui cara-cara yang melawan norma, moral, agama dan hukum.
Baca juga: Stigma Covid-19 Kita Tidak Belajar dari Pengalaman
Kini nasi sudah jadi bubur. Covid-19 sudah dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang ditangkap sebagian orang hanya mitos dan ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan mendorong diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang terinfeksi Covid-19. Sudah barang tentu jadi pemicu penyebaran Covid-19 (tagar.id, 12 Mei 2020).