Pasca Gempa Lombok, Turis Dievakuasi Dari 3 Pulau Gili. Ini judul berita di “ABC News” (6/8-2018). Ada hal yang jadi pertanyaan besar terkait dengan evakuasi warga dan wisatawan: Mengapa mereka bisa dievakuasi?
Tentu saja karena, maaf, tidak disapu tsunami [KBBI: gelombang laut dahsyat (gelombang pasang) yang terjadi karena gempa bumi atau letusan gunung api di dasar laut].
Seandainya gempa Lombok dengan kekuatan 7 pada Skala Richter itu benar-benar menimbulkan tsunami, apa yang (akan) terjadi terhadap ketiga pulau gili tsb.?
Jika dibandingkan dengan tsunami Aceh dengan kekuatan 9,3 pada Skala Richter (2004) dan Sumbar dengan kekuatan 7,6 Skala Richter (2009) tentulah tiga pulau itu akan rata dengan tanah setelah ‘disapu’ gelombang air laut.
Kalau, kejadian seperti itu apakah masih bisa dilakukan evakuasi seperti yang terjadi sekarang?
Warga dan wisatawan di salah satu pulau di gugusan gili menunggu giliran dievakuasi ke daratan Pulau Lombok (Sumber: ABC News/Sebastiaan Evans)
Di Indonesia banyak pulau yang dijadikan permukiman, objek wisata umum, khusus dan resor. Sebagian besar pulau-pulau tsb. berada di laut dan lautan yang berpotensi tsunami.
Ketika gempa terjadi di Lombok utara (5/8-2018 pukul 18.46 Wita) itu artinya mencakup tiga pulau kecil yang jadi tempat wisata yaitu Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan (Lihat gambar utama).
Ketika gempa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan tingkat waspada bahwa ada potensi tsunami. Karena tinggi air di bawah 50 centimeter BMKG kemudian mencabut peringatan tsunami.
Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan gempa menyebabkan 98 korban tewas dan 236 luka-luka ringan dan berat (liputan6.com, 6/8-2018). Sebelumnya, tanggal 29 Juli 2018, Lombok juga diguncang gempa dengan magnitudo 6,4 pada Skala Richter.
Seorang turis asal Inggris, Sebastiaan Evans, kepada “ABC News” mengatakan sesaat setelah gempa yang dia rasakan, menurut Evans pukul 19.30 sedangkan gempa terjadi 18.46, di salah satu pulau di gugusan gili itu, “Kami pergi ke lobi hotel kami tetapi mereka tidak memberi tahu kami apa yang harus kami lakukan.”
Yang dilakukan Evans dan wisatawan serta warga kemudian adalah berlari ke jalan raya mencari apakah ada yang bisa memberikan penjelasan. Tetapi mereka hanya mendapatkan ajakan untuk berlari secepatnya ke tempat tinggi. Saat berlari Evans mengaku mendengar terjangan ombak di pantai.
Sama sekali tidak ada informasi resmi. Yang dia dengar hanyalah teriakan histeris ribuan orang di pulau kecil itu sambil berlari dengan meneriakkan tsunami akan datang.
BMKG juga telah mengicaukan tentang tsunami tersebut melalui Twitter, “#Pemutakhiran, Tsunami akibat Gmp Mag:7.0SR, telah terdeteksi di Carik (18:48 WIB) 0.135 m, Badas (18:54 WIB) 0.100 m #BMKG,” (detiknews, 5/8-2018).
Evans dan wisatawan serta warga kemudian diam di bukit itu sampai pagi. “Selama kejadian itu berlangsung, tidak ada informasi resmi, semua itu adalah apa yang Anda dengar dari penduduk setempat,” kata Evans.
Sepanjang malam tidak ada informasi resmi yang mereka peroleh. Padahal, ketika itu, lebih dari 147 kali terjadi gempa susulan dengan magnitudo yang kian mengecil. Tapi, dengan kondisi tanpa informasi tentulah warga dan wisatawan di pulau-pulau itu kebingungan dan berada dalam tekanan ancaman bencana besar.
Di pagi hari yang terjadi kemudian adalah kerumunan massa yang berdesakan naik ke kapal untuk dievakuasi ke Pulau Lombok. Tapi, tidak pula bisa semerta ke kapal karena daya angkut kapal yang terbatas.
Dari pengalaman Evans itu jelas tidak ada peringatan dini di pulau-pulau gugusan Gili itu dan tidak ada pula pemberitahuan resmi tentang apa yang (sedang) terjadi. Yang tidak jelas apakah di pulau-pulau itu ada petunjuk penyelamatan diri ketika terjadi gempa dengan potensi tsunami.
Di beberapa daerah yang potensial sebagai ‘sasaran’ tsunami ada papan petunjuk jalur penyelamatan dan tititk kumpul yang aman dari terjangan tsunami.
Adalah hal yang mustahil mengevakuasi warga dan wisatawan dari pulau-pulau yang sudah dilanda tsunami. Dalam kaitan ini patut dipertanyakan prosedur dan langkah penyelamatan warga dan wisatawan di pulau-pulau yang potensial bisa dilanda tsunami (Kompasiana, 7 Agustus 2018). *