KMP Ihan Batak Layani Warga dan Wisatawan di Danau Toba

*Nama kapal laut pakai nama gunung dan kapal terbang (dulu) pakai nama sungai

Detik-detik Pelayaran Pertama KMP Ihan Batak yang Sudah Ditunggu Perantauan. Ini judul berita di medan.tribunnews.com (21/12-2018). Kapal motor penyeberangan ini  adalah jenis Ro-Ro (roll on — roll off yaitu kenderaan bermotor masuk dan keluar kapal tanpa bantuan), lebih dikenal sebagai kapal feri, dengan berat 200 GT yang memuat 30 kendaraan roda empat dan 280 penumpang. Kapal ini dibuat oleh PT. Dok Bahari Nusantara. KMP Ihan Batak mengawali uji coba dengan berlayar di perairan Danau Toba pada tanggal 20/12-2018.

Nama feri yang beroperasi di Danau Toba, Sumut, itu memakai nama ikan yaitu ihan Batak  (Neolissochillus Thienemanni sumatranus). Disebutkan ikan endemik di Tanah Batak ini terancam punah sehingga sejak tahun 1996 oleh Red List Status di IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) di daftar dengan kode Ref.57073 (medan.tribunnews.com). Di Tano Batak ikan ini dikenal sebagai ihan jurung-jurung.

Ihan Batak (Sumber: sigotom-nauli.blogspot.com)

Kehadiran kapal feri ini diharapkan bisa mendongkrak wisatawan ke Danau Toba karena sejak KM Sinar Bangun tenggelam (18/6-2018) dikabarkan minat wisatawan turun karena melihat kondisi transportasi. Kapal feri ini akan menguatkan minat wisatawan berlayar di Danau Toba karena merupakan kapal modern.

Ketika pertama kali hendak menyeberang dari Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara, ke Jakarta tahun 1972 saya ingat betul nama kapal yang saya tumpangi yaitu KM Tampomas. Nama kapal ini adalah nama sebuah gunung di Taman Wisata Alam Gunung Tampomas yang berada di bagian utara wilayah Kabupaten “Tahu” Sumedang, Jawa Barat. Gunung stratovolcano ini ketinggiannya 1.684 meter.

Sebelum dioperasikan oleh PT Pelni kapal itu dipakai oleh PT Arafat sebagai kapal pengangkut haji. Belakangan Tampomas di-scraping (dipreteli) karena sudah uzur untuk bahan baku pabrik besi.

Maka, kalau kita simak semua kapal penumpang dan kapal barang milik PT Pelni memakai nama gunung. Lihat saja ini: Awu (nama gunung di Sangihe, Sulut), Binaiya (Maluku), Bukit Raya (Kalteng), Bukit Siguntang (Sumsel), Ciremai (Jabar), Dobonsolo (Papua), Dorolonda (NTB), Egon (NTT), Gunung Dempo (Sumsel-Bengkulu), Kelimutu (NTT), Kelud (Jatim), Labobar (Maluku), Lawit (Kalbar), Lambelu (Sultra), Leuser (Aceh), Nggapulu (Papua), Pangrango (Jabar), Sangiang (NTB), Sinabung (Aceh), Sirimau (Maluku), Tatamailau (Timor Leste), Tidar (Jateng), Tilongkabila (Gorontalo), Umsini (Papua Barat), Wilis (Jatim), dan beberapa kapal lain juga pakai nama gunung. Sedangkan kapal perintis berganti nama jadi Sabuk Nusantara.

Bisa jadi kapal laut memakai nama gunung agar kokoh (ketika) berlayar seperti gunung yang menjulang ke angkasa. Di Pulau Samosir, di tengah Danau Toba, dikenal ada Gunung  Pusuk Buhit yang juga ada dalam mitologi suku Batak.

Tapi, dunia pelayaran juga memakai nama-nama perempuan untuk nama kapal. Seperti kapal pesiar terkenal memakai nama yang terkait dengan perempuan, seperti Royal Princess yang membawa 3.600 wisatawan mengarungi samudra. Ada lagi Queen Mary 2. Kapal-kapal pesiar kecil dan kapal pemancing juga memakai nama-nama ikan terkenal yang jadi sasaran pemancing di laut.

Di tahun 1980-an kapal terbang, seperti Garuda, memakai nama sungai yang dilukis di samping hidung pesawat. Ini jelas kelihatan ketika naik atau turun dari tangga di depan pada pesawat DC-9 atau F-27 dan F-28. Lihat saja pesawat Garuda yang dibajak ke Bangkok, Thailand (1981) selain registrasi (PK) juga ada nama di badan pesawat yaitu Woyla. Ini nama salah satu sungai di Aceh. Belakangan tidak ada lagi nama di badan pesawat Garuda sehingga hanya memakai registrasi (PK yang diikuti tiga huruf). Penulis ingat-ingat lupa pernah naik Garuda DC-9 Serayu dari Batam.

Bisa jadi pemakai nama sungai untuk pesawat terbang mengikuti filosofi sungai yang mengalir sampai jauh untuk satu tujuan yang dalam perjalanannya menaik-turunkan penumpang dan barang.

Kapal feri Ihan Batak akan beroperasi resmi mulai tanggal 24 Desember 2018 yang menghubungkan Pelabuhan Ajibata (Tobasa) dan Ambarita (Samosir). Kapal ini memakai konstruksi besi sehingga bobot kapal terasa berat untuk terapung di perairan air tawar (Danau Toba) karena   berat jenis (BD) air tawar 1. Ini perlu disosialisasikan ke masyarakat agar tidak ada toleransi untuk kelebihan muatan dengan alasan apa pun. Tentu saja pengawasan jadi penting agar petugas pelabuhan, awak kapal dan penumpang menaati aturan.

Mungkin, di perairan air tawar, seperti Danau Toba, kapal dengan konstruksi kayu bisa lebih aman daripada kapal yang terbuat dari besi. Sedangkan pemberian nama kapal dengan nama ikan diharapkan membawa berkah bukan sebaliknya (sumber dari wikipedia dan sumber-sumber lain) (Kompasiana, 23 Desember 2018).*

Tinggalkan Balasan