Menyesatkan Sebut Kasus HIV/AIDS di Aceh Terjadi Pasca Tsunami

Humaniora0 Dilihat

KMAB45

Setelah tsunami di Aceh (2004) kasus HIV/AIDS mulai terdeteksi, muncul pernyataan  menyesatkan yang mengaitkannya dengan keterbukaan daerah

Oleh: Syaiful W. Harahap

Keberadaan kasus HIV/AIDS di Aceh terus menjadi perbincangan yang mengarah ke ‘debat kusir’ dan mencari ‘kambing hitam.’ Hal ini terjadi karena ada pernyataan bahwa kasus-kasus HIV/AIDS di Aceh terjadi setelah tsunami (Desember 2004) yaitu Aceh jadi daerah  terbuka.

Ini ada dua berita yang mengaitkan HIV/AIDS di Aceh pasca tsunami, yaitu: Pasca Tsunami, Aceh Rawan HIV/AIDS (jpnn.com, 24/3-2010) dan  Penderita AIDS di Aceh Meroket Setelah Tsunami (news.detik.com, 3/12-2006).

Ini mengesankan HIV/AIDS di Aceh dibawa orang luar (negeri). Pemahaman ini menyesatkan. Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadi pemicu penyebaran HIV/AIDS di Aceh.

Fakta terkait kasus HIV/ADS di Aceh sebagai realitas sosial akan membuka mata untuk merenungkan perilaku agar menjadi bagian dari pemutusan mata rantai penyebaran HIV/AIDS.

Sampai September 2010 sudah dilaporkan 48 kasus HIV/AIDS di Aceh dengan delapan kematian.

Sampai September 2010 sudah dilaporkan 48 kasus HIV/AIDS di Aceh dengan delapan kematian. Sedangkan data terakhir yang dikeluarkan oleh Ditjen P2P, Kememkes (2/2-2021) dan siha.kemkes.go.id (18/3-2022) menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Aceh sampai 31 Desember 2022 mencapai 1.063 yang terdiri atas 663 HIV dan 1.726 AIDS.

Angka kasus HIV/AIDS di Aceh yang kecil inilah yang membuat orang Aceh ‘terlena,’  sehingga terperangkap dalam ‘keamanan’ semu. Padahal, angka itu tidak menunjukkan kasus yang sebenarnya di masyarakat.

Yang perlu diingat adalah epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es.  Jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Apakah fenomena gunung es epidemi HIV ini berlaku di Aceh?

Fenomena ini akan menggambarkan epidemi HIV/AIDS di Aceh jika ada penduduk Aceh yang perilaku sekbualnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS di Aceh, di luar Aceh atau di luar negeri.

Perilaku seksual dan nonseksual berisiko tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong).

(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Sedangkan perilaku nonseksual yang berisiko tertular HIV, yaitu:

(5). Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,

(6) Memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan berganti-ganti dan bergilir, terutama pada penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) karena bisa saja salah satu mengidap HIV/AIDS sehingga darah masuk ke jarum suntik dan ke tabung yang salnjutnya disuntikkan ke badan penyalahguna yang lain.

Kasus HIV/AIDS di Aceh sebelum dan sesudah tsunami. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Sebelum Tsunami

Jika ada penduduk Aceh yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS maka fenomena es terkait dengan epidmi HIV ada di (masyarakat) Aceh.

Celakanya, selama ini materi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS di Aceh tidak disampaikan secara akurat. Akibatnya, banyak yang tidak memahami HIV/AIDS. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian masyarakat menuding pendatang sebagai biang keladi penyebaran HIV karena sebelum tsumani hanya 1 kasus yang dilaporkan.

Tapi, tunggu dulu. Mengapa kasus HIV dan AIDS sebelum tsunami hanya terdeteksi 1 kasus? Sebaliknya, mengapa setelah tsunami banyak kasus HIV dan AIDS yang tedeteksi?

Pertama, kasus HIV/AIDS hanya bisa terdeteksi melalui tes darah di laboratorium dengan reagent khusus. Upaya untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat selama ini dilakukan melalui survailans tes HIV kepada kalangan tertentu, seperti pekerja seks komersial (PSK), pekerja panti pijat, dan waria.

Sebelum tsunami survailans tes HIV di Aceh hanya dilakukan satu kali di satu kabupaten saja karena suasana yang tidak memungkinkan karena ketika itu sedang terjadi konflik bersenjata.

Setelah Tsunami

Kedua, setelah tsunami mulai banyak kegiatan untuk melakukan survailans tes HIV karena suasana sudah aman sehingga mulai ditemukan kasus HIV/AIDS.

Klinik-klinik tes, dikenal sebagai klinik VCT (voluntary counseling and testing yaitu tes HIV secara sukarela dengan konseling atau bimbingan sebelum dan sesudah tes secara gratis) mulai dijalankan di beberapa rumah sakit. Selain itu ada pula pusat rehabilitasi narkoba yang juga menyaratkan tes HIV bagi penyalahguna narkoba yang akan direhabilitasi.

Ketiga, warga Aceh yang tertular HIV sebelum tsunami mulai menunjukkan gejala-gejala yang terkait dengan AIDS. Ini terjadi karena secara statistik masa AIDS terjadi antara 5 dan 15 tahun setelah tertular HIV. Orang-orang yang tertular sebelum tsunami mulai ada yang sakit sehingga mereka harus berobat ke rumah sakit.

Penyakit yang mereka derita, seperti diare, sariawan, jamur, TBC, pneumonia (radang paru-paru), dll. sulit disembuhkan sehingga dokter menganjurkan agar pasien menjalani tes HIV. Dari sinilah kasus-kasus AIDS banyak terdeteksi di Aceh.

Maka, anggapan yang menyebutkan HIV/AIDS di Aceh dibawa orang asing setelah tsunami terjadi karena pemahaman terhadap /AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Selain itu banyak kalangan dan media yang menyampaikan informasi HIV/AIDS yang menyesatkan.

Dari matrik di atas dapat dilihat kasus HIV/AIDS yang terdeteksi setelah tsunami justru penularannya terjadi jauh sebelum tsunami. Matriks berikut juga memperjelas kondisi HIV/AIDS.

Matriks: Tertular HIV, masa jendela, dan masa AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Selama ini ada mitos (anggapan yang salah) tentang penularan HIV yaitu mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks sebelum nikah, ‘jajan’, selingkuh, waria, dan homoseksual.

Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau seseorang melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan orang yang sudah mengidap HIV. Fakta itulah yang tidak dipahami oleh masyarakat secara luas sehingga banyak orang yang tertular HIV karena ketidaktahuan.

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Lebih dari 90 persen orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka.

Dalam kaitan inilah untuk menekan infeksi baru di kalangan dewasa dan remaja Pemprov. Aceh melalui jajarannya menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Jika masyarakat sudah memahami HIV/AIDS dengan benar maka diharapkan penduduk yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV mau menjalan tes HIV secara sukarela. Fasilitas tes gratis dengan konseling sudah disedikan di beberapa rumah sakit melalui klinik VCT.

Semakin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang dapat diputuskan.

Mereka pun bisa ditangani secara medis melalui pemberian obat antiretroviral (ARV) agar mereka tetap produktif. Pada gilirannya, kasus-kasus infeksi baru pun akan bisa ditekan. *

Tinggalkan Balasan