Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Pekalongan Ada di Hilir

KMAB0 Dilihat

KMAB19

Yang diperlukan adalah penanggangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui perilaku seksual berisiko

“Selama kurun bulan Januari – Mei 2022, temuan kasus baru HIV/Aids di Kabupaten Pekalongan (Jawa Tengah-pen.) ada 29 kasus. Faktor pemicu penyakit ini di Kota Santri masih didominasi akibat seks bebas dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender).” Ini lead pada berita “5 Bulan, Ada 29 Kasus HIV/Aids” (radarpekalongan.co.id, 19/7-2022).

Ada beberapa hal yang tidak akurat di lead berita ini, yaitu:

(a). Disebut “ …. penyakit ini (maksudnya HIV/AIDS-pen.). HIV bukan penyakit, tap virus. AIDS juga bukan penyakit tapi kondisi pada orang-orang yang tertular HIV yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular. Ini terjadi jika pengidap HIV tidak meminum obat antiretroviral (ARV) sesuai dengan resep dokter.

(b). Disebutkan pemicu HIV/AIDS di Kab Pekalongan adalah ‘seks bebas.’ Istilah atau terminologi ini ngawur bin ngaco karena terjemahan bebas dari ‘free sex’ yang justru tidak ada dalam kamus-kamus bahasa Inggris.

Lagi pula kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina atau pelacuran, maka pernyataan tersebut lebih ngawur lagi karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks bebas, melacur, selingkuh, homoseksual dan lain-lain), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom. Ini fakta medis (Lihat matriks).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Kalau seperti yang disebutkan di lead berita bahwa pemicu HIV/AIDS adalah ‘seks bebas,’ maka semua orang yang pernah melakukan zina dengan pacar, selingkuhan atau pekerja seks komersial (PSK) sudah mengidap HIV/AIDS.

Faktanya tidak. Misalnya, yang terpaksa menikah karena hamil duluan nyatanya mereka tidak mengidap HIV/AIDS walaupun sudah terbukti melakukan zina. Begitu juga dengan laki-laki ‘hidung belang’ tidak semua mengidap HIV/AIDS.

Maka, pernyataan tersebut (pemicunya seks bebas) merupakan hal yang, dalam jurnalistik disebut misleading (menyesatkan) sehingga tidak termasuk karya jurnalistik.

(c). Disebutkan pemicu HIV/AIDS di Kab Pekalongan adalah LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Ini juga misleading karena:

  • LGBT adalah orientasi seksual sehingga yang bukan LGBT pun jadi pemicu yaitu heteroseksual. Tapi, mengapa hanya LGBT yang disasar.
  • Non-LGBT yaitu suami-suami terbukti banyak yang menularkan HIV/AIDS ke istrinya yang bermuara pada anak yang dilahirkan istrinya mengidap HIV/AIDS. Dalam berita tidak ada penjelasan jumlah ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS.
  • Lesbian adalah orientasi homoseksual pada perempuan. Tidak ada seks penetrasi pada seks lesbian sehingga tidak ada risiko penularan HIV/AIDS pada seks lesbian. Belum ada laporan kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko seks lesbian.

Dalam berita disebutkan: “ …. agar kasus penyebaran bisa ditekan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Pekalongan lebih banyak turun ke lapangan untuk melakukan tes HIV atau VCT (Voluntary Counseling and Testing) terhadap populasi risiko. Seperti komunitas PL (pendamping lagu) dan LSL (laki-laki suka laki-laki).”

Yang menularkan HIV/AIDS ke PL adalah laki-laki heteroseksual yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar atau selingkuhan.

Jika ada PL yang bisa dibayar melakukan hubungan seksual tedeteksi HIV-postif, maaf, dihukum matipun PL itu tidak menyelesaikan masalah karena PL itu sudah menularkan HIV/AIDS ke laki-laki lain.

Laki-laki lain yang tertular HIV/AIDS dari PL yang bisa di-booking bisa saja seorang suami sehingga ada risiko penularan HIV/AIDS ke istrinya jika dia tertular HIV/AIDS dari PL.

Maka, yang perlu dilakukan oleh Pemkab Pekalongan adalah melakukan intervensi di hulu untuk menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual berisiko atau perilaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan

(3). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Tentu saja Pemkab Pekalongan tidak bisa melakukan intervensi terhadap tiga perilaku berisiko di atas karena hal tersebut ada di ranah privat. Apalagi setelah reformasi lokalisasi pelacuran ditutup sehingga pindah ke media sosial. Transaksi seks dilakukan di media sosial dan eksekusinya terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.

Soal LSL, yang lebih dikenal sebagai gay, infeksi HIV/AIDS pada LSL ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai istri. Penyebaran HIV/AIDS terjadi di komunitas LSL, sedangkan seorang laki-laki heteroseksual jika tertular HIV/AIDS akan menularkan ke istrinya. Bahkan, ada laki-laki yang istrinya lebih dari satu sehingga kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS.

Disebutkan juga: Dinkes mencoba lebih menggiatkan di tes HIV. Agar bisa menemukan kasus lebih dini, dengan cara langsung mendatangi ke faktor risiko.

Perlu dipahami langkah tersebut ada di hilir. Yang jalani tes HIV sudah melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko di atas.

Matrik: Tes HIV merupakan penanggulangan AIDS di hilir. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Padahal, yang diperlukan adalah langkah pencegahan infeksi HIV baru di hulu yaitu pada tiga perilaku seksual di atas.

Tanpa intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom pada perilaku seksual berisiko, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Laki-laki atau perempuan yang tertular HIV dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebarah HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV/AIDS terjadi tanpa disadari karena tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS. Itu artinya penyebaran bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 25/7-2022). *

Tinggalkan Balasan