LIONTIN

Fiksiana, KMAB92 Dilihat

Gadis itu berdiri di depan cermin. Memandangi tubuhnya yang terbalut kebaya berwarna pink. Wajahnya terlihat sumringah. Sesuatu yang dicita-citakannya terwujud sudah. Rasanya kesempurnaan menjadi miliknya. Dewi fortuna sedang menaungi hidupnya. Bahkan jika dibandingkan dengan orang-orang yang beruntung, dia merasa dirinyalah yang paling beruntung.

Senyumnya terus mengembang. Melangkah ke kiri dan ke kanan, kemudian berputar sambil tak lepas memandangi tubuhnya di cermin. Senandung kecil terdengar dari mulutnya yang mungil. Tiba-tiba dia berhenti. Suara Langkah kaki mendekati kamarnya. Gadis itu menoleh ke arah pintu.

Seorang wanita muncul. Dia mendekat lalu berdiri di belakang gadis itu. Tangannya yang kurus terangkat mengelus lembut pundaknya. Si gadis berbalik membelakangi cermin. Digenggamnya tangan Wanita itu. Terlihat wajahnya yang tegang. Ada kekhawatiran di sana.

“Ibu jangan khawatir, Intan bisa menjaga diri. Apapun resikonya akan saya tanggung yang penting keinginan Intan terwujud, Ibu tenang yah.” kata Gadis itu pelan.
Wanita yang di panggil ibu itu terdiam, kata-kata gadis yang menyebut dirinya Intan, tidak merubah wajah tegangnya. Bahkan semakin jelas terlihat. Dia melangkah ke tempat tidur. Terduduk lesu. Matanya terlihat nanar, menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Seolah membuang beban yang ada di dadanya. Matanya tak lepas dari wajah cantik Intan. Pandangannya turun ke perut Intan yang buncit.

“Kamu mau kemana Intan?…!” lanjutnya.
Intan hanya tersenyum. Mengelus perutnya, kemudian melangkah dan duduk disamping ibunya. Tangannya meraih pundak dan berusaha meyakinkan agar ibu tidak mengkhawatirkannya.
“Aku mau menjemput suamiku. Aku sudah rindu padanya…..! Do’akan Intan segera Kembali ke rumah ini.” Intan bangkit dari duduknya.

“Tapi Intan, Ibu tidak mengijinkan kamu pergi…!” Ibu bangkit dari duduknya. Intan hanya tersenyum lalu melangkah menuju pintu. Ibu berlari sambil berteriak-teriak mengejar Intan. Tapi Intan terus berlalu tanpa memperdulikan teriakan ibunya.

Intan berdiri di luar pagar, menatap pria yang berjalan ke arahnya. Senyumnya mengembang, matanya berbinar, jantungnya berdegup kencang. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Pria itu terus mendekat, berdiri tepat di hadapan Intan. Sorot matanya begitu teduh, tatapannya mampu menggetarkan hati Intan.

“Mari Intan…!” ajak pria itu sambil mengulurkan tangannya. Pria itu tidak lain Lingga suaminya. Intan meraih tangan Lingga dan mengenggamnya erat. Perlahan mereka melangkah meninggalkan halaman rumah. Mereka berjalan berdampingan. Sesekali Lingga menatap Intan dan intan membalasnya dengan senyuman.

Belum jauh mereka melangkah, tiba-tiba dari arah kiri, dua bayangan bergerak dan menghadang mereka. Dari arah kanan juga muncul dua orang dan berdiri di belakangnya. Seketika mereka menghentikan langkahnya. Keduanya berpegangan saling membelakangi.

“Tuan kembalilah, ayah dan ibu sedang menunggu dan kamu Intan ikutlah dengan kami, jika tidak kamu akan merasakan akibatnya.” kata salah satu dari mereka sambil meraih paksa tangan Intan.
“Jangan ganggu Intan, kalian pulanglah beritahu ayah dan ibu aku tidak akan Kembali sampai ayah dan ibu merestui pernikahan kami.” Jawab Lingga.

Lingga memberi isyarat pada Intan dengan matanya. Mereka saling mengangguk kemudian berlari ke arah yang berbeda. Intan ke kiri sementara Lingga ke arah kanan. Mereka berlari terpisah. Untuk sesaat ke empat laki-laki itu bingung. Tapi segera membagi tugas untuk mengejar keduanya.

Intan terus berlari tanpa memperdulikan dua orang yang mengejarnya. Perutnya terasa sakit, tapi Intan terus berlari. Setelah cukup jauh, Intan berhenti menyelinap diantara pohon dan bersembunyi di sana.
Beberapa saat kemudian, kedua laki-laki yang mengejarnya lewat. Mereka tidak menyadari keberadaan Intan. Intan segera berbalik dan berjalan mengendap. Perutnya semakin sakit. Dia berusaha untuk terus berjalan, namun rasa sakit di perutnya membuatnya berhenti.

Intan menyandarkan tubuhnya pada pohon. Napasnya terengah, keringatnya bercucuran menahan sakit. Tiba-tiba terdengar suara ranting patah. Intan menoleh, seekor kelinci keluar dari persembunyiannya, mungkin dia terganggu dengan kehadiran Intan.

Setelah duduk cukup lama, rasa sakit Intan sedikit berkurang. Intan Kembali bangkit. Dia sudah berjanji untuk bertemu Lingga di tempat biasa. Sebuah tempat yang dirasa aman untuk mereka berdua. Belum jauh Intan melangkah sebuah suara menghentikannya. Intan berbalik terlihat ibunya tengah berlari mengejar Intan.

“Ada apa Bu?” Intan menatap ibunya heran.
Ibu tidak menjawab, dia segera mendekat dan memapah Intan menuju sebuah tempat. Gemericik air terdengar dari kejauhan. Semakin lama semakin terdengar. Rupanya ibu mengajak Intan ke tepian sungai. Dia berdiri memandangi sekitar sungai, kemudian memapah Intan mendekati pohon yang tumbuh di tepi sungai.

“Kamu duduklah di belakang pohon itu, Jangan ke mana-mana, ibu segera Kembali.” Katanya sambil meninggalkan Intan yang terlihat bingung. Intan menatap punggung ibunya dengan heran. Perlahan Intan menuruni sungai. Rasa haus di kerongkongannya sudah tidak tertahan. Tangannya bergerak mengambil air yang begitu bening. Terasa dingin, dengan kedua tangannya Intan meminum air itu, kemudian membasah muka dan kakinya. Rasa dahaga di kerongkongannya hilang seketika.

Intan Kembali ke balik pohon. Duduk memandangi sungai yang terus mengalir. Cahaya Mentari kian redup. Panasnya mulai berkurang. Dari balik tebing terlihat ibunya mendekat. Tangannya membawa sebuah bungkusan.

“Intan kamu makan dulu, ibu mau menyiapkan tempat untuk kita berdua.” Sambil menyerahkan bungkusan ke pangkuan Intan.
“Maksud ibu apa? di mana Lingga?” Intan menatap wajah ibunya.
“Suamimu tidak akan Kembali, dia sudah pergi.” Jawab ibu sambil Kembali ke balik tebing di pinggir sungai.

Intan bangkit dan mengejar ibu. Dia masih belum mengerti apa yang ibu bicarakan. Belum sempat dia bertanya, terlihat ibunya memasuki rumah kecil di balik tebing. Rumah itu nampak masih baru. Ibu melambaikan tangannya, dengan cepat Intan mendekat.

“Rumah ini di bangun Lingga suamimu, beberapa minggu sebelum dia meninggal. Dia berharap kamu dan ibu tinggal di rumah ini agar kedua orang tua Lingga tidak bisa menemukanmu. Lingga berharap kamu bisa melahirkan dan merawat anaknya kelak.” jawab ibu sambil membuka pintu rumah.

“Apa yang ibu katakan? Suamiku masih hidup…. tadi dia bersamaku, dia meminta aku untuk lari dan nanti bertemu di tempat biasa. Dia pasti ada di tempat itu bu…!” Sorot mata Intan berubah tajam.
“Sadarlah Intan…. Lingga sudah meninggal, kamu harus menerimanya. Bayi dalam kandunganmu membutuhkan kamu. Dan lihat kalung yang melingkar di lehermu, bukankah itu milik Lingga yang dia berikan sesaat sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya. Lingga ingin bayi yang kamu kandung itu lahir dengan selamat, dan kalung itu harus kamu berikan pada anaknya kelak setelah dia dewasa. Kamu harus kuat Intan.” Lanjut ibu sambil mengenggam kedua tangan Intan.

Intan tidak menjawab, air matanya jatuh membasahi pipi. Dia tidak sanggup menerima kenyataan kalau suaminya sudah tiada. Kebahagiaan yang dia rasakan seketika sirna. Saat kedua orang tua Lingga memaksanya untuk meninggalkan Intan dan menikah dengan gadis pilihan mereka. Menurut mereka Intan hanyalah gadis desa yang miskin dan bodoh yang tidak pantas bersanding dengan Lingga.

Lingga akhirnya pergi membawa Intan dan ibunya ke sebuah tempat yang jauh dari kedua orang tuanya. Mereka mendirikan rumah sederhana di suatu tempat yang sama sekali tidak ada orang yang mengenalnya. Lingga yang tidak terbiasa hidup kekurangan harus hidup di tengah kemiskinan dengan segala keterbatasan.

Lingga mencoba mencari pekerjaan ke suatu tempat. Namun dalam perjalanan Lingga mengalami kecelakaan dan meninggal. Intan yang sedang hamil tua merasa sangat terpukul, jiwanya goncang dan tak kuat menahan kesedihan. Pikirannya terganggu dan mulai berhalusinasi.

“Ibu… perutku sakit.” Intan terduduk. Intan merasakan sakit yang luar biasa di perutnya. Ibu segera memapahnya. Intan di baringkan di tempat tidur. Dia meraung kesakitan. Tubuhnya menggeliat menahan rasa sakit. Wajahnya terlihat pucat, keringat dingin membasahi keningnya.

Ibu berusaha menenangkan Intan. Memintanya menarik napas Panjang. Intan berusaha mengikuti perintah Ibu, namun rasa sakit itu semakin menjadi. Intan terus menggeliat, keringat mengucur di pelipisnya. Tiba-tiba Intan menjerit keras dibarengi suara tangis bayi.

Bayi di tidurkan di samping Intan. Tubuh Intan terlihat sangat lemah, namun matanya memancarkan kebahagiaan. Bayi perempuan yang diinginkan Lingga telah lahir dengan selamat. Intan tersenyum bahagia. Intan melepaskan kalung di lehernya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk bunga mawar dengan batu berwarna merah menyala.

“Kalung ini bukti kasih sayang ayah dan ibu, ibu berikan kepadamu agar kamu tahu betapa sayangnya kami kepadamu. Tumbuhlah menjadi wanita yang kuat, jangan menyerah dan baktikan dirimu kepada-Nya, niscaya hidupmu selalu Bahagia.” Intan mendekatkan kalung itu keleher bayi di sampingnya.

“Ibu kalung ini akan selalu ku pakai, terimakasih sudah memberiku cinta dan kasih sayang juga do’a, semoga ibu dan ayah bahagia di sisi-Nya.” Ucap Amira sambil menaburkan bunga di pusara kedua orang tuanya. Amira melangkah mendekati wanita tua yang berdiri tidak jauh darinya.


#kmab1

Tinggalkan Balasan