“Iqbal… Ikut Ibu tidak?”
Terdengar suara saat Iqbal baru saja pulang sekolah. Dia meletakkan tasnya di sofa. Selanjutnya dia merebahkan tubuhnya.
Iqbal menoleh ke arah ibunya. Dia meletakkan handphone-nya. Setelah itu berjalan menuju ibunya.
Iqbal bertanya, “Ke mana, Bu?”
Ibu Iqbal tersenyum. Dia kemudian menjawab akan mengajak Iqbal ke kantornya. Iqbal terlihat sangat senang.
“Mau, mau, mau, Bu!” teriak Iqbal kegirangan.
Iqbal pun segera bersiap-siap. Dia mengganti baju seragamnya. Setelah itu dia menemui ibunya.
“Ayo, Bu! Iqbal sudah siap, nih!”
Keduanya pun langsung berangkat. Sepanjang perjalanan banyak yang mereka lihat. Iqbal melihat ibu-ibu membawa keranjang belanjaan di supermarket.
Di depan pasar, Iqbal juga melihat ibu-ibu membawa dagangan. Di depan sekolah, dia melihat ibu-ibu menjemput anaknya. Di depan kantor ibunya, dia melihat ibu-ibu menyapu jalan.
Tidak lama kemudian, mereka tiba di tujuan. Iqbal mengikuti langkah ibunya. Mereka menuju sebuah ruangan.
Di ruangan itu mereka bertemu redaktur. Iqbal bertanya tentang kerja keras membangun penerbitan koran. Redaktur itu menceritakan panjang lebar.
“Sekarang kondisinya berbeda,” kata redaktur itu.
Iqbal pun kembali bertanya, “Apa yang membuatnya berbeda, Pak?”
Redaktur tidak segera menjawab. Dia hanya tersenyum. Demikian juga dengan ibu Iqbal.
Sesaat kemudian, redaktur menjawab. Dia menceritakan gambaran saat ini. Terutama menyangkut media daring atau online.
“Jadi begitu, Iqbal. Berhubung sekarang sudah zamannya online, maka perusahaan mengikutinya,” jawab redaktur.
Iqbal pun bertanya, “Bagaimana caranya, Pak?”
Redaktur menjelaskan tentang koran online. Saat ini sedang tren membaca online. Selain itu, juga adanya budaya menulis online.
Iqbal menganggukkan kepala. Dia akhirnya paham kenapa ibunya jarang ke kantor. Ibunya lebih banyak menulis di rumah.
Saat ini ibunya masih duduk di meja kerjanya. Setelah berbincang dengan redaktur, Iqbal memilih berkeliling. Dengan teliti dia memperhatikan sekitar.
Perhatiannya tertuju pada beberapa perempuan. Perempuan itu rata-rata masih muda. Perkiraannya seumuran dengan ibunya.
Iqbal melihat mereka sedang di depan komputer. Dia juga melihat ibunya. Ibunya tekun mengetik.
Dalam hati Iqbal dia merasa sedih. Selama bekerja di rumah Iqbal tidak pernah membantu. Dia sama sekali tidak tertarik.
“Kamu tidak mau belajar menulis, Bal?” tanya ibunya beberapa waktu lalu.
Waktu itu Iqbal hanya menggelengkan kepala. Dia lebih suka membantu ayahnya membuat video. Namun, hari ini pikirannya berubah.
Iqbal merasa sedih melihat ketekunan ibunya. Apalagi saat ibunya mengerutkan kening. Dia mulai berpikir, seharusnya dia bisa membantunya.
Di sebuah meja, Iqbal berhenti. Dia menghampiri teman ibunya. Namanya Tante Santi.
Oleh Tante Santi, Iqbal diajak duduk. Dia menunjukkan tulisannya. Mata Iqbal bersinar saat membacanya.
“Lagi menulis apa, Tante?” tanya Iqbal.
Tante Santi tersenyum dan menjawab, “Menulis pengalaman seorang anak jalanan.”
“Wah seru, Tante! Pengin Iqbal baca,” kata Iqbal.
Iqbal pun larut dalam kalimat yang ditulis Tante Santi. Dia teringat dengan salah seorang temannya. Temannya itu seorang tuna daksa.
Sejak lahir temannya hanya memiliki satu kaki. Oleh karena itu dia sekolah menggunakan tongkat bantu. Iqbal berteman baik dengannya.
Tiba-tiba dia terkejut ketika ibunya menghampiri. Ibunya mengajak Iqbal pulang. Iqbal pun pamitan.
Setiba di rumah Iqbal menemui ibunya. Dia menceritakan tentang apa yang dilihatnya di kantor ibunya. Terutama obrolan dengan Tante Santi.
“Wah menarik itu, Iqbal! Tulis, yuk!” kata ibunya sambil mengambil minuman.
Iqbal menjawab, “Iya, Bu. Tapi maaf, Bu. Iqbal tidak bisa menuliskannya.”
Ibunya tersenyum melihat Iqbal. Dia kemudian mengambil laptop. Setelah itu menyodorkan ke arah Iqbal.
“Iqbal tulis saja dulu. Nanti Ibu yang perbaiki. Bagaimana?” tanya ibunya sambil menghidupkan laptop.
Iqbal tidak punya pilihan lain. Dia segera mencoba menulis. Dia menuliskan hasil pengamatannya.
Akhirnya, Iqbal menyelesaikan tulisannya. Dia tersenyum lega. Terlebih saat melihat ibunya bahagia.
“Hebat kamu, Nak! Sekarang tugas Ibu memperbaikinya. Terima kasih, ya, sudah membantu Ibu,” kata ibunya kemudian.
Iqbal pun pamitan. Bahagia memenuhi dadanya. Dia akhirnya sadar ternyata menulis itu seru.
Sudomo, S.Pt.
(Email: sudomo.spt@gmail.com)