Setelah sejenak mengintip Situs Goa Siluman yang penuh misteri, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Situs Cendonosari yang letaknya janya sekitar dua menit naik sepeda motor menyusuri jalan-jalan di Wonocatur, Banguntapan, Kabupaten Bantul.
Sebuah pintu gerbang yang cantik namun terlihat antik dan tua menyambut. Pintu masuk berbentuk segi empat sementara di kedua sisinya ada hiasan lubang-lubang berbentuk belah ketupat. Di bagian atas gapura diukir sebuah gambar kala atau raksasa dan juga menggunakan sengkala memet atau gambar untuk menunjukkan tahun.
“Pada gerbang ini ada sengkala memet melambangkan Dwi Naga Rasa Tunggal yang kalau dibaca melambangkan tahun Jawa 1682,” demikian jelas sobat saya sambil menunjuk ke gambar yang juga ada di Kraton Yogya. Ternyata tahun 1682 Tahun Jawa bersamaan dengan 1756 tahun Masehi dan merupakan tahun berdirinya Kraton Yogyakarta.
Kami masuk melewati gapura dan di sebelah kirinya terdapat sebuah bangunan berbentuk joglo yang juga dalam keadaan memprihatinkan alias kurang terawat. Bangunan terbuka ini disebut sebagai Bale Paleraman yang memiliki fungsi sebagai tempat pemberhentian sementara jenazah sebelum dimakamkan di atas bukit.
Tepat di depan Gapura, terletaklah bukit yang merupakan pusat dari Situs Makam Cendonosari ini. Konon bukit setinggi sekitar delapan meter ini merupakan bukit buatan yang tanahnya diambil dengan menggali parit di sekelilingnya.
Di depan bukit ini ada dua papan informasi yang menjelaskan situs ini sebagai cagar budaya sekaligus sebagaimana biasa ancaman denda bagi yang merubahnya. Ada deretan anak tangga menuju ke puncak bukit. Sayangnya jalan masuk menuju anak tangga ini terhalang oleh pagar hijau yang digembok rapat.
Menurut info, kalau kami datang di pagi hari, situs ini dibuka untuk umum yang mau berziarah dan ada kuncen yang menunggu. Karena tidak bisa naik ke atas, saya memutuskan untuk berjalan mengelilingi bukit. Di sebelah kanan terlihat parit dengan air yang cukup dalam namun Sebagian sudah ditumbuhi berbagai jenis pohon termasuk banyak pohon pisang. Demikian juga dengan bukit di sebelah kiri yang banyak ditumbuhi berbagai jenis pohon besar dengan daun yang lebat.
Kami terus berjalan dan akhirnya tiba di bagian kanan makam. Di sini sekitar beberapa puluh meter dari gapura degan sebagian dinding situs yang masih utuh terapat sebuah batu nisan yang terlihat sudah tua, berukuran kecil, namun sama sekali tidak ada keterangan nama pemiliknya. Atau bisa saja sudah aus ukirannya dimakan waktu. Saya tidak tahu makam siapa dan sobat saya juga tidak tahu.
Yang diinformasikan adalah bahwa situs makan ini adalah milik Keluarga Patih Danurejo VII yang menjabat di Yogya sejak 1912 -1932. Patih adalah jabatan khas yang ada di Yogya sesuai perjanjian dengan Belanda dan menjadi penghubung antara Sultan dan Belanda. Patih terakhir adalah Danurejo VIII yang kemudian tidak dilanjutkan lagi dengan kedatangan Jepang.
Untuk ke kompleks makam, ada lebih 30 anak tangga untuk sampai ke sebuah cungkup berbentuk limasan yang didominasi warna hijau. Di dalamnya ada dua bagian. Bagian yang lebih tinggi adalah tempat makam Patih Danurejo VI atau Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara III dan isterinya GKR Ayu, yang merupakan putri Sultan Hamengku Buwono ke VII.
Berdasarkan info yang saya dapat kemudian, Patih Danurejo VI ini ternyata sangat mencintai seni pertunjukkan wayang orang dan beliau sempat menciptakan Langen Mandra Wanara yang diperagakan sembari berjongkok dan dialog nya merupakan tembang. Dengan cara ini beliau bisa membawa pertunjukkan wayang orang keluar dari tembok kraton. Di samping itu , beliau juga menciptakan sejenis gamelan yang disebut gamelan beling karena bilahnya terbuat dari pecahan kaca.
Setelah sekitar 20 menit berada di situs Makam Cendonosari dan melihat gapura, Bale Paleraman dan melihat parit, kami kemudian meninggalkan situs ini dengan satu tanda tanya besar. Makam siapakah yang berada di bahwa bukit di dekat pintu gerbang?
Yogya Juli 2022